JADI pengusaha di zaman sulit seperti sekarang bukan tak mungkin bisa bangkrut atau masuk bui gara-gara salah mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Bayangkan saja, kalau SPT Pajak Penghasilan (PPh) isinya dianggap tidak benar atau tidak lengkap karena kealpaan mereka bisa saja masuk penjara selama-lamanya satu tahun, atau kena denda paling tinggi sebesar dua kali Jumlah pajak yang terutang. Dan hati siapa yang tak kebat-kebit mendengar Dirjen Pajak Salamun A.T., pekan lalu, menyebut sekitar 50% dari SPT PPh Badan Usaha 1985 yang masuk, isinya ternyata tidak benar. Persentase sebesar itu kira-kira meliputi lebih dari dua ribu perusahaan -- sebuah angka yang tidak kecil tentu. Berdasar hasil pemeriksaan, "Kami menemukan adanya usaha penyelundupan pajak dari mereka," kata Dirjen Salamun. Jangan kaget, bukan hanya perusahaan besar saja yang melakukan usaha itu, tapi yang kecil disebut ikut bermain pula. "Pemeriksaan tidak pandang bulu," tambahnya. Usaha menyelundupkan pajak itu sendiri disebut Dirjen Salamun dilakukan dengan pelbagai cara. Misalnya, ada perusahaan yang mengajukan data peredaran barang yang dihasilkannya lebih kecil dari sebenarnya, sehingga di akhir tahun buhu keuntungan yang diperolehnya jadi kecil. Lalu, ada pula perusahaan yang menyatakan rugi, kendati sebenarnya memperoleh laba lumayan. "Menyatakan rugi itu 'kan sudah merupakan penyelundupan pajak," kata Dirjen Salamun. Tidak semua temuan itu merupakan hasil kerja aparat pajak. Sebagian informasi mengenai adanya usaha penyelundupan pajak itu datang dari orang dalam perusahaan bersangkutan, karyawan yang kena PHK, atau saingan. "Berdasar pengaduan itulah kami lalu membuka-buka kembali SPT perusahaan bersangkutan," kata Dirjen Salamun. Dari situ Ditjen Pajak lalu menemukan bukti-bukti seperti: perusahaannya besar, tapi mengapa keuntungan yang diperoleh sedikit? Belum ada sebuah nama perusahaan, yang kepergok berusaha menyelundupkan pajak itu, yang disebut secara terbuka Dirjen Salamun. Tapi pengumuman itu, yang kemudian didengungkan kembali oleh Direktur Pajak Langsung Mansyuri dalam wawancara TVRI Selasa lalu, seolah seperti sebuah bunyi petasan di siang hari. Hati pengusaha mana yang tak akan kecut mendengar penjelasan bahwa satu dari dua SPT PPh Badan Usaha 1985 yang masuk ke kantor pajak, isinya ternyata tidak benar. Memang ada juga pengisian SPT yang tidak benar, terjadi gara-gara kesalahan yang tidak disengaja. Maklum, formulir yang harus mereka isi bukan jenis formulir yang bentuknya sederhana seperti kolom gaji karyawan. Paul Lembong, konsulen pajak dari kantor konsulen Remi, Jakarta, menyebut ruwetnya mengisi kolom biaya penyusutan dan harga pokok. Di dalam kolom harga pokok ada hal mengenai penyusutan -- sementara di kolom penyusutan hal itu disebut pula. Kadang penyusutan yang sudah dimasukkan kolom penyusutan masuk lagi dalam penyusutan pada kolom harga pokok. Jadi, menurut Lembong, karena ruwet mengisi formulir SPT, wajar kalau konsulen atau wajib pajak sampai melakuan kesalahan yang tidak disengaja. Perincian mengenai biaya di formulir SPT, di pihak lain, dianggapnya masih terbatas. Sehingga kalau ada biaya yang tidak bisa digolongkan sebagai perincian yang ada, tentu, harus dimasukkan ke kelompok biaya lain-lain. Misalnya, di situ tidak ada rincian yang menyangkut biaya sebagai kerugian akibat perubahan kurs. "Jadinya memang aneh, biaya lain-lain bisa lebih besar daripada biaya-biaya yang dirinci," kata Lembong. Jika kesalahan tidak disengaja itu dipergoki petugas pajak, wajib pajak biasanya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki SPT mereka. Tapi, tidak berarti mereka bebas begitu saja. Terhadap kealpaan itu, mereka tetap diharuskan membayar kekurangan pajak itu plus denda 200% dari kekurangan jumlah pajak yang harus dibayarnya. Lain halnya, bila petugas pajak belum melakukan pemeriksaan terhadap SPT mereka. "Wajib pajak boleh memperbaiki bila SPT-nya diisi secara tidak benar," kata Salamun. Sebaliknya kalau wajib pajak merasa jumlah pajak yang harus dibayar dalam perhitunan rampun ternyata lebih kecil dibandingkan yang diisi dalam SPT, mereka berhak minta pengembalian atas kelebihan itu. Trikora Lloyd, misalnya, pada tahun 1984 lalu pernah menerima restitusi pajak sekitar Rp 200 juta. Tapi, tahun lalu, pelayaran samudra itu tidak membayar PPh Badan Usaha lagi. "Karena kami rugi sekitar Rp 9 milyar," kata Boedihardjo Sastrohadiwirjo, Presiden Direktur Trikora. Tentu saja laporan mengenai kerugian itu perlu disertai bukti-bukti kuat. Salah memberi informasi dan mengisi SPT, bisa-bisa, laporan keuangan perusahaan yang dulu-dulu aman masuk laci akan diaduk-aduk kembali oleh petugas pajak. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, seperti yang dihadapi seorang pengusaha mobil terkemuka yang pos biaya perusahaannya diutik-utik kembali -- gara-gara mencantumkan biaya perusahaan untuk tahun 1985 lebih besar dari sebelumnya. Akibatnya, laba kotor perusahaan yang terkena pajak jadi kecil. "Susah memang kalau kita harus menyebut biaya untuk pejabat dalam SPT," kata pengusaha mobil itu. Soal pengeluaran untuk entertainment, jamuan tamu, maupun representasi itu, sesunguhnya bisa digolongkan sebagai biaya, asal wajib pajak mau menyebut nama relasi, posisi dan kapan hal itu dilakukan dalam daftar nominatif. Tapi, pengusaha mana yang tega menyebut, Bapak Anu menerima hadiah mobil atau mendapat tiket liburan gratis? Jadi, memang tidak gampang jadi pengusaha di zaman seperti sekarang ini. Kalau petugas pajak sudah menganggap mereka melakukan kesalahan yang disengaja, bisa-bisa mereka malah diseret ke pengadilan, lalu dijatuhi hukuman pidana penjara setinggi-tingginya tiga tahun, atau denda maksimum empat kali jumlah pajak yang terutang. Jika tidak kena tahun ini, mungkin tahun depan bakal kesandung. "Makanya, jangan ketawa dulu, deh," ujar Dirjen Salamun. Nah, supaya Anda tidak mati ketawa duduk, kalau masih bingung mengisi SPT tanya pada orang yang berpengalaman. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini