Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dilema Gen Z: Antara Kebutuhan Perusahaan dan Kompetensi Pekerjaan

Perusahaan membutuhkan Gen Z agar produk tetap relevan dengan perkembangan zaman. Ada ketidaksinkronan antara kebutuhan dan kompetensi.

20 Desember 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan tengah gencar mengadakan penyuluhan dan bimbingan jabatan ke sekolah, perguruan tinggi, dan balai pelatihan kerja. Hal ini tak lepas dari Kemenaker ingin para calon pekerja, di antaranya generasi Z (Gen Z), mengetahui medan dan kiat mencari pekerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kemenaker Siti Kustiati mengatakan penyuluhan itu memberi prioritas kepada kalangan Gen Z. Merujuk Pew Research Center, istilah Gen Z mengacu pada orang yang lahir pada periode 1997 hingga 2012.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia, Gen Z menduduki jumlah terbesar dengan persentase 22 persen dari total populasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023, ada 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15–24 tahun tidak bekerja dan tidak sedang sekolah atau menjalani pelatihan. Dari jumlah itu, ada 5,73 juta perempuan muda menanggur, sedangkan 4,17 juta orang adalah laki-laki muda. 

Siti Kustiati mengatakan ada perusahaan yang mengeluhkan Gen Z tak tahan menghadapi tekanan kerja yang mendorong mereka melepas pekerjaannya. Alasan lain, manajemen perusahaan menganggap Gen Z kurang inisiatif, mudah bosan, hingga kurang maksimal ketika bekerja dalam tim.

Siti khawatir, bila hal ini terus berlanjut, Gen Z yang belum bekerja meningkatkan angka pengangguran terbuka. “Kami juga berupaya membuat suatu program yang bisa memudahkan Gen Z tidak minus seperti yang disampaikan pemberi kerja,” katanya dalam dialog terfokus bersama Tempo pada Kamis, 10 Oktober 2024. 

Menurut Siti, Gen Z memiliki kecenderungan untuk bekerja sesuai dengan passion mereka, alih-alih sekadar berdasarkan latar belakang pendidikan. Siti menyebut kelompok ini juga dominan menyukai pekerjaan yang bisa selesai dengan telepon pintar di tangan. “Lebih menyukai pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan IT." 

Hasil sigi Tempo di kalangan Gen Z soal kesulitan mereka dalam mencari pekerjaan menemukan beberapa fenomena. Survei daring ini berlangsung sepekan, 1-7 November 2024. Dari total responden, 22,5 persen mengatakan masih belum bekerja.

Mereka mengemukakan sejumlah alasan, namun sebagian besar dari mereka menyebutkan persaingan ketat menjadi faktor utama. Alasan lain adalah mereka yang mengaku belum memiliki keterampilan, tak punya modal, gaji yang ditawarkan pemberi kerja belum sesuai, hingga sempitnya lapangan kerja.

Kisah Niko Sulpriyono, misalnya, bisa menjadi contoh setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Desember 2023. Saat ini ia masih belum menemukan pekerjaan yang cocok.

Awalnya, ia bekerja di sebuah perusahaan media daring. Laki-laki lulusan universitas negeri di Yogyakarta itu mengatakan selama setahun, atau hingga Desember 2024, ia telah melamar ke puluhan perusahaan. 

Meski berlatar belakang pendidikan akidah filsafat Islam, Niko yang kini berusia 23 tahun mencoba melamar ke perusahaan media, bank, dan startup. “Kriteria calon pegawai terlalu tinggi, yang sama lamar belum cocok. Tidak ada panggilan,” kata Niko saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Kamis, 19 Desember 2024. 

Kriteria yang dimaksud Niko ialah perusahaan kerap memasang banyak tugas dalam satu lowongan kerja. Dia mencontohkan perusahaan rintisan yang akan merekrut tenaga kerja selain mensyaratkan calon pelamar dengan latar belakang pendidikan tertentu, mereka juga mensyaratkan piawai menangani media sosial, bisa menulis, dan kompetensi lain yang mendukung tugas itu.

Bahkan, kata Niko, tak jarang ada syarat berupa tinggi badan tertentu bagi calon pekerja yang melamar. “Itu, kan, tidak sesuai tupoksi. Perusahaan terlalu aneh,” kata dia. 

Meski puluhan surat lamaran kerja yang dikirimnya belum berbuah, Niko masih gigih mencari kerja. Bagi dia, nama beken perusahaan tak penting. Laki-laki yang kini berdomisili di Yogyakarta itu hanya menarget perusahaan yang mematuhi Undang-undang Ketenagakerjaan, jenjang karier jelas, dan memanusiakan karyawannya. “Saya ingin balance. Kriterianya itu saja,” ujarnya. 

Sementara Izzul Faturrizky,  seorang pekerja di salah satu perusahaan pelat merah bagian teknologi informasi di Tangerang, Banten, mengatakan ia akan betah apabila bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya, yaitu sistem informasi.

Di awal bekerja ia antusias karena ditempatkan di bagian IT sebuah perusahaan properti di Yogyakarta. Namun, pindah perusahaan, ia ditempatkan di bagian administrasi sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. 

Pria 24 tahun itu hanya betah bekerja di Kalimantan selama tiga bulan. Izzul mengaku tak menemukan passion dalam pekerjaan ini. “Dari background IT, tiba-tiba ke administrasi. Itu berbeda,” kata dia. Pada akhirnya, ia pun keluar dan bekerja di tempatnya sekarang.

Bagaimana Perusahaan Memandang Gen Z?

Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan ada banyak lamaran dari Gen Z ketika perusahaan microfinance atau lembaga keuangan mikro miliknya membuka lowongan pekerjaan. Namun, dari semua lamaran yang masuk, tak semua sesuai dengan kriteria pekerja yang ia butuhkan. 

Eks Staf Khusus Presiden Joko Widodo itu butuh calon pegawai yang tak sekadar bekerja, juga bisa membangun lingkungan yang saling mendukung, bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, hingga memiliki kemampuan memecah masalah secara mandiri. 

“Mentalitas dan resiliensi, endurance meluangkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan panjang menjadi kriteria penting,” kata Taufan saat dihubungi pada Kamis, 19 Desember 2024. 

Bagi Taufan, merekrut pekerja dari Gen Z bisa menjawab tantangan bisnis di masa depan. Dari seribu pekerja Amartha, katanya, 75 persen merupakan Gen Z.

Para pekerja ini punya ragam latar pendidikan, dari sekolah menengah atas hingga sarjana. Mereka pun menduduki berbagai posisi, seperti kepala tim, data, teknologi, hingga pemasaran produk. 

“Saya akui anak muda lebih cepat belajar hal baru, menggunakan Artificial Intelligence (AI), hingga problem solving,” kata dia. 

Menurut dia, secara bisnis memang ada manajemen risiko bagi sebuah perusahaan. Namun, langkah itu dianggap terlalu standar sehingga membutuhkan skema yang relevan dan pendekatan yang kekinian. Taufan menyebut Gen Z bisa menjawab tantangan itu. “Kalau mau tumbuh berani, pendekatannya harus berbeda." 

Taufan mengatakan Amartha juga telah menyiapkan perlakuan khusus untuk pekerja yang berasal dari kalangan Gen Z. Selain membantu pengembangan kapasitas mereka, Amartha mengapresiasi setiap hasil kerja yang telah diselesaikan para pegawai. Apresiasi itu tak harus uang atau insentif, tapi membangun lingkungan kerja hingga jenjang karier yang jelas. 

Di Amartha, Gen Z bisa menduduki posisi strategis apabila kinerja mereka berhasil. “Bahkan bisa selevel dengan mereka yang berusia 40 tahun,” kata Taufan. 

Selain Amartha, PT Astra International Tbk juga memprioritaskan merekrut pekerja dari kalangan Gen Z untuk berusaha relevan dengan perkembangan pasar. Produsen otomotif yang berdiri sejak 1957 ini memperkirakan pasar dalam negeri akan didominasi oleh generasi milenial dan gen Z dalam jangka panjang.

Head of Brand Communications Astra Yudha Prasetya mengatakan Gen Z berkontribusi di perusahannyanya, apalagi ketika mereka telah menemukan passion-nya. Fenomena itu juga dibuntuti dengan antusias dan semangat kerja. 

“Memang pendekatannya sekarang beda. Enggak bisa Gen Z dipaksa, apalagi, kata orang, mereka lemah,” kata Yudha dalam Indonesia Millennial and Gen Z Summit, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.

Menurut Yudha, pengguna otomotif saat ini lebih banyak berasal dari generasi yang lebih tua. Namun dalam waktu mendatang, ia ingin Astra setidaknya menjadi pilihan generasi milenial dan gen Z. Karena itu, keterlibatan anak muda ini akan membantu kinerja perusahaannya di masa mendatang. 

Sebuah jenama atau brand, kata Yudha, saat ini tak boleh sombong hanya karena mereka besar. Begitu juga mereka tak boleh terlalu percaya diri akan menjadi pemimpin pasar selamanya. Sebab, selama tak mau menyesuaikan dengan perubahan zaman, jenama itu akan tergantikan. Menurut Yudha, pasar pekerja Gen Z tetap penting untuk jangka panjang. 

Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support 

Pilihan Editor: Cerita Gen Z dalam Mencari Kerja: Ingin Merasa Hidup hingga Berkukuh Tak Mau Terjebak

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus