Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tren dedolarisasi belakangan menjadi semakin ramai dibicarakan di khalayak umum dan pemangku kebijakan. Dedolarisasi merupakan upaya penggantian dolar yang biasanya digunakan sebagai mata uang transaksi bilateral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu dilakukan untuk melepaskan ketergantungan pada mata uang AS. Dolar AS hingga saat ini masih menjadi mata uang dominan yang digunakan dalam perdagangan internasional. Karena itu, dedolarisasi dilakukan sebuah negara untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena dedolarisasi ini terjadi akibat tingginya inflasi serta ketidakpastian global. Salah satu musababnya adalah karena, dalam beberapa tahun terakhir, Amerika mengalami defisit neraca pembayaran.
Hal tersebut mengakibatkan mata uang AS berkode USD tersebut relatif bergejolak dan sensitif terhadap isu global. Itu sebabnya, beberapa negara di dunia memilih melakukan dedolarisasi dan berkomitmen mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Upaya meninggalkan dependensi terhadap mata uang AS memiliki keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, dikutip dari Koran Tempo, menjelaskan bahwa dedolarisasi yang dilakukan Indonesia memiliki beberapa keuntungan, yakni:
- Stabilitas Rupiah
Upaya dedolarisasi dengan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi dapat meningkatkan stabilitas rupiah. Josua Pardede mengungkapkan fenomena dedolarisasi dapat membawa keuntungan bagi Indonesia. la menyatakan dedolarisasi atau mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi keuangan dalam jangka panjang akan membuat rupiah cenderung stabil.
Kemudian, dengan terjadinya stabilitas rupiah, hal itu akan mendorong peningkatan investasi dan kegiatan perdagangan internasional. Maka, pada akhirnya, hal itu akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang solid dalam jangka menengah-panjang.
- Hubungan Dagang Lebih Erat
Dedolarisasi dapat menciptakan hubungan dagang dengan negara mitra, khususnya tingkat ASEAN, menjadi lebih erat. Sebab, ketika ekonomi domestik AS sedang terguncang, pengalihan minat ekspor ke negara ASEAN dan negara alternatif lainnya membuat kinerja ekspor sedikit terjaga. Dengan begitu, akan terjadi efisiensi dalam perdagangan internasional.
Kegiatan ekspor dan impor juga lebih untung, Dengan adanya kerja sama LCT sebagai upaya dedolarisasi, para eksportir dan importir akan diuntungkan. Pasalnya, mereka tak perlu menukar mata uang lokal atau mengonversinya menjadi dolar AS.
- Hemat Biaya Perdagangan
Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Askar Muhammad, mengatakan dedolarisasi akan membawa keuntungan banyak bagi Indonesia, seperti kemampuan untuk menyesuaikan kebijakan moneter dengan kondisi ekonomi lokal serta menyediakan buffer atau penyangga terhadap fluktuasi mata uang dan aliran modal keluar.
Tak hanya itu, penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral juga akan menghasilkan perdagangan yang hemat biaya sehingga bakal mendorong lebih banyak perdagangan serta meminimalkan risiko ketidaksesuaian nilai tukar.
Ke depan, upaya dedolarisasi dapat mengurangi manipulasi keuangan oleh bank-bank besar, broker, dan lembaga keuangan sehingga menyediakan checks and balances yang diperlukan. Selain itu, dedolarisasi bisa menyelaraskan sistem transaksi keuangan global dan meningkatkan persaingan sehat dalam perdagangan antar-negara.
Meski demikian, dedolarisasi juga memiliki kelemahan. Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kelemahan dalam upaya dedolarisasi ini adalah mata uang lokal akan sulit digunakan untuk membayar kapal yang beroperasi di jalur perdagangan lintas negara.
Hal itu lantaran 90 persen kapal untuk kegiatan ekspor impor menggunakan bendera asing. Sementara itu, kapal-kapal berbendera asing tersebut ingin dibayar dengan uang dolar AS dibanding dengan mata uang lokal, seperti rupiah.