Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad mengatakan aplikasi MyPertamina seharusnya terkoneksi dengan data yang dibuat oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Data di DTKS seharusnya bergayung sambut dengan data yang ada di MyPertamina, sehingga siapa yang mendapat subsidi atau tidak itu lebih tepat sasaran," ujar Tauhid saat dihubungi Tempo, Jumat, 1 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tauhid berujar Pertamina memang memerlukan database yang komperhensif, namun masih menjadi pertanyaan apakah aplikasi MyPertamina dapat mengkonkritkan data itu atau tidak. "Jika tidak, maka pada akhirnya MyPertamina hanya membangun data yang tidak fungsional," ucapnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 1 Juli 2022.
Menurutnya, secara prinsip Pertamina memang memerlukan alat, tetapi harus dipastikan transparansi datanya. Artinya, ketika seseorang mendaftarkan diri di MyPertamina dan memasukkan datanya, apakah ada fitur yang menunjukkan bahwa pendaftar tersebut merupakan orang yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi, sesuai DTKS dari Kemensos
"Karena akan ada evaluasi, katakanlah dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), surveynya BPS (Badan Pusat Statistik) yang menyatakan sebagian pembeli memang tidak layak mendapatkan subsidi," ujar Tauhid.
Tauhid mencontohkan, misalnya seseorang membawa motor yang mahal dan mengaku bukan sebagai pemilik. Kemudian data yang didaftarkan pada aplikasi MyPertamina masuk ke dalam kategori masyarakat bawah. Kasus tersebut bisa saja membuat ia mendapat akses untuk membeli Pertalite.
"Jika datanya tidak terkoneksi, artinya dia tetap dapat subsidi. Padahal data kelompok masyarakat bawah atau miskin itu ada datanya, NIK (nomor induk kependudukan), KK (kartu keluarga), dan sebagainya," tutur Tauhid.
Ia menuturkan aturan terkait MyPertamina juga perlu lebih detail. Menurutnya kriteria konsumen yang berhak membeli Pertalite perlu lebih spesifik, seperti jenis atau merek mobil, nilai mobil itu sendiri, tahun pembuatan, CC, dan lainnya.
Terbentur Kesenjangan Digital
Sementara itu menurutnya, Indonesia juga masih memiliki permasalahan digitalisasi. Ia berujar tidak semua orang Indonesia memiliki kesadaran dalam menggunakan informasi berbasis digital seperti dalam aplikasi MyPertamina. Musababnya, masih ada kesenjangan digital di masyarakat Indonesia.
"Tidak semua masyarakat aware terhadap informasi berbasis digital seperti ini karena ada kesenjangan digital di kita," tuturnya.
Meskipun jumlah masyarakat yang menggunakan handphone dan internet bertambah, kata Tauhid, belum tentu semuanya memahami penggunaan aplikasi tersebut. Terlebih apakah aplikasi MyPertamina memiliki fitur dan tampilan yang mudah dimengerti penggunanya atau tidak.
"Meskipun kita punya handphone tapi belum tentu semua paham cara menggunakan aplikasi dan sebagainya. Termasuk user friendly atau tidak ya MyPertamina," ujar Tauhid.
Sedangkan untuk BBM jenis pertalite, fase pertama yang perlu dibenahi menurutnya adalah sinkronisasi data dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Sehingga, yang berhak membeli BBM bersubsidi benar-benar rumah tangga tidak mampu.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga mengutarakan pendapat yang serupa. Ia berujar fase pertama yang perlu dibenahi adalah sinkronisasi data dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Sehingga, yang berhak membeli BBM bersubsidi benar-benar rumah tangga tidak mampu.
"Sekarang pertanyaannya, MyPertamina mau disinkronkan dengan data apa? Belum ada informasi detail nya, karena baru rencana mensinkronkan dengan data kendaraan," ujar Bhima.
Menurut Bhima ketidaksiapan data tersebut adalah masalah yang utama. Pembatasan subsidi dilakukan saat disparitas harga BBM non subsidi dan subsidi terlampau jauh. Contohnya, selisih harga Pertamax dan Pertalite, yaitu Rp4.000 lebih per liter.
"Harusnya waktu selisih harganya tidak jauh, baru diatur. Kalau sekarang pasti banyak yang keberatan karena dipaksa beli Pertamax, padahal ada 115 juta orang kelas menengah rentan di Indonesia," tutur Bhima.
Adapun Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menjelaskan sistem pembelian pertalite dan solar menggunakan aplikasi MyPertamina bukan ditujukan untuk membatasi pembelian. Menurutnya, kebijakan itu diberlakukan untuk membuka pendaftaran bagi konsumen yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.
Sebelumnya ia menyebutkan tujuan kebijakan tersebut adalah mendorong konsumen untuk mendaftar aplikasi MyPertamina. Sehingga, Pertamina dapat menghimpun data siapa saja konsumen Pertalite dan solar selama ini.
"Tujuannya apa mendaftar? Itu untuk membangun basis data pengguna," tuturnya dalam Webinar Virtual Generating Stakeholders Support For Achieving Effectiveness of Duel and LPG Subsidies, Rabu, 28 Juni 2022.
Menurutnya aturan penggunaan aplikasi MyPertamina dapat mendorong reformasi subsidi, dari barang ke orang. Artinya, penjualan Pertalite dan solar itu dapat benar-benar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.
"Dulu selling out dari pertamina diakui, selling in juga diakui, lalu berkembang selling out SPBU, sekarang baru akan menuju selling to person. Untuk mencapai sana perlu database, siapa yang berhak," kata Mars.
Mars menjelaskan klasifikasi konsumen yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi telah sesuai regulasi dalam Perpres nomor 191 tahun 2014. Ia mengakui dalam aturan tersebut, segmen pengguna pertalite memang masih sangat lebar. Akibatnya masih banyak mobil mewah atau masyarakat menengah atas yang memiliki akses untuk membeli Pertalite. Sehingga, regulasi tersebut perlu direvisi.
"Perpres 191 tahun 2014 sedang tahap revisi tapi belum keluar. Di aturan itu, pengguna pertalite ruangnya lebar sekali, tidak bisa melihat segmen orang kaya orang miskin, kendaraan mewah atau tidak mewah, itu tidak tertera eksplisit," ujar Mars.
Perpres 191 tahun 2014 itu, kata, Mars menjadikan Pertamina tidak dapat melarang mobil mewah untuk membeli produk BBM bersubsidi. Ia mencatat, 62 persen ada di 40 atau 30 desil teratas, artinya tidak sesuai dengan niat pemerintah dalam memberi kompensasi kepada masyarakat.
"Jadi kalau pakai aturan itu beberapa mobil mewah juga berhak karena ketentuan memperbolehkan. Sekarang kami sedang berprogres memilah ini," kata dia.
Karena kondisi itu, Mars menyebutkan Pertamina ingin terlebih dulu membangun basis data pembeli atau pengguna pertalite dan solar dan memilahnya. Ia berujar jangan sampai nantinya pemerintah memberi spesifikasi pengguna namun Pertamina tidak memiliki basis datanya. "Yang penting kami kumpulkan dulu," ujarnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: 81 SPBU di Bandung Terapkan Uji Coba Pembelian BBM dengan MyPertamina
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini