Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Pinjaman Online Rawan Fraud

CEO DanaRupiah Entjik S. Djafar menjelaskan soal platform pinjaman daring yang rawan fraud.

26 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Entjik S. Djafar, CEO DanaRupiah dan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Entjik S. Djafar menghindari meminjam uang.

  • Tantangan terbesar pinjaman online adalah image di masyarakat yang tidak bisa membedakan pinjol ilegal dan pindar.

  • Banyak fintech peer-to-peer lending melakukan fraud karena ingin cepat besar.

KESIBUKAN Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar dalam beberapa bulan terakhir makin padat. Pada awal Desember 2024, AFPI mengumumkan untuk lebih menggunakan istilah pinjaman daring (pindar) ketimbang pinjaman online (pinjol). Sebab, pinjaman online selama ini punya konotasi negatif dan ilegal. Penggunaan istilah pinjaman daring diharapkan dapat mengubah stigma mengenai layanan pinjaman berbasis teknologi.

Menjelang akhir tahun, Entjik kian sering diundang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membantu menyusun aturan baru yang memperketat layanan platform digital yang menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman (peer-to-peer lending). OJK akhirnya mengeluarkan aturan baru yang di antaranya mengatur batas usia minimum pemberi pinjaman.

Mulai 1 Januari 2025, usia pemberi pinjaman dibatasi minimal 18 tahun atau telah menikah. Sementara itu, bagi peminjam, batas penghasilannya paling sedikit Rp 3 juta per bulan. Ada pula aturan baru soal batasan maksimal bunga pinjaman harian. Di antaranya maksimal bunga per hari bagi pinjaman konsumtif dengan tenor di bawah 6 bulan sebesar 0,3 persen.

Untuk mensosialisasi perbedaan antara pinjaman daring dan pinjaman online ilegal serta regulasi terbaru di industri peer-to-peer lending, AFPI pun mengundang wartawan untuk mengikuti workshop pada 22-23 Januari 2025. Entjik menjadi salah satu pembicaranya. Di sela kesibukannya, pada 23 Januari 2025, Tempo mewawancarai pria yang doyan berpelesir ke Jepang tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Entjik, yang puluhan tahun berkecimpung di dunia perbankan, tampil kasual dengan mengenakan kaus putih berkerah dan sneakers. Alasannya, dia tak mau kalah oleh anak-anak muda yang tergabung dalam asosiasi fintech yang dibawahkannya itu. Namun, ketika ditanya soal usia, Entjik merahasiakannya.

Anda sehari-hari berurusan dengan industri pinjaman daring, apakah Anda punya pengalaman meminjam uang?

Saya sangat konservatif. Saya dulu kerja di bank dan paling takut meminjam. Kredit itu paling takut. Jadi saya menghindari untuk pinjam. Saya pinjam itu selalu ke kantor karena dulu kerja di bank. Semacam pinjaman untuk karyawan atau employee loan. Beli rumah dan pinjam untuk mobil, itu dari kantor. Tapi, kalau saya pinjam, paling kartu kredit. Saya paling takut dan memang karena sangat konservatif. Saya menghitung ini, itu, dan segala macamnya.

Apakah karena latar belakang sebagai bankir Anda lebih memahami konsekuensi pinjam-meminjam?

Mungkin, ya. Tanpa beban pinjaman, hidup saya tenang. Hidup itu kan pasang-surut. Pernah suatu ketika, setelah keluar dari bank, saya terpuruk. Benar-benar terpuruk karena saya mau menjadi pengusaha, tapi gagal. Enggak lama, tapi saya merasakan sembilan bulan itu seperti neraka. Yang paling penting saat terpuruk itu, saya tidak ada beban karena tidak punya pinjaman. Baik itu pinjaman ke teman maupun ke lembaga keuangan. Nah, itu yang menyelamatkan saya dan membuat saya masih bisa bergerak.

Apa tantangan terbesar selama menjabat ketua umum asosiasi pinjaman daring?

Kendala terbesarnya adalah image di masyarakat yang tidak bisa membedakan antara pinjol ilegal dan pindar. Nah, kami itu bukan pinjol. Kami adalah pindar yang berizin dari OJK. Sementara itu, masyarakat tidak bisa membedakannya sehingga banyak sekali kasus-kasus yang disebabkan oleh pinjol ilegal, tapi kami yang dituduh. Makanya, tantangannya adalah kami memberikan edukasi informasi ke masyarakat untuk membedakan antara pinjol ilegal dan pindar. Karena itu, kami melakukan repositioning bahwa kami itu pindar, bukan pinjol. Kalau pinjol itu, ilegallah. 

Bagaimana cara membedakan pindar yang berizin dan pinjol ilegal?

Kami memiliki code of conduct. Jadi asosiasi mengeluarkan pedoman perilaku untuk dipatuhi oleh anggota pindar ini. Kami mempunyai 97 anggota dan mereka wajib mematuhi semua code of conduct.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya mungkin yang paling lagi viral adalah bagaimana cara menagih. Jadi kami mempunyai prosedur operasi standar terhadap penagihan ini. Aturan-aturan yang kami atur itu salah satunya tidak boleh menagih di atas pukul 20.00 dan sebelum pukul 08.00. Lalu tidak boleh menagih pada hari raya nasional. Maksudnya, tanggal merah itu tidak boleh. Kemudian yang lain, tidak boleh menagih secara kasar dan tak beretika.

Bagaimana cara meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech lending, terutama karena adanya konotasi negatif yang sudah melekat pada industri ini?

Memang kami dari AFPI akan terus-menerus memberikan edukasi supaya literasi masyarakat menjadi tinggi. Kami akan memperlihatkan manfaatnya ke masyarakat. Contohnya, para pengusaha yang sudah meraih manfaat pindar ini. Nah, itu yang akan kami terus dengungkan. 

Kami akan memberikan data dan cerita-cerita sukses supaya masyarakat itu, pertama, mengerti. Mengerti dulu perbedaan pindar dan pinjol. Yang kedua, tidak takut, karena rasa ketakutan ini sangat tinggi.

Menurut Anda, mengapa banyak perusahaan fintech peer-to-peer lending atau pindar yang melakukan fraud?

Fintech peer-to-peer lending yang sejenis perusahaan startup itu kan isinya anak muda semua. Anak muda ini ingin perusahaannya cepat besar. Anehnya lagi, itu memang cepat besar, mungkin karena timing-nya tepat. Nah, begitu sudah mulai besar, mereka sudah tidak memperhatikan lagi rambu-rambu. Rambu-rambu, seperti governance, prudence, dan compliance, mulai ditabrak. 

Karena ingin cepat besar, banyak yang melakukan fraud. Mungkin mereka merasa uang itu gampang didapatkan. Sementara itu, fundamentalnya, fondasinya, itu tidak kuat. Itu yang bermasalah sekarang. Fondasinya enggak kuat, dia terlalu besar, akhirnya semua digampangkan. Semua dihalalkan. 

Jadi saya selalu mengingatkan kepada teman-teman. Kebetulan saya yang paling tua di industri ini, secara umur dan secara pengalaman. Selalu saya mengingatkan bahwa hati-hati. Jangan pernah menabrak rambu-rambu. 

Risk management mesti bagus, compliance mesti bagus. Good corporate governance harus bagus dan harus prudent.

Seperti apa best practice untuk perusahaan fintech lending?

Fundamentalnya itu harus ada tiga. Pertama adalah IT atau software-nya itu harus kuat untuk menganalisis, untuk mencari para calon borrower, dan untuk memproses secara cepat. Kedua adalah lender-nya mesti kuat. Harus kuat dan bagus. Sebab, kalau lender enggak kuat, bisa goyang juga. Kemudian yang ketiga adalah kecukupan modal atau minimum equities harus dipenuhi sesuai dengan peraturan OJK. Tiga hal ini harus dimiliki secara baik.

Entjik Sjahrudin Djafar

Karier:

  • 1983-1994: Credit Manager Bank Niaga, Makassar, Sulawesi Selatan 
  • 1994-1997: Consumer Division Head/Senior Manager Jaya Bank International, Jakarta
  • 1997-2000: Operation Division Head PT Bank Artha Graha Internasional Tbk, Jakarta
  • 2000-2001: Assistant Vice President Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Jakarta
  • 2001-2005: Senior Vice President Bank ICB Bumiputera, Medan, Sumatera Utara
  • 2005-2009: Business Director Bank Kesawan, Jakarta
  • 2016-2023: Chief Executive Officer GNV Business Consulting
  • 2018-2023: Presiden Direksi DanaRupiah
  • 2023-sekarang: Ketua Umum AFPI

 

Banyak perusahaan pindar yang memutarkan dana pinjaman untuk diinvestasikan di instrumen pasar modal. Enggak bahaya?

Itu pelanggaran dan bisa dikategorikan perlakuan pidana. Itu enggak boleh. Itu pelanggaran dan pidana. Karena sesuai dengan kriteria role bisnis kami, yaitu peer-to-peer, jadi ada lender dan borrower. Kalau ada uang lender dibelokkan atau istilahnya side streaming, itu haram.

OJK tengah membahas asuransi khusus untuk industri fintech lending. Apakah bentuk perlindungan itu memang diperlukan industri ini?

Pertama, saya mau menegaskan bahwa asuransi ini bukan mandatori. Ini adalah opsional supaya lender aman. Kami sudah meriset hingga London, Inggris. Kami datang ke sana menanyakan juga kepada fintech-fintech di sana. Kami tahu mereka insurance-minded, semua diasuransikan. Tapi begitu kami tanya fintech, mereka bilang tidak ada asuransi karena yang menanggung risiko adalah lender. Lender, kalau mau masuk dan lihat risikonya tinggi, akan mundur. Jadi asuransi itu bukan kewajiban, melainkan opsional.

Kedua, keberadaan asuransi ini bisa menimbulkan risiko moral hazard yang berbahaya. Saat ini, kami yang tidak ada asuransinya saja, ada banyak kelompok gagal bayar yang menyerukan, yang mengkampanyekan, untuk tidak membayar. Apalagi kalau diasuransikan dan dia tahu, ‘sudah enggak usah bayar, kan ada asuransi’, hancurlah republik ini. Bangkrut semua perusahaan asuransi. Benar enggak?

Per November 2024, OJK mencatat terdapat 21 perusahaan fintech lending dengan risiko kredit bermasalah atau TWP90 di atas 5 persen...

Angka ini sebenarnya tidak tinggi. Karena apa? Dari 21 perusahaan ini, kalau kami analisis secara jujur, ini sebenarnya juga portofolionya tidak besar. Cuma memang tersebar di 21 perusahaan. Terus terang saja, mungkin ada beberapa perusahaan di sektor produktif yang belum bisa memenuhi minimum ekuitas. Nah, itu yang masalah juga.

Jadi kami dari asosiasi, dari industri, berdiskusi dengan OJK bahwa memang ada seleksi alam. Siapa yang tidak kuat, dia akan tergeser. Tapi, kalau kami lihat secara umum, 21 perusahaan di atas 5 persen ini tidak berpengaruh secara signifikan karena secara total TWP (tingkat wanprestasi) masih bagus.

Bagaimana proyeksi industri fintech peer-to-peer lending pada 2025?

Kami akan berkembang, tapi tidak besar. Kami melihat kondisi ekonomi dan melihat growth sebesar 5-7 persen, walaupun kemarin lebih dari itu. Pada 2025, banyak faktor-faktor, yang menurut prediksi kami, akan mempengaruhi ekonomi. Maka, kami tidak terlalu agresif.

Faktor-faktornya mungkin kebijakan-kebijakan pemerintah. Saat ini kan pemerintahan baru, pasti ada penyesuaian-penyesuaian di ekonomi kita. Bunga juga akan sangat mempengaruhi.

Harapan saya tidak ada suatu lonjakan atau gejolak yang signifikan sehingga growth-nya akan lebih bagus. Stabil, tapi pelan-pelan meningkat.

Omong-omong, huruf "S" dalam nama Anda kepanjangannya apa?

Sjahrudin, ha-ha. Enggak pernah saya sebut. Baru kali ini ada yang bertanya. Tadinya mau saya sebut Simon atau Samuel.

Anda punya akun Instagram. Masih sempat bermain media sosial?

Untuk mengetahui perkembangan media sosial, saya mengelola sendiri semua akun saya karena banyak ilmu dari perkembangan itu yang bisa saya update langsung. Contohnya saat ini yang lagi trending adalah TikTok, saya mencoba belajar dan mengelola sendiri akun saya. 

Banyak foto-foto liburan di media sosial Anda. Apakah Anda memang hobi traveling?

Hobi banget, yes. Terakhir dari Jepang, Cina, dan Selandia Baru. 

Apa negara yang paling berkesan?

Ada dua, Jepang dan Selandia Baru.

Apa keistimewaan Jepang?

Saya ke Jepang bisa empat kali dalam setahun. Saya suka makanannya. Selain itu, saya banyak belajar tentang kebudayaannya, disiplin, sopan santun, dan etika mereka. Itu saya banyak belajar. Saya juga lebih banyak ke desa-desanya karena pemandangannya bagus banget. Lalu, di Jepang itu, saya suka karena semua transportasi connected, ya. Jadi mudah kalau mau ke mana pun.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ervana Trikarinaputri

Ervana Trikarinaputri

Lulusan program studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran pada 2022. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus