BEBERAPA industriawan Jepang nyengir mendengar rencana Suwandhy
Surjotomo, pemilik bengkel bubut dan reparasi mesin Gajah Sala
mau mengekspor mesin buatannya. "Indonesia kok mau mengekspor
mesin," ejek orang Jepang itu 3 tahun lalu.
Suwandhy tak berkecil hati. Ini terbukti, 15 Februari lalu:
Bengkelnya yang kini sudah berkembang menjadi pabrik mesin Gajah
Pastic Machinery Work (GPMW) di Sala mulai mengekspor mesin.
Menteri Perindustrian A.R. Soehoed menyaksikan pengapalan
pertama mesin pembuat kantung plastik polypropylene lewat
Tanjungpriok menuju Inggris. "Paling lama, sebulan lagi akan
menyusul sebuah mesin serupa diekspor ke Belgia," kata Suwandhy,
34 tahun, kepada TEMPO di kantornya.
Pembeli dari Inggris itu pabrik bahan pengepakan, British
Cilophanc. "Pembeli memilih mesin kami karena sistem pendidingan
dengan air jarang didapat di Eropa," kata Suwandhy. Ada beberapa
keungggulan lain, seperti lamanya berputar, plastik yang dibuat
tebal, ulet dan bening. Harganya US$ 8.000 dan bisa menghasilkan
12-18 kg plastik setiap jam.
Suwandhy berani mengekspor karena bantuan Exxon Chemical,
perusahaan minyak AS, yang saat ini beroperasi dalam pembuatan
bijih plastik di Arun, Aceh. Ia mendapat kesempatan mempelajari
pembuatan mesin di berbagai negara. Suwahdhy juga diajari cara
membuat mesin yang laku di pasaran internasional. "Dari Exxon
pula kami mendapat rekomendasi mengekspor mesin ke Eropa,"
katanya.
Tukang bubut
GPMW didirikan Suwandhy 1974 dengan kegiatan: memperbaiki mesin
pembuat kantung plastik dan membuat suku cadang mesin tersebut.
Modal awalnya cuma 3 mesin bubut dan sebuah las listrik. Setelah
lewat 8 tahun, kini Suwandhy bukan sekedar tukang bubut dan
reparasi. Ia telah menjadi direktur sebuah pabrik mesin dengan
113 burih.
GPMW sekarang menempati areal 5.500 m2 di Jl. Palur Raya, 7,5 km
dari pabrik semula di daerah Pucang Sawit di Sala. Setiap buruh
memegang satu mesin yang berfungsi membentuk dan membubut logam
untuk komponen. Beberapa orang lagi merakit bagian-bagian mesin.
Lainnya asyik mencoba mesin yang baru saja selesai. Kegiatan
semacam ini diawasi langsung Suwandhy lewat dinding kaca ruang
kerjanya.
Kini pabrik milik swasta itu memiliki 35 mesin pengerjaan logam
plus beberapa mesin pembuat gigi. Dengan pertambahan itu, pabrik
Gajah menambah produksinya dari 98 unit pada 1979 menjadi
sekitar 120 mesin tahun silam.
Mesin yang dihasilkan meliputi 6 jenis: mesin pembuat kantung
plastik ukuran kecil, ukuran besar, pengolah bahan plastik,
pembuat tali plastik (raila), pembuat kantung plastik tebal
(untuk belanja) dan mesin pemroses plastik. Semua meniru buatan
luar negeri. "Lisensi tidak ada. Saya mencoba mengambil
kelebihan mesin-mesin itu, kemudian menciptakan mesin baru,"
kata Suwandhy. "Tapi kalau dikatakan itu ciptaan saya, ya tidak
sepenuhnya benar."
Hemat Listrik
Selama ini pabrik itu melempar produksinya ke pasaran lokal. Dan
terkenal di kalangan pengusaha plastik di Sala. Magelang,
Yogyakarta, Bandung dan Malang. "Di kota-kota itu, kami menang
melawan mesin buatan Taiwan," kata Suwandhy. Harga mesin
terkecil Rp 4,25 juta dan paling besar Rp 12 juta. "Semua yang
kami buat selalu laku," tambahnya.
Gunawan, pemimpin perusahaan pembuat plastik Bina Rahayu di Jl.
Teluk Gong Jakarta, tertarik mesin asal Sala itu karena nasihat
temannya dari Bandung. "Yang terang, harganya lebih miring,"
katanya. Ia memakai 3 mesin buatan Sala, di samping dari Taiwan
dan Hongkong. "Hasilnya lumayan. Sayangnya, kurang produktif,"
katanya.
Untuk plastik ukuran 7 cm, mesin buatan Suwandhy cuma mampu
menghasilkan 5 kg per jam. Sedang mesin Taiwan bisa 7-8 kg. Tapi
ada pula keunggulannya, yaitu hemat listrik. "Listrik untuk
industri di sini mahal sekali. Dalam hal ini, mesin Sala
bolehlah," kata Gunawan lagi.
Suwandhy sendiri masih bertekad memikat pasaran mesin pembuat
plastik. "Soal kualitas, kami buat standar, baik untuk lokal
maupun ekspor" katanya. Pengujian dilakukan oleh Metal
Industrial Development Centre (MIDC), lembaga milik negara
berpusat di Bandung yang bertugas membantu industri logam.
"Dorongan untuk ekspor datang dari Dirjen Aneka Industri," kata
Suwandhy. November lalu, Dirjen K. Hadinoto memang mengunjungi
pabrik itu. "Untuk ekspor, sasaran bukan Eropa, tapi Asia dan
negara berkembang lainnya," kata Suwandhy.
Departemen Perindustrian sendiri belum melakukan standarisasi
mesin itu. "Tapi, mutu mesin Sala itu sudah bisa dibanggakan,"
kata F. Lengkong, Kepala ubdit mesin, departemen itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini