MENERJANG masuk ke pasaran internasional, sudah. Merebut hati
penggemar di seantero dunia, juga sudah. Batik boleh dibilang
tak pernah mengecewakan siapa pun, kecuali barangkali mereka
yang memproduksi batik tradisional alias batik tulis.
Menteri Perindustrian lewat SK No. 727/'81 berusaha
menenteramkan rasa khawatir yang rupanya semakin tak tertahan.
Terhitung enam bulan sejak 31 Desember '81, saat SK tersebut
dikeluarkan, tiap pengusaha batik diwajibkan memberi tanda
(label) pada tiap potong batik yang diproduksinya. Jadi batik
tulis diberi label batik tulis demikian pula batik cap atau
batik kombinasi tulis dan cap. Bahkan tekstil yang dicetak
dengan disain batik, harus juga memasang label Tekstil Motif
Batik ada setiap 2 m panjang kain.
Dengan demiklan pembeli segera bisa membedakan mana emas mana
loyang. Begitulah kira-kira. Tapi sesudah mengenal batik nan
loyang kemudian mereka urung membeli, itu belum tentu.
Lama sebelum SK 727 keluar, batik cap (sablonan) secara pelan
tapi pasti mendesak posisi batik tulis. Diproduksi akhir dekade
1960-an, batik cap semakin populer. Bahkan tahun lalu di Pasar
Tanah Abang, Jakarta jumlah batik cap yang terjual dua
berbanding satu dengan batik tulis.
Ini masuk akal karena harga batik cap rata-rata 30-50% lebih
murah. Lagi pula kualitasnya lumayan. Tentang ini Iwan Tirta
berkata, "Belum garansi bahwa yang tulis mesti lebih tinggi
kualitasnya dibanding yang cap."
Garwo Dalem
Nah, kalau tidak segera diamankan batik tulis bisa semakin
terancam. Punah? Tidak, tapi seperti kata I. Sumedi
Wignyosumarto, "Teknik screen printing yang diterapkan untuk
pembuatan tekstil bermotif batik akan menggeser batik
tradisional." Ini menurut Direktur Evaluasi & Standarisasi
Ditjen Aneka industri itu, sudah dilontarkan dalam banyak
kesempatan. Misalnya dalam suatu rapat kerja Nasional
(Rakernas) tahun 1974 di Pekalongan, Rakernas Pertektilan 1981,
terakhir Lokakarya Batil. Oktober silam di Bandung. Malah dalam
surat edaran Dirjen Industri Tekstil No. 214/'70 dianjurkan agar
tidak memproduksi batik dengan printing mekanis.
Tapi bagaikan arus, "batik printing tidak bisa dibendung,"
begitu kata Rustam Aksan, Manajer Perdagangan Batik GKBI.
Atau seperti kata Iwan Tirta, "Kehadiran batik printing tak bisa
dihindari lagi."
Jadi di mana manfaat labelisasi? "Setidaknya sebagai langkah
pertama untuk menertibkan persaingan antara batik tradisional
dan printing," ujar Iwan Tirta Tapi Sumedi menandaskan, "Tujuan
pokok labelisasi ini untuk melindungi mbok-mbok yang di depan
gawangan batik itu, agar tak tergeser oleh yang printing. "
Rustam Aksan punya cerita lain. Katanya, kalangan pengusaha
batik tulis semula mengharapkan keluarnya SK Menteri tentang
pencadangan (reservation schene) batik kain panjang (jarik) dan
sarung. "Artinya batik-batik itu dicadangkan untuk pengrajin
saja, tidak untuk yang mekanis," kata Rustam. Inilah sasaran
pertama pada Lokakarya di Bandung, sedang labelisasi merupakan
sasaran kedua.
Sebaliknya, labelisasi, menurut Rustam, justru memberi
kelonggaran untuk pengusaha batik printing. Dengan SK No. 727,
orang bisa bikin tekstil bermotif batik dengan ukuran kain
panjang dan sarung. "Asal memasang label," tambah Rustam.
Kamaludin, pengusaha batik "BL" Pekal--ngan justru kecewa dengan
labelisasi itu. "Tidak seperti yang digariskan tim perumus,"
katanya.
Bisa Bertahan
Rustam padahal sudah memperhitungkan, kalaupun pencadangan itu
disetujui pemerintah, toh batik printing masih blsa bertahan.
Sekarang menurut manajer GKBI itu, dari total produksi kurang
lebih 200 juta yard ('81), konsumsi batik berbanding 3 (batik
kain dan sarung), 4 (batik bahan, sebagian printing) dan 3
(asesoris, seperti taplak, seprei dan lain-lain. )Sedangkan
proyeksi sampal tahun '86, komposisinya menjadi 4:3:3. "Porsi
printing masih ada," kata Rustam yakin.
Lagi pula batik printing punya konsumen luas, katakanlah,
masyarakat kelas menengah ke bawah. Terutama karena harganya
terjangkau kocek mereka. Darmawan, 42 tahun, pengusaha batik
"Yogya Kembali" di kota gudeg berkata, "Pembeli kelas menengah
tidak begitu mempersoalkan tulis, cap atau printing. Kalau motif
dan warnanya cocok, mereka beli. "Nyonya Jowono, Manajer Batik
Keris di Jakarta juga berkata begitu. Beda dengan istri pejabat
atau garwo dalem Sultan Hamengkubuwono IX, yang menurut
Darmawan, pasti minta batik tulis.
Labelisasi itu sendiri agaknya cuma sekedar pengukuhan tertulis.
Sudah lama para pedagang batik--dalam rangka servis tentu
saja--menjelaskan secara lisan pada pembeli, yang mana batik
tulis, cap atau kombinasi. Dari perbedaan harga yang menyolok,
pembelipunbisa langsung mengetahui. Masalahnya sekarang,
benarkah labelisasi dapat menyelamatkan mbok-mbok pengrajin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini