Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hiburan untuk mbok-mbok

Sk no.727/81, pemerintah menetapkan labelisasi, tiap pengusaha batik diwajibkan memberi tanda (label) pada tiap potong batik yang diproduksinya. (eb)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENERJANG masuk ke pasaran internasional, sudah. Merebut hati penggemar di seantero dunia, juga sudah. Batik boleh dibilang tak pernah mengecewakan siapa pun, kecuali barangkali mereka yang memproduksi batik tradisional alias batik tulis. Menteri Perindustrian lewat SK No. 727/'81 berusaha menenteramkan rasa khawatir yang rupanya semakin tak tertahan. Terhitung enam bulan sejak 31 Desember '81, saat SK tersebut dikeluarkan, tiap pengusaha batik diwajibkan memberi tanda (label) pada tiap potong batik yang diproduksinya. Jadi batik tulis diberi label batik tulis demikian pula batik cap atau batik kombinasi tulis dan cap. Bahkan tekstil yang dicetak dengan disain batik, harus juga memasang label Tekstil Motif Batik ada setiap 2 m panjang kain. Dengan demiklan pembeli segera bisa membedakan mana emas mana loyang. Begitulah kira-kira. Tapi sesudah mengenal batik nan loyang kemudian mereka urung membeli, itu belum tentu. Lama sebelum SK 727 keluar, batik cap (sablonan) secara pelan tapi pasti mendesak posisi batik tulis. Diproduksi akhir dekade 1960-an, batik cap semakin populer. Bahkan tahun lalu di Pasar Tanah Abang, Jakarta jumlah batik cap yang terjual dua berbanding satu dengan batik tulis. Ini masuk akal karena harga batik cap rata-rata 30-50% lebih murah. Lagi pula kualitasnya lumayan. Tentang ini Iwan Tirta berkata, "Belum garansi bahwa yang tulis mesti lebih tinggi kualitasnya dibanding yang cap." Garwo Dalem Nah, kalau tidak segera diamankan batik tulis bisa semakin terancam. Punah? Tidak, tapi seperti kata I. Sumedi Wignyosumarto, "Teknik screen printing yang diterapkan untuk pembuatan tekstil bermotif batik akan menggeser batik tradisional." Ini menurut Direktur Evaluasi & Standarisasi Ditjen Aneka industri itu, sudah dilontarkan dalam banyak kesempatan. Misalnya dalam suatu rapat kerja Nasional (Rakernas) tahun 1974 di Pekalongan, Rakernas Pertektilan 1981, terakhir Lokakarya Batil. Oktober silam di Bandung. Malah dalam surat edaran Dirjen Industri Tekstil No. 214/'70 dianjurkan agar tidak memproduksi batik dengan printing mekanis. Tapi bagaikan arus, "batik printing tidak bisa dibendung," begitu kata Rustam Aksan, Manajer Perdagangan Batik GKBI. Atau seperti kata Iwan Tirta, "Kehadiran batik printing tak bisa dihindari lagi." Jadi di mana manfaat labelisasi? "Setidaknya sebagai langkah pertama untuk menertibkan persaingan antara batik tradisional dan printing," ujar Iwan Tirta Tapi Sumedi menandaskan, "Tujuan pokok labelisasi ini untuk melindungi mbok-mbok yang di depan gawangan batik itu, agar tak tergeser oleh yang printing. " Rustam Aksan punya cerita lain. Katanya, kalangan pengusaha batik tulis semula mengharapkan keluarnya SK Menteri tentang pencadangan (reservation schene) batik kain panjang (jarik) dan sarung. "Artinya batik-batik itu dicadangkan untuk pengrajin saja, tidak untuk yang mekanis," kata Rustam. Inilah sasaran pertama pada Lokakarya di Bandung, sedang labelisasi merupakan sasaran kedua. Sebaliknya, labelisasi, menurut Rustam, justru memberi kelonggaran untuk pengusaha batik printing. Dengan SK No. 727, orang bisa bikin tekstil bermotif batik dengan ukuran kain panjang dan sarung. "Asal memasang label," tambah Rustam. Kamaludin, pengusaha batik "BL" Pekal--ngan justru kecewa dengan labelisasi itu. "Tidak seperti yang digariskan tim perumus," katanya. Bisa Bertahan Rustam padahal sudah memperhitungkan, kalaupun pencadangan itu disetujui pemerintah, toh batik printing masih blsa bertahan. Sekarang menurut manajer GKBI itu, dari total produksi kurang lebih 200 juta yard ('81), konsumsi batik berbanding 3 (batik kain dan sarung), 4 (batik bahan, sebagian printing) dan 3 (asesoris, seperti taplak, seprei dan lain-lain. )Sedangkan proyeksi sampal tahun '86, komposisinya menjadi 4:3:3. "Porsi printing masih ada," kata Rustam yakin. Lagi pula batik printing punya konsumen luas, katakanlah, masyarakat kelas menengah ke bawah. Terutama karena harganya terjangkau kocek mereka. Darmawan, 42 tahun, pengusaha batik "Yogya Kembali" di kota gudeg berkata, "Pembeli kelas menengah tidak begitu mempersoalkan tulis, cap atau printing. Kalau motif dan warnanya cocok, mereka beli. "Nyonya Jowono, Manajer Batik Keris di Jakarta juga berkata begitu. Beda dengan istri pejabat atau garwo dalem Sultan Hamengkubuwono IX, yang menurut Darmawan, pasti minta batik tulis. Labelisasi itu sendiri agaknya cuma sekedar pengukuhan tertulis. Sudah lama para pedagang batik--dalam rangka servis tentu saja--menjelaskan secara lisan pada pembeli, yang mana batik tulis, cap atau kombinasi. Dari perbedaan harga yang menyolok, pembelipunbisa langsung mengetahui. Masalahnya sekarang, benarkah labelisasi dapat menyelamatkan mbok-mbok pengrajin?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus