SOLO di waktu malam, tahun 1935, hari kedua Kongres
Permusyawaratan Perguruan Indonesia. Ada rembulan temaram, apa
di langit ada bintang, bukan urusan. Pokoknya Dr. Satiman berang
bukan alang kepalang, seperti ada tangan jahil melempar
jendelanya dengan tinja.
Dengan gigi gemeletuk dan da kuping bergetar, dia menyerang
habis sistem pesantren tak bersisa. Ngjecap saja itu pesantren
reservoar kultural menjaga dekadensi dan kelestarian. Nonsen
besar pesantren itu penyemprot hama dan vetsin penyedap.
Memajukan bangsa Indonesia? Apa lagi. Kemajuan model apa yang
diperbuatnya? Kalau pesantren bisa, bangsa Indonesia tidak
bakalan lusuh seperti sekarang ini, tak tahu ke mana pergi,
tidur di emper-emper, cuma sanggup melihat sejauh ujung hidung.
Buntutnya panjang. Lewat majalah Pujanga Bam Agustus 1935
terpapar pikiran yang saling tindih, yang satu mengoreksi yang
lain:
Jangan begitu dong, kata dr. Sutomo. "Pada zaman nenek saya
kira-kira pertengahan abad ke-l9, pesantrenlah tempat perguruan
kita yang asli. Tak ada bau pemerintah kolonial di situ. Ribuan
pesantren bertaburan di mana-mana. Sesama santri bagaikan
eratnya rotan berjalin. Levensuiting, sikap hidup bangsa, tidak
terpecah-belah. Kiai menyatukan generasi muda yang berasal dari
tingkat dan jenis sosial berbeda-beda. Bagaikan ikan akuarium
mereka berenang-renang dengan akurnya. Begitu di pesantren,
begitu pula sesudah terjun di masyarakat. Lagi pula, santri
mengejar hidup merdeka, bukan pemburu upah kantoran."
Kini giliran Sutan Takdir Alisjahbana. "Kalau ingin kerja cari
upah supaya hidup senang, apa pula salahnya. Orang hidup
namanya, bukan? Gairahmembllruhakan lenyap dengan sendirinya
jika kerjaan tidak ada. Tengok saja zaman malaise sekarang ini,
bukankah anak-anak lepasan sekolah Belanda banyak yang turun
jualan di Pasar Senen? Walhasil, kesalahan jangan ditimpakan
ke pundak pendidikan Belanda. Keadaan masyarakatlah yang jadi
biang terbesar: yang lulusan sekolah Barat kelewat gampang dapat
kerja dengan gaji bagus.
Dr. Sutomo juga sedikit khilaf. Persatuan kepesantrenan itu tak
lebih dari sekedar gemoedelijkheid, bentuk suatu masyarakat yang
statis. Mereka berada dalam kurungan tradisi yang tak
berubah-ubah. Tak kenal pertarungan dan perjuangan hidup. Segala
orang punya waktu dan kesempatan ngelamun dan tertidur atas
pimpinan kiai. Kiailah figur sentral. Dia yang berpikir buat si
tani, si saudagar, si bangsawan. Persatuan yang tampak indah itu
sebetulnya lemah. Tak ada pembaharuan, tak ada kebebasan. Tiap
pembaharuan dapat tolakan. Yang lembek ini hanya bisa dinanis
jika aturan itu dipecahbelahkan, jika tali pengikat itu diputus
sama sekali. Teladanilah Eropa, Amerika, Jepang."
Satu pagi yang asin karena angin laut, saya jalan-jalan keliling
pesantren yang luas bersama Kiai As'ad Syamsul Arifin di
Asembagus Situbondo . Lahiriah serta hawanya seperti Jengis
Chan, keras, tegas, pandangan jauh menerobos awan. Santri yang
kebetulan berdiri di jarak 15 meter memburu terbungkuk-bungkuk
mencium tangan. Yang jauhan bergerak mundur seperti ada yang
membetot kemejanya. Campur aduk pendapat Dr. Satimat, Dr.
Sutomo, Sutan Takdir Alisjahbana di kepala saya. Di sela-selanya
terlintas pula rumus sosiologis nile Durkheilu tentang beda
besar antara mechanical soliadarity dengan organic solidarity,
yang satu rapuh dan yang lain rasional.
Ada kharisma yang mencekam, itu betul. Kiai bagaikan kaisar
pesisir utara Pulau Jawa. Soalnya, apakah kepatuhan yang
menyeluruh itu menyenangkan hati sang kiai? Saya kira belum
tentu. Kharisma itu muncul begitu saja tanpa diminta, dan tanpa
dipaksa. Dari satu lubang yang sulit dipaham oleh mereka yang
ada jarak. Kiai sendiri tampak kesepian karena tiadanya dialog,
karena hal yang tampak sederhana itu memerlukan waktu
mengubahnya, semacam revolusi kultural yang pelan tanpa
sentakan.
Kepada saya Kiai ngobrol penuh jenaka dan kisah romantik masa
muda. Kepada saya Kiai bicara perihal keadaan negara dan pikiran
pemecahan masalah tingkat tinggi. Keyada saya Kiai mempersoalkan
apa yang pernah ditulis Suzanne Keller dalam dia punya Beyond
the ruling class-nya: pengelompokan elite golongan atas dengan
segala akibat-akibatnya. Kepada saya Kiai menandaskan
keblingeran Ayatullah Khomeini.
Dan kepada saya Kiai As'ad dari Situbondo ini memikirkan cara
bagaimana menerapkan teknologi madya kaum nelayan sepanjang lor
Jawa dan seantero Madura dengan pulau-pulau yang tak sanggup
saya hafal namanya. Jika ada waktu luang, baik juga Prof. Sutan
Taldir Alisjahbana SH bertukar pandangan dengan beliau seraya
santap "capcay' di restoran turis Pasirputih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini