Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Di suatu masa, sebuah soal

Pertengahan abad ke-19, pesantren merupakan tempat perguruan yang tidak berbau kolonial. santri mengejar hidup merdeka, bukan pemburu upah kantoran. persatuan pesantren, suatu bentuk masyarakat yang statis.

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOLO di waktu malam, tahun 1935, hari kedua Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia. Ada rembulan temaram, apa di langit ada bintang, bukan urusan. Pokoknya Dr. Satiman berang bukan alang kepalang, seperti ada tangan jahil melempar jendelanya dengan tinja. Dengan gigi gemeletuk dan da kuping bergetar, dia menyerang habis sistem pesantren tak bersisa. Ngjecap saja itu pesantren reservoar kultural menjaga dekadensi dan kelestarian. Nonsen besar pesantren itu penyemprot hama dan vetsin penyedap. Memajukan bangsa Indonesia? Apa lagi. Kemajuan model apa yang diperbuatnya? Kalau pesantren bisa, bangsa Indonesia tidak bakalan lusuh seperti sekarang ini, tak tahu ke mana pergi, tidur di emper-emper, cuma sanggup melihat sejauh ujung hidung. Buntutnya panjang. Lewat majalah Pujanga Bam Agustus 1935 terpapar pikiran yang saling tindih, yang satu mengoreksi yang lain: Jangan begitu dong, kata dr. Sutomo. "Pada zaman nenek saya kira-kira pertengahan abad ke-l9, pesantrenlah tempat perguruan kita yang asli. Tak ada bau pemerintah kolonial di situ. Ribuan pesantren bertaburan di mana-mana. Sesama santri bagaikan eratnya rotan berjalin. Levensuiting, sikap hidup bangsa, tidak terpecah-belah. Kiai menyatukan generasi muda yang berasal dari tingkat dan jenis sosial berbeda-beda. Bagaikan ikan akuarium mereka berenang-renang dengan akurnya. Begitu di pesantren, begitu pula sesudah terjun di masyarakat. Lagi pula, santri mengejar hidup merdeka, bukan pemburu upah kantoran." Kini giliran Sutan Takdir Alisjahbana. "Kalau ingin kerja cari upah supaya hidup senang, apa pula salahnya. Orang hidup namanya, bukan? Gairahmembllruhakan lenyap dengan sendirinya jika kerjaan tidak ada. Tengok saja zaman malaise sekarang ini, bukankah anak-anak lepasan sekolah Belanda banyak yang turun jualan di Pasar Senen? Walhasil, kesalahan jangan ditimpakan ke pundak pendidikan Belanda. Keadaan masyarakatlah yang jadi biang terbesar: yang lulusan sekolah Barat kelewat gampang dapat kerja dengan gaji bagus. Dr. Sutomo juga sedikit khilaf. Persatuan kepesantrenan itu tak lebih dari sekedar gemoedelijkheid, bentuk suatu masyarakat yang statis. Mereka berada dalam kurungan tradisi yang tak berubah-ubah. Tak kenal pertarungan dan perjuangan hidup. Segala orang punya waktu dan kesempatan ngelamun dan tertidur atas pimpinan kiai. Kiailah figur sentral. Dia yang berpikir buat si tani, si saudagar, si bangsawan. Persatuan yang tampak indah itu sebetulnya lemah. Tak ada pembaharuan, tak ada kebebasan. Tiap pembaharuan dapat tolakan. Yang lembek ini hanya bisa dinanis jika aturan itu dipecahbelahkan, jika tali pengikat itu diputus sama sekali. Teladanilah Eropa, Amerika, Jepang." Satu pagi yang asin karena angin laut, saya jalan-jalan keliling pesantren yang luas bersama Kiai As'ad Syamsul Arifin di Asembagus Situbondo . Lahiriah serta hawanya seperti Jengis Chan, keras, tegas, pandangan jauh menerobos awan. Santri yang kebetulan berdiri di jarak 15 meter memburu terbungkuk-bungkuk mencium tangan. Yang jauhan bergerak mundur seperti ada yang membetot kemejanya. Campur aduk pendapat Dr. Satimat, Dr. Sutomo, Sutan Takdir Alisjahbana di kepala saya. Di sela-selanya terlintas pula rumus sosiologis nile Durkheilu tentang beda besar antara mechanical soliadarity dengan organic solidarity, yang satu rapuh dan yang lain rasional. Ada kharisma yang mencekam, itu betul. Kiai bagaikan kaisar pesisir utara Pulau Jawa. Soalnya, apakah kepatuhan yang menyeluruh itu menyenangkan hati sang kiai? Saya kira belum tentu. Kharisma itu muncul begitu saja tanpa diminta, dan tanpa dipaksa. Dari satu lubang yang sulit dipaham oleh mereka yang ada jarak. Kiai sendiri tampak kesepian karena tiadanya dialog, karena hal yang tampak sederhana itu memerlukan waktu mengubahnya, semacam revolusi kultural yang pelan tanpa sentakan. Kepada saya Kiai ngobrol penuh jenaka dan kisah romantik masa muda. Kepada saya Kiai bicara perihal keadaan negara dan pikiran pemecahan masalah tingkat tinggi. Keyada saya Kiai mempersoalkan apa yang pernah ditulis Suzanne Keller dalam dia punya Beyond the ruling class-nya: pengelompokan elite golongan atas dengan segala akibat-akibatnya. Kepada saya Kiai menandaskan keblingeran Ayatullah Khomeini. Dan kepada saya Kiai As'ad dari Situbondo ini memikirkan cara bagaimana menerapkan teknologi madya kaum nelayan sepanjang lor Jawa dan seantero Madura dengan pulau-pulau yang tak sanggup saya hafal namanya. Jika ada waktu luang, baik juga Prof. Sutan Taldir Alisjahbana SH bertukar pandangan dengan beliau seraya santap "capcay' di restoran turis Pasirputih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus