S~URYA Wonowidjojo - pemilik dan ~ pendiri perusahaan rokok raksasa Gudang Garam (GG)--menjelang akhir hayatnya sempat melelehkan air mata. "Ba~gaimana nanti nasib ratusan ribu 'rakyat' saya," katanya. Taipan yang hidupnya dilandasi falsafah "lilin membakar diri untuk menerangi sekitarnya" saat itu tengah merisaukan nasib 45 ribu karyawannya plus 200 ribu jiwa lebih anggota keluarga mereka, yang menggantungkan nasib pada GG. Dan kecemasannya bisa dipahami. Ketika Surya meninggal - Agustus 1985 -- GG nemang tengah merosot dihantam pesaing yang kian serius: Djarum. Zaman keemasan GG pada 1983 dengan produksi 26 milyar ~batang - 49~, dari seluruh penjualan rokok di Indonesia - tinggal cerita lama. Pada 1984, kendati masih unggul, produksi GG melorot, sementara Djarum terus nenapak naik melewati angka 20 milyar ~batang. Bahkan pada 1985 raksasa dari ~Kediri itu, yang pangsa pasarnya tinggal, terpaksa mengakui keunggulan Djarum, yang bermarkas di Kudus. Kepergian Surya--dikenal jago meramu saus dan tembakau - tampaknya membekas dalam. Yang pasti, "Pasang-surut pasar 'kan Tuhan yang menentukan. Mungkin bintangya sedang suram," ujar Rachman Halim, 40~ tahun, - anak sulung Su~rya.~ yang kemudian mengam~bil alih kemudi "petahu besar" yang seda~ng oleng itu. ~Halim lahir di Kediri dan sejak kecil sudah akrab dengan buruh linting dan suara mesin linting. Sejak 1969 ia sudah digembleng sang ayah nenjadi mandor di salah satu unit pabrik. Segera setelah sang a~yah mangkat, Halim menggebrak. Promosi besar-besaran dilakukan untuk mengejar ketinggalan. Investai "berat"--konon sampai angka ratusan milyar - untuk membeli ~mesin-mesin modern dilakukan, termasuk untuk percetakannya, yang kabarnya termodern di Asia. Di samping itu, sekali lagi terbukti, kunci sukses bisnis rokok terletak pada keahlian meramu tembakau, cengkeh, dan saus. Dan soal Almarhum Surya Wonowidjojo memang tak tertandingi. Sebelum wafat, ia meninggalkan ramuan "wasiat": Gudang Garam Surya. "Itulah warisan terakhir Surya Wonowidjojo," tutur Sujono Notokusumo, 69 tahun,~ Direktur Keuangan, yang dulu adalah tangan kanan Wonowidjojo. Boleh dibilang, GG Surya inilah yang menyelamatkan pamor GG - dengan angka penjualan tertinggi di antara produk GG lainnya. Pada 1986, GG kembali mengungguli Djarum. Dengan produksi 33,5 milyar batang, pada tahun itu GG sudah meninggalkan Djarum dengan selisih sekitar 10 milyar batang. "Kalau dilihat angka produksinya memang naik, tapi market s~hare kami cuma sekitar 41%, masih lebih rendah dari tahun 1983," ujar Yudiono Muktiwidjojo. Direktur Pemasaran. Dan GG tampaknya terus berupaya mengembalikan "masa jaya" di tahun 1983 itu. Itu terlihat dari penerimaan cukai rokok sebesar Rp 1,07 trilyun (1987), GG memberikan andilnya sebesar Rp 393 milyar atau sekitar 39%. Ini di luar pajak penghasilan tahun itu, yang besarnya sekitar Rp 100 milyar - meningkat dari angka tahun 1986 sebesar Rp 80 milyar. Ditargetkan, setoran cukai GG tahun 1988 ini akan meningkat 15% menjadi hampir Rp 452 milyar. Dan GG optimistis, target itu tercapai. Itulah yang membuat GG lebih giat memacu diri. Semangat persaingan ditiupkan di mana-mana. Juga, oleh Rachman Halim, sang taipan baru. "Kalau ada pabrik rokok yang bilang bisa menemukan standar ramuan dengan tepat, itu omong kosong. Hanya mesin kami yang sanggup menjaga standar ramuan dengan ketelitian sampai 99 persen. Sebab, mesin kamilah yang terbaik di Indonesia, bahkan di dunia," kata Rachman Halim menggebu. Di dunia rokok yang kian "berasap" itu, CG agaknya tak mau ambil risiko. Diverisifikasi usahanya sangat konservatif, hanya ke bidang-bidang yang erat kaitannya dengan produk GG. Misalnya, percetakan kertas sigaret di Waru, Surabaya, yang sekarang sudah menyuplai kebutuhan kertas GG. Tahun ini PT Surya Zig Zag, sebuah lagi pabrik kertas sigaret, didirikan di Kediri, dengan investasi US$ 30 juta. "Kami ingin konsentrasi di bidang ini. Itu pesan orangtua dulu," ujar Halim, kolektor mobil antik - di samping kantornya ia memarkir dua mobil Jaguar tahun 60-an. Juni 1988 ini, perusahaan yang punya aset Rp 1,25 trilyun itu genap berusia 30 ~tahun. Berdiri kukuh di atas tanah seluas 153 hektar di jantung Kota Kediri, GG memang seperti "kerajaan" sendiri di zaman merdeka ini. Ada 158 unit rumah karyawan plus asrama untuk lima ribu buruh pelinting rokok. Mereka juga punya gedung tenis meja yang terbesar di Asia. Masih ada lagi tiga helikopter, pembangkit listrik dengan kapasitas 11 megawatt, dan banyak lainnya. Buruh GG juga serba kecukupan. Bonus 19 bulan gaji untuk karyawan yang sudah 10 tahun bekerja. Upah minimal buruh mencapai Rp 1.300,00 per hari - masih di atas upah minimal Rp 850,00 yang ditetapkan pemerintah. "Saya senang kerja di sini," ujar Sulastri, seorang pelinting. Selain cerita sukses ini, wajah kehidupan di GG masih tak banyak berubah dari gubuk bambu 1.000 m2 tempat Surya mulai melinting rokok dulu. Musik dangdut, gending Jawa, suara roda-roda sepeda para buruh dikayuh, dan canda tawa pelinting, yang 90% wanita. Hanya, kini ada suara mesin menderu di unit sigaret kretek mesin. Di sana memang tak ada lagi musik, cuma kerja. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini