DI saat program pemberantasan tiga buta digalakkan - satu di antaranya pemberantasan buta aksara - ongkos membaca malah semakin mahal. Paling tidak, ini akan terjadi pada media cetak. Soalnya, tak lama lagi harga kertas koran akan naik. Artinya, harga koran pun ikut naik. Menpen Harmoko melontarkan berita tak sedap ini dua pekan lalu. Katanya, alasan kenaikan tak lain adalah tingkat. harga yang terjadi sekarang sudah sangat tidak seimbang dengan biaya produksi. Saat ini harga kertas koran eks pabrik Rp 850,00, ditambah biaya tata niaga Rp 30,00, sehingga jatuhnya di tangan penerbit Rp 880,00 per kilogram. Padahal, biaya produksinya konon sudah mencapai Rp 1.000,00 per kilogram. Artinya, kalau benar, selama ini Pabrik Kertas Leces dan PT Aspex Paper selalu menjual rugi. "Lho, kami ini memang merugi," kata Amirul Yusuf, Dirut PT Kertas Leces. Menurut dia, yang paling membebani biaya produksi Leces selama ini adalah harga pulp (bahan baku kertas) yang mahal dan diimpor dari Amerika, Kanada, Brasil, dan Skandinavia. Di samping itu, biaya listrik lumayan tinggi. Itulah sebabnya, biaya produksi bisa mencapai di atas Rp 1.000,00. Dan itu pula yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk menaikkan harga kertas koran. Padahal, Oktober tahun lalu juga sudah naik dari Rp 675,00 jadi Rp 850,00. Tapi, apa mau dikata, pihak produsen masih tetap merugi. Maka, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), hari-hari ini sibuk merapatkan usulan yang diajukan para produsen. Menurut Sabam Leo Batubara, Ketua Bidang Sarana dan Prasarana SPS, para produsen menghendaki agar harga baru ditetapkan di atas Rp 1.000,00 bulan ini juga. Hanya saja, menurut SPS, sebaiknya harga baru diberlakukan Oktober nanti. Atau bertepatan dengan habisnya "masa pajak pertambahan nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah". Entah apa alasannya. Bagi penerbit, kertas koran memang merupakan salah satu komponen biaya yang cukup besar, 30% dari biaya total produksi. "Kalau dinaikkan lagi, yang merasa paling berat adalah penerbit-penerbit kecil," ujar Sabam. Karena mereka tidak hanya dibebani harga kertas, tapi juga ongkos cetak. Sebagai contoh, biaya cetak yang dikeluarkan harlan Pos Kota hanya-Rp 8,00 per eksemplar. Itu karena oplahnya cukup besar. Lain Manado Post, yang oplahnya kecil, sehingga biaya cetaknya melambung menjadi Rp 75,00. Tapi ini bukan berarti penerbit besar tak terpengaruh. Harian Suara Pembaruan (SP), misalnya. Koran beroplah 219 ribu ini tiap bulan mengonsumsi kertas 672,5 ton. Rencananya, kalau harga kertas dinaikkan menjadi Rp 1.100,00 -- seperti diusulkan -produsen yang kalau ditambah PPN dan biaya transportasi Rp 30,00 per kilo, jatuhnya menjadi Rp 1.240,00 per kilo. Maka, harga eceran yang selama ini Rp 300,00 mungkin akan menjadi Rp 400,00 per eksemplar. Bagaimana tidak? Lagi pula, hanya 40% pendapatannya diperoleh dari hasil penjualan koran - sisanya dari iklan. Dan kalau harga kertas naik, tarif iklan pun bisa ikut melambung. "Apalagi kalau pendapatan naik, karyawan ikut minta naik gaji," kata A. Hendra Setiawan, Manajer Keuangan SP. Apa pun kata orang, beberapa kalangan tetap menuding PT Inpers, distributor tunggal, sebagai salah satu penyebab mahalnya kertas koran. Perusahaan ini memang berhak mengutip Rp 30,00 dari setiap kilo, untuk biaya transportasi. Menurut sebuah sumber, dari biaya tersebut Inpers mengambil Rp 10,00, yang dalam satu bulan bisa membengkak jadi Rp 95 juta (kebutuhan kertas tiap bulan 9.500 ton). Untuk apa uang itu? Jakob Oetama, Ketua Umum SPS, menerangkan, "Uang Rp 30,00 yang dikutip Inpers itu digunakan untuk menjaga agar harga kertas koran di seluruh Indonesia sama." Budi Kusumah, Bachtiar Abdullah, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini