TIGA tahap krisis harus dilalui Nyonya Mulia. Dua tahap bisa dipastikan teratasi. Tinggal satu tahap lagi - sampai tulisan ini diturunkan - belum bisa dipastikan akan terlampaui atau tidak. Tapi bila krisis ketiga ini bisa diatasi dengan baik, tubuh Nyonya Mulia yang 2,3 meter itu kemungkinan besar akan berhenti tumbuh secara permanen. Nyonya Mulia, Minggu, 5 Juni lalu, menjalani operasi pengangkatan tumor di RS dr. Sutomo Surabaya. Tumor yang mengganjal di pangkal hidungnya telah mendesak kelenjar hipof~ise yang memproduksi hormon pertumbuhan. Akibatnya, Ny. Mulia tumbuh meraksasa dan lumpuh karenanya. Tim operasi yang dipimpin ahli hormon Prof. H. Askandar Tjokroprawiro tak mendapat kesulitan dalam mengangkat tumornya. Namun, ada hambatan di sektor lain. Yang sudah mencemaskan dari awal adalah kelainan pada jantung dan pembuluh-pembuluh lantung. Terjadi pembesaran pula pada organ-organ ini. Akibatnya, hitungan nadi bisa drop menjadi 32. Karena obat belum tentu bisa menjamin kenaikan detak jantung, maka diputuskan untuk memasang alat pacu jantung. Pemasangan alat ini mengundang kesulitan lain. Operasi yang direncanakan 22 Mei lalu gagal karena sulitnya memasang alat tersebut. Soalnya, pertumbuhan badan Ny. Mulia yang tidak normal telah mengakibatkan bergesernya posisi berbagai organ, khususnya tulang dada yang mendesak ke depan. Pemasangan pada 5 Juni lalu tetap dihadang kesulitan. Akhirnya, alat pacu yang biasanya dipasang di bagian atas dada dialihkan tempatnya d~i sekitar leher. Dan alat pacu ini bekerja baik selama operasi. Proses pembiusan, yang sangat mengandalkan kerja jantung dan pernapasan, sedikit pun tak terganggu. Tidak terjadi penurunan detak jantung maupun tekanan darah. Selain kemacetan kecil pada meja operasi khusus, yang berbentuk seperti kursi, tak ada gangguan serius yang timbul sesudah pengangkatan tumor di pangkal hidung Nyonya Mulia. Operasi ini memang tidak terlalu merepotkan tim RS dr. Sutomo, yang sudah melakukan 40 operasi serupa dengan sukses. Maka, krisis pertama dinyatakan lewat. Ancaman terberat pada krisis kedua adalah kebutaan. Kemun~gkinan ini bisa terjadi karena operasi dilakukan di pangkal hidung. Hingga, menurut Prof. Askandar, mungkin saja mencederai saraf-saraf mata. "Ancaman yang lain adalah diabetes insipidus, yaitu produksi air seni berlebihan," ujar ahli hormon itu "hingga sampai enam liter sehari." Kelainan ini terjadi karena terganggunya produksi hormon cortisol, akibat lanjutan dari kerusakan kelenjar hipofise. Namun, dua hari setelah operasi, tim dokter menyatakan krisis kedua ini juga bisa diatasi. Batas bagi krisis ketiga adalah Senin awal pekan ini. Kekhawatiran pada krisis ini adalah radang otak dan kebocoran cairan otak. Namun, pemantauan yang dilakukan pada akhir pekan lalu menunjukkan bahwa krisis ini tampaknya juga akan bisa dilalui. Untuk sementara, tahap pertama menjinakkan penyakit gigantisme yang diderita Ny. Mulia boleh dikatakan telah sukses. Tahap kedua adalah mengamati kerja kelenjar hipofise. Bila sel-sel tumor masih aktif, kelenjar itu masih tetap akan memproduksi hormon pertumbuhan. Untuk itu, tes pengamatan masih akan terus dilakukan. Adapun tahap ketiga, yakni rencana rehabilitasi dengan tujuan Ny. Mulia bisa hidup normal di kemudian hari, sudah pula disiapkan. Inilah tahap yang makan waktu cukup lama. Jim Supangkat (Jakarta), Hendro Wiyono, Zed Abiedin (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini