RUMAH besar dengan sederet mobil mewah. Lokasinya di kawasan strategis pula. Tak pelak lagi, semua itu bukti kongkret akan kekayaan penghuninya. Tapi rumah di jalan Daha I/2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu juga harus ditinggalkan sementara oleh sang pemilik, Subekti Ismaun, yang Jumat pagi pekan lalu dijemput petugas Kejaksaan Agung RI, untuk menginap di kantor mereka yang lebih dikenal sebagai Gedung Bundar. Subekti, pria yang selalu tampil necis, adalah pensiunan direktur utama Bapindo dan sekaligus orang ketiga dari bank pemerintah itu, yang ditahan sehubungan dengan kasus kredit macet Eddy Tansil-Bapindo. Delapan jam sebelumnya, Kamis malam, Towil Herjoto, bekas Direktur Utama Bapindo, telah lebih dulu "diambil" dari rumahnya yang terletak di Jalan Widya Chandra VII/2, Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Bagi kalangan tertentu di Jakarta, kawasan itu dikenal sebagai kompleks perumahan para menteri, yang selain strategis, nyaman, tentu juga harga tanahnya jutaan rupiah. Hampir bersamaan dengan keberangkatan Subekti Ismaun ke Gedung Bundar, Jumat malam itu juga Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad bertolak -- dengan menggunakan pesawat carteran -- bersama sejumlah pengusaha ke sidang APEC di Honolulu, Hawaii. Sebagai tokoh sentral dalam fiasko Eddy Tansil-Bapindo, Mar'ie masih sempat mengikuti berita penahanan Towil dan Subekti. Adalah Menteri Keuangan juga, melalui SK No. 80/KMK.016/1994, yang membebastugaskan Towil Herjoto dari jabatannya sebagai Direktur Utama Bapindo, Rabu pekan lalu. Gebrakan demi gebrakan telah dilakukannya dalam waktu kurang dari setahun, sejak Mar'ie dilantik menjadi Menteri Keuangan, April 1993. Ia pernah mengancam akan menuntut bankir pemerintah -- bahkan yang sudah pensiun sekalipun -- kalau memang terbukti bankir itu berkolusi. "Tikus besar tikus kecil akan saya tangkap," ujar Mar'ie tandas, "asalkan tidak sampai membakar lumbung." Ancaman itu dilontarkan manakala isu kredit macet bank pemerintah merebak, pertengahan tahun lalu. Sesudah perkara kredit macet reda, muncul kasus penempatan dana Taspen di Barito Pacific Timber. Kendati penempatan itu sendiri tak mungkin ditarik, masyarakat disadarkan pada satu hal: bahwa para pejabat tinggi ternyata tidak selalu hati-hati dalam menangani uang pensiun dan asuransi pegawai negeri yang dititipkan di PT Taspen. Waktu itu Mar'ie mengumpamakan dirinya bagaikan tukang cuci piring, sedangkan orang lainlah yang menikmati hidangannya. Terakhir dalam menangani kasus Eddy Tansil-Bapindo, kendati Mar'ie Muhammad tidak terkesan benar-benar siap -- dalam pengertian kebijakannya direncanakan dengan matang -- arah yang ditempuhnya telah menimbulkan harapan di hati banyak orang. Sikapnya yang tak kenal kompromi, kariernya yang bersih, pemihakannya pada rakyat/pengusaha lemah, segera membuat orang berilusi tentang sebuah pemerintah yang bersih -- tanpa rinci merumuskan apa yang dimaksud dengan pemerintah yang bersih itu. Semua ilusi memang masih terlalu pagi, tapi itulah Mar'ie, sosok paling menonjol dari kelompok menteri Kabinet Pembangunan VI yang akhir pekan ini harus menghadiri pertemuan para menteri keuangan negara-negara APEC di Honolulu. Ia tampak tenang, bahkan santai. Selain rencana lari pagi -- yang terpaksa batal karena cuaca tak memungkinkan -- ia juga menyempatkan diri sembayang Jumat di Islamic Center, satu-satunya masjid di Honolulu. Di pihak lain, Towil Herjoto sempat terguncang dan tekanan darahnya naik, ketika dijemput petugas kejaksaan yang berseragam petugas keamanan Bapindo. Menurut laporan wartawan TEMPO Rihad Wiranto, Subekti dan Towil ditempatkan dalam satu ruangan di Gedung Bundar, sedangkan Maman Suparman, Wakil Kepala Cabang Bapindo, ditempatkan di ruangan lain. Kini, ketiga bekas pejabat Bapindo itu berstatus sebagai tersangka. Menurut Soeparman, Humas Kejaksaan Agung, pihaknya telah menemukan cukup bukti mengenai persekongkolan antara bekas pejabat Bapindo tersebut dengan Eddy Tansil dalam penyelewangan dana Bapindo. Penahanan terhadap Towil dan Subekti dilakukan berdasarkan hasil interogasi jaksa serta hasil audit BPKP. Memang, sejak pertengahan Februari lalu, sebuah tim Kejaksaan Agung -- sering disebut Tim Khusus Bapindo -- giat menyidik ke sana-kemari untuk mengetahui keterlibatan pejabat-pejabat Bapindo. Namun, dari hasil awal, tampaknya mereka sudah yakin bahwa para bekas pejabat Bapindo itu paling bertanggung jawab atas enguapnya dana Bapindo. Kendati demikian, "Kami tetap memegang asas praduga tak bersalah," kata Soeparman kepada Joewarno dari TEMPO. Tuduhan itu memang masih harus dibuktikan. Tapi jika tindak pidana korupsi yang dipakai -- landasan dasarnya UU No. 3 Tahun 1971 -- berarti ada penyelewengan uang negara dalam kasus ini. Dengan kata lain, mereka harus mempertanggungjawabkan nasib kredit Rp 950 miliar (US$ 476 juta) atau Rp 1,3 triliun bila ditambah dengan beban bunga. "Ada indikasi tidak beres di balik kredit itu," Soeparman menambahkan. Maksudnya, kasus Eddy Tansil-Bapindo bukan sekadar perkara kredit macet, tapi sudah menyangkut ketidakberesan menyeluruh dalam pemberian kredit. Dan itu melibatkan para pengambil keputusan di bank serta pejabat tinggi di atas mereka. Keberhasilan Eddy menarik kredit dari Bapindo, misalnya, serasa tak mungkin andaikata tak ada bantuan orang dalam Bapindo. Bukti keterlibatan mantan pejabat Bapindo itu bisa terlihat jelas dari hasil auditing BPKP yang diserahkan ke tim khusus (BI, Departemen Keuangan, dan Kejaksaan Agung) 5 Oktober tahun lalu. Akhir tahun 1989, misalnya, Kantor Besar Bapindo mengirimkan teleks yang isinya menyetujui pemberian kredit (usance L/C) kepada Kantor Cabang Bapindo Kuningan. Padahal, ketika itu akad kredit belum ditandatangani dan konsorsium belum final. Indikasi lain bisa dilihat dari perubahan kredit yang semula berupa usance L/C menjadi red clause L/C. Dengan perubahan itu, pemasok bisa mencairkan dana kredit sebelum barang dikirim. Akibat persetujuan itu, Eddy berhasil membobol uang konsorsium Bapindo US$ 476 juta. "Ini namanya sudah pencurian uang Bapindo," kata seorang pejabat Kejaksaan Agung. Memang, semula cuma disebut-sebut nama Maman Soeparman, wakil kepala Bapindo cabang Jakarta Kuningan. Tapi seorang pejabat Departemen Keuangan meragukan hal itu. Katanya, wewenang untuk mengubah beneficiary merupakan wewenang direksi. Karena, perubahan ini berarti mengubah kontrak yang harus diputuskan oleh dewan direksi, yang sedikitnya diketahui tiga dari lima direksi Bapindo. Namun, dari hasil audit BPKP, diketahui bahwa keputusan itu diambil lewat rapat dewan direksi Bapindo bulan Juni 1992. Di situ hadir Sjahrizal, Adhi Sugondho, dan F. Bambang Kuntjoro. Malah Bapindo pun mengubah pihak yang mencairkan dana kredit (beneficiary) dari semula Lucky Engineering (Korea Selatan) dan Sinopec (RRC) menjadi Golden Step Development di Hong Kong. Perusahaan ini ternyata milik Eddy Tansil. Kabarnya, Kejaksaan Agung masih akan menyeret sejumlah pejabat Bapindo yang lain. Santer disebut-sebut nama F. Bambang Kuntjoro, Sjahrizal, dan Adhi Soegondho. Penahanan terhadap mereka, kabarnya, akan dilakukan pekan ini juga. "Kami masih menunggu kembalinya Menteri Keuangan dari sidang APEC di Hawaii," kata sumber TEMPO. Sumber lain mengatakan, sebelum dilakukan penahanan atas Sjahrizal, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad akan melakukan perombakan di jajaran direksi Bank Tabungan Negara (BTN) -- dewasa ini Sjahrizal menjabat Direktur Utama BTN. Ada kemungkinan ia dibebastugaskan lebih dulu, persis seperti yang dilakukan Mar'ie terhadap Towil. Sejak Towil dicopot dari Bapindo, kursi Direktur Utama Bapindo dipercayakan kepada Achmad Marzuki, yang baru 18 bulan memegang posisi Direktur II. Semasa Subekti, bapak dua orang anak ini selama lima tahun menjabat kepala biro direksi. Kemungkinan mengenai munculnya tersangka baru dibenarkan Soeparman. "Bisa saja nanti ada nama-nama lain yang diperiksa," ujarnya. Selain itu, belum ada keterangan mengenai, misalnya, rekonstruksi menguapnya kredit sindikasi Bapindo sebesar Rp 1,3 triliun. Apalagi mengenani kerugian yang dialami konsorsium Bapindo akibat pembobolan itu. Kabarnya, untuk melicinkan siasatnya, Eddy mengeluarkan US$ 100 juta atau sekitar Rp 200 miliar. Uang yang dibagi-bagikan kepada sejumlah pejabat ini diduga berasal dari kredit Bapindo yang US$ 430 juta. Sedangkan US$ 100 juta lainnya dimasukkan ke rekening Eddy di Swiss atau mungkin juga di Prancis. Tapi penasihat hukum Towil, Denny Kailimang, membantah hal itu. "Berita itu tidak benar sama sekali," ujar Denny. Agaknya, pihak Kejaksaan Agung masih harus bekerja keras untuk menyidik ke mana saja larinya uang Bapindo. Itu kalau tuduhan terhadap bekas pejabat Bapindo masih tetap korupsi. Memang, sebuah sedan Volvo terbaru, Mercy Baby Benz, serta dua mobil buatan Jepang tampak menghiasi rumah Subekti yang berdiri di atas tanah seluas 930 meter persegi. Begitupun rumah Towil di Jakarta Selatan, yang harganya miliaran rupiah, bisa diusut juga. Namun, barang bergerak dan tak bergerak itu tidak cukup berbicara untuk kredit macet Bapindo. Apalagi soal kredit yang dikucurkan ke Golden Key Group (GKG) milik Eddy Tansil masih simpang-siur. Ada yang menyatakan jumlahnya (termasuk bunga) Rp 1,3 triliun, tapi ada pula yang bilang sampai Rp 1,7 triliun. Tak jelas, mana yang benar. Pihak kejaksaan menyatakan, penyidikan belum tuntas, keterangan dari Towil dan Subekti masih sebatas soal prosedur pemberian kredit. "Tunggulah, semuanya masih dalam penyidikan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, A. Soetomo, kepada A. Kukuh Karsadi dari TEMPO. Apa boleh buat, sesudah dua bulan, ternyata benang kusut kasus Eddy Tansil-Bapindo belum terurai juga. Apalagi banyak hasil interogasi yang tak sesuai dengan kenyataan. Para mantan pejabat Bapindo itu, misalnya, memberikan keterangan bahwa bekas Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mendesak ASEI (Asuransi Ekspor Indonesia) supaya membantu proyek Golden Key. Tapi, menurut sumber di Sekretariat Negara, keterangan itu tidak sesuai dengan bukti. "Bukti itu berupa surat, dan Presiden juga sudah tahu isinya," katanya. Dari serentetan pemeriksaan, Departemen Keuangan menemukan sejumlah kecurangan Eddy yang lain. Mungkin karena itu kredit yang dikucurkan kepada Eddy ternyata Rp 400 miliar lebih besar dari perkiraan semula. Angka tersebut, menurut sumber yang dekat dengan petinggi moneter, sempat pula dikemukakan Mar'ie Muhammad dalam pertemuan dengan tujuh pengamat ekonomi di rumahnya, Jumat malam dua pekan lalu. Ini tak bisa lain berarti sebagian uang negara di Bapindo sudah raib bak ditelan bumi. Maka, tim yang menangani kasus ini diarahkan untuk mengamankan uang negara sekaligus menyelamatkan Bapindo (lihat: Menata Masa Depan Bapindo). Upaya itu, misalnya, terlihat mencolok di gedung Bank Indonesia (BI), tempat direksi Bapindo, Bank BNI, BDN, dan pejabat BI kerap mengadakan pertemuan dengan pihak Kejaksaan Agung. Langkah kongkret yang lain ialah langsung menguasai aset milik Eddy Tansil. Ternyata, total aset GKG tak sampai Rp 200 miliar. Tapi ada juga yang menyebutkan, uang konsorsium Bapindo yang dapat ditarik Pemerintah sudah mencapai Rp 400 miliar dan Rp 900 miliar. Katakanlah, uang negara yang bisa diselamatkan Rp 900 miliar. Ini berarti masih ada uang negara Rp 800 miliar yang tak tentu rimbanya. Jumlah itu sungguh tidak sedikit, hingga Pemerintah tak punya pilihan lain kecuali menambal lubang yang menganga itu. Untuk itu, Menteri keuangan Mar'ie Muhammad menugasi Dirjen Lembaga Keuangan, Bambang Subianto, khususnya dalam urusan pembenahan manajemen Bapindo (lihat: Menata Masa Depan Bapindo). Tapi kemungkinan bahwa selain ditangani bank asing, Bapindo akan berubah bentuk menjadi bank eceran (retail) -- jadi bukan lagi bank investasi -- dibantah oleh Mar'ie. "Ah, itu terlalu prematur," katanya kepada Ahmed Kurnia dari TEMPO. Lagi pula, Mar'ie ingin melihat hasil upaya konsolidasi yang dilakukan Achmad Marzuki dkk. Sebenarnya ada satu skenario lagi, yakni melebur Bapindo dengan bank BNI atau Bank Exim. Hanya rencana itu, menurut Mar'ie, terlalu riskan. "Nanti bank yang sudah sehat jadi ketularan sakit seperti Bapindo," kata sumber yang mengutip Mar'ie. Dalam kasus Eddy Tansil-Bapindo, Mar'ie memang menghadapi persoalan yang amat pelik. Selain kebocoran tadi, April depan, ada beberapa kewajiban Bapindo kepada pihak luar -- berupa bank acceptance -- yang sudah jatuh tempo. Jumlah kewajiban itu, konon, mencapai US$ 350 juta. Kabarnya, Pemerintah sedang mengupayakan penjadwalan kembali bank acceptance tersebut. Untuk menutup tagihan yang jatuh tempo itu, Mar'ie juga mengadakan pertemuan dengan pengusaha, termasuk Anthony Salim. Rupanya, Pemerintah berniat menjual sahamnya di PT Indocement, sementara Anthony lebih tertarik mengambil alih Bapindo. Menteri Keuangan agaknya kurang setuju dengan usul itu. Pasalnya, seperti yang dikatakan Mar'ie kepada sumber TEMPO, jika Bapindo dikelola oleh pengusaha Indonesia, dikhawatirkan soal katebelece akan tetap tembus. Benarkah? "Gara-gara an- jloknya harga minyak, Pemerintah memang sangat membutuhkan uang, tapi bukan untuk menambal Bapindo," katanya. Terlepas dari upaya menyelamatkan Bapindo, kabarnya kasus ini juga akan mengimbas kepada Sudomo dan Sumarlin -- masing-masing menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Ketua Badan Pengawas Keuangan. Kabarnya, Kejaksaan Agung telah meminta keterangan tertulis di bawah sumpah dari kedua pejabat ini. "Sebenarnya kedua pejabat ini sedang diperiksa," kata sumber TEMPO di Departemen Keuangan. Hanya, akan tidak mudah bagi pihak Kejaksaan untuk mengorek keterangan dari dua pejabat tersebut. Apalagi untuk meminta keduanya menghadap ke Kejaksaan Agung. Maklum, mereka adalah ketua DPA dan BPK, dua lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan presiden. Akankah mereka terciprat lumpur Eddy Tansil? Kemungkinan ini masih terlalu dini untuk dijawab sekarang. Namun, entah benar atau tidak, kabar terakhir menyebutkan, Sudomo sudah bersedia mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPA. Adapun Sumarlin, sebegitu jauh, masih tanda tanya.Bambang Aji, Linda Djalil, Nunik Iswardhani, dan Ahmed Kurnia (Honululu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini