UMUR Bapindo -- genap 34 tahun pada 16 Agustus 1994 -- tampaknya masih akan panjang. Modalnya yang Rp 600 miliar memang sudah ludas karena tersedot kredit macet, tapi Pemerintah sebagai pemilik Bapindo masih ingin memelihara bank ini. Maka, rencana penyelamatan Bapindo muncul sebagai sisi lain dari upaya membongkar kredit macet Eddy Tansil. Pembagian tugas di kalangan Pemerintah kini pun semakin jelas: Kejaksaan Agung menangani para tersangka, Menteri Keuangan sibuk berupaya agar Bapindo bisa bertahan. Untuk tetap bertahan memang ada beberapa cara, misalnya menyuntikkan modal baru -- seperti yang pernah dilakukan pada Bank Duta. Dan tampaknya ini merupakan keharusan yang tak terhindari, mengingat bank acceptance (surat utang jangka pendek) yang dikeluarkan Bapindo jatuh tempo awal April mendatang. Kabarnya, surat utang itu bisa saja dijadwalkan kembali -- dalam arti ditunda pembayarannya -- tapi konon Pemerintah tak hendak melakukan hal itu. Jadi, Bapindo tetap harus mengeluarkan sejumlah besar uang, yang masih akan diupayakan oleh Menteri Keuangan. Titik-titik terang sudah ada -- konon dengan melepas saham Pemerintah di PT Indocement kira-kira senilai Rp 1,1 triliun -- hingga Mar'ie Muhammad berpeluang untuk memikirkan pembenahan Bapindo. Untuk pembenahan, kabarnya Menkeu condong pada rencana mengontrakkan manajemen Bapindo kepada bank asing. Bahkan rencana ini telah pula dibicarakannya dengan beberapa pakar ekonomi dalam suatu pertemuan Jumat dua pekan lalu (11 Maret 1994). Rencana yang sama, sehari kemudian (12 Maret 1994) dikemukakannya pula kepada para Ketua Fraksi DPR-RI. Memang Mar'ie berpesan agar kedua pembicaraan itu tidak dibocorkan ke luar -- setidaknya sampai 22 Maret pekan ini, sesudah ia pulang dari pertemuan APEC di Honolulu, Hawaii. Ternyata, pers begitu tajam endusannya, hingga rapat itu bocor ke surat kabar. Para pakar yang hadir memang tak ada yang mengaku, namun ketika ditanya, tak urung mereka berkomentar juga. Dari pemantauan TEMPO diketahui bahwa dalam pertemuan di rumah Menteri Keuangan, 11 Maret lalu, itu hadir antara lain Dr. Anwar Nasution, Dr. Syahrir, Dr. Rizal Ramly, Dr. Mari Pangestu, Drs. Kwik Kian Gie, Drs. Rijanto, Drs. Marzuki Usman (Ketua ISEI), Widigdo Sukarman (Dirut Bank Papan Sejahtera), dan Bambang Subianto (Dirjen Lembaga-Lembaga Keuangan Departemen Keuangan). Sehari sebelumnya beberapa dari mereka juga diundang diskusi oleh Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, antara lain untuk mencari pemecahan bagi kasus kredit macet Bapindo. "Pertemuan yang berlangsung enam jam itu tak ada hasilnya. BI tak mempunyai konsep dan para pakar bicara tak karuan ...," begitu kesan salah seorang yang hadir kepada TEMPO. Barulah dalam pertemuan dengan Mar'ie Muhammad, pembicaraan jadi lebih terarah. Semua sependapat bahwa, secara teknis dan hukum, Bapindo sebenarnya sudah bangkrut. Tak bisa lain, Bapindo tinggal pilih: dilikuidasi seperti Bank Summa, disuntik modal baru seperti Bank Duta, atau digabung dengan bank pemerintah lainnya. Yang menarik ialah bahwa Mar'ie mengajukan alternatif lain. Katanya, kredit macet harus dipisahkan dari Bapindo untuk ditangani oleh lembaga tertentu, mungkin swasta atau badan pemerintah. Namun, tanggung jawabnya tetap pada Pemerintah. Sementara itu, Bapindo dioperasikan oleh sebuah bank asing, diikat dengan suatu manajemen kontrak sementara, kira-kira untuk 5 tahun. Alasannya: tenaga lokal Bapindo tak mampu menjalankan bank dengan benar. Jadi, lebih baik minta tolong asing sekalian. Sebelumnya Marie sempat menanyakan apakah ada lembaga yang bisa menyelesaikan kasus kredit macet Golden Key Group (GKG) milik Eddy Tansil. Soalnya, Badan Urusan Piutang & Lelang Negara, PT Asuransi Kredit Indonesia ataupun kejaksaan tak mungkin diandalkan untuk itu. Mar'ie juga mengungkapkan bahwa kredit macet GKG mencapai Rp 1,7 triliun -- Rp 0,4 triliun lebih besar dari angka yang diungkapkan Arnold Baramuli di DPR. Jumlah itu merupakan kredit macet GKG di Bapindo plus di beberapa bank pemerintah lainnya. Bila aset GKG dan proyek-proyeknya dijual, paling banyak diperoleh Rp 900 miliar. Berarti, negara masih kebobolan Rp 800 miliar. Seperti disebutkan di atas, untuk menutup lubang Rp 800 miliar, Pemerintah sudah punya kiatnya. Tapi perihal kontrak manajemen dengan bank asing, Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, kabarnya, tak setuju. Menurut sebuah sumber, alasan Rizal Ramli ialah sistem kontrak manajemen itu seolah-olah akan mengulangi tragedi Bea Cukai dengan SGS. Setelah SGS pergi, ternyata korupsi dan kolusi di Bea Cukai terulang lagi. Padahal negara sudah membayar SGS cukup mahal. Komentar Kwik lebih berbau politis. Dalam konferensi pers DPP PDI, Jumat lalu, Kwik sudah menyatakan, kontrak manajemen itu akan memalukan bangsa Indonesia yang sudah merdeka. "PDI protes keras tentang rencana management contract itu," tandasnya. "Bagaimana kalau sekalian saja urusan penagihan pajak diberikan kepada orang asing?" ujar Kwik, sedikit sinis. Menurut kedua tokoh PDI tadi, kredit macet Bapindo sudah terjadi, maka rakyat Indonesia-lah yang harus menanggungnya. Jika harus dihapus (write off), maka itu bisa ditutup Pemerintah, antara lain dengan menjual saham Pemerintah di Indocement. Tahun 1985, Pemerintah telah menyetor dana US$ 330 juta ke Indocement. Kalau saham itu dijual dengan agio 6 kali sampai 10 kali, bisa diperoleh dana US$ 2 -- 3 miliar. Itu akan cukup untuk menutup segala kredit macet bank-bank pemerintah -- jadi tidak Bapindo saja. "Tapi, demi keadilan, mereka yang bersalah harus diadili. Perusahaannya disita, disehatkan, lalu saham-sahamnya dijual kepada masyarakat," Kwik menandaskan. Anwar Nasution sebaliknya mendukung rencana Menteri Keuangan. "Kita akui ini seperti menjual negara, sama seperti kasus duane dioperkan ke SGS. Tapi semangat nasionalis kita janganlah picik," kata Anwar. Lagi pula, menurut Anwar, Pemerintah membutuhkan sponsor untuk menalangi utang Bapindo yang akan jatuh tempo. Dengan mengundang bank asing, setidaknya diharapkan utang Bapindo pada bank asing yang sudah jatuh tempo bisa diperpanjang. Sebaliknya Kwik dan Laksamana berpendapat, kemampuan bankir- bankir Indonesia sudah memadai. "Tapi kacau karena ada korupsi dan tekanan dari penguasa," kata kedua pakar yang juga anggota pengurus pusat PDI tadi. Anwar sebaliknya berpendapat, kredit macet di Bapindo bukan sebatas soal katebelece dan korupsi. "Kita lihat misalnya cara bankir pemerintah memilih calon nasabah. Kalau seperti kasus GKG, Direktur Utama Bapindo naik helikopter pergi melihat lokasi proyek, lalu oke, kucurkan kredit, profesionalisme seperti itu keterlaluan. Lebih baik kredit itu dikucurkan ke pedagang sate gerobak," ujar Anwar menyindir. Pakar ini tahu betul bahwa Bapindo sudah lama bergaul dengan para bankir internasional, baik dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) maupun Bank Dunia. Bank asing seperti Citibank, menurut Anwar, bukan cuma bisa menyehatkan Bapindo, tapi juga menciptakan kader bankir profesional. "Sekarang saja sudah terbukti, banyak bankir berasal dari Citibank. Majunya bank-bank swasta juga karena meniru produk-produk seperti home loan dan kartu kredit dari bank asing," lanjut pakar yang bicaranya ceplas-ceplos ini. Lagi pula, apa yang diusulkan Menteri Keuangan bukanlah hal yang tabu. "Kalau tidak dilikuidasi, ya merger, atau management contract. Ini pernah terjadi pada sebuah bank di Spanyol yang kemudian, kalau tidak salah, dikontrakkan kepada Morgan Grenfell," lanjut Anwar. Seorang pakar yang cukup kondang juga sependapat dengan Anwar. "Dalam hati kecil, saya sependapat dengan Kwik dan Rizal, tapi secara nalar mendukung upaya Menteri Keuangan," katanya. Hanya diingatkannya, agar dipertimbangkan baik-baik apa syarat yang diminta bank asing. Apakah benar dia bisa menyehatkan bank? Bagaimana menilai auditnya, lalu kualitas manajemennya. Dua hal hampir pasti, bahwa bank yang diundang adalah bank retail -- disebut-sebut nama Citibank, Amex, ABN Bank -- dan bahwa tugasnya adalah membenahi manajemen saja, tanpa harus menyuntikkan dana. Terlepas dari silang pendapat tentang rencana Menteri Keuangan itu, Bapindo diharapkan terus bertahan. Menurut Laksamana Sukardi, Bapindo, sebagai satu-satunya lembaga keuangan pemberi kredit jangka panjang, janganlah digabungkan dengan bank pemerintah lainnya. Justru bank-bank pemerintah yang lain itu yang perlu digabung menjadi satu bank khusus untuk melayani kredit pengusaha menengah, lemah, dan kecil. Kalau sekarang bank-bank dipaksa menyisihkan 20% kredit untuk pengusaha kecil, itu malah berbahaya. "Kalau macet, bank-bank bisa bilang, kami kan dipaksa. Akhirnya minta fasilitas BI lagi." Dalam pandangan Laksamana, merger bank-bank pemerintah penting untuk menghindari kolusi dan menumbuhkan efisiensi. Sekarang di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, misalnya, ketujuh bank pemerintah membuka cabang. Berarti, di situ ada 7 kepala cabang, 7 sekretaris, dan sebagainya. Padahal nasabahnya sama. Menurut Laksamana, jika tujuan Menteri Keuangan adalah mencegah kolusi, mengapa hanya Bapindo yang diserahkan kepada bank asing. "Apakah dengan masuknya manajemen asing di Bapindo bisa dijamin tak akan terjadi kolusi di enam bank pemerintah lainnya?" Masalahnya, apakah bank-bank pemerintah tidak lagi akan didikte oleh arogansi penguasa. Kendati Bank Indonesia telah membuat rambu-rambu, manajemen bank pemerintah justru disuruh melabrak peraturannya. Ada aturan batasan kredit kepada satu nasabah maksimum 25% dari modal, tapi Bapindo dengan modal Rp 600 miliar disuruh memberi kredit Rp 900 miliar kepada GKG. "Ini arogansi ke-kuasaan," cetus Laksamana. Beberapa pakar berpendapat bahwa Indonesia sudah mempunyai banyak bankir profesional. Dr. Sjahrir konon mengusulkan agar Laksamana Sukardi masuk ke Bapindo. Ini usul yang berani. Dalam pelaksanaannya tergantung Pemerintah, apakah bisa menerima mantan eksekutif Citibank dan mantan direktur Lippo Bank, yang kini pengurus PDI, itu untuk jadi bos Bapindo. Lalu, bagaimana kasus Bapindo di mata bank-bank asing? "Bapindo sebenarnya sudah sejak 10 tahun lalu diketahui buruk kondisi kreditnya," kata Phillippe F. Delhaise, President dari Thomson Bankwatch Asia yang berkantor di Hong Kong. Thomson Bankwatch, yang berkantor pusat di New York, adalah sebuah lembaga penilai bank-bank devisa, yang bekerja untuk kepentingan bank di negara maju. "Sudah sering kami ingatkan bahwa Bapindo mempunyai kredit yang aneh," kata Delhaise, yang ditemui TEMPO di Jakarta, dua pekan lalu. Dengan kasus kredit macet di Bapindo, serta upaya pembenahan dari Pemerintah, bank-bank luar negeri kelak diharapkan akan bisa lebih percaya pada bank-bank pemerintah dan bukan sebaliknya.Max Wangkar, Ivan Harris, dan Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini