TUTUPNYA 8 hotel milik pribumi di Sanur Bali tak mengagetkan.
Berita itu hanya meresmikan suara-suara yang lama beredar di
kalangan penduduk Bali. Bahkan diduga, akan segera diikuti oleh
6 hotel sejenis lainnya. Tapi mengapa hotel-hotel yang punya
perlengkapan mewah itu akhirnya harus menutup usahanya?
Dari segi perlengkapan dan fasilitas, hotel di bawah BNHA (Bali
National Hotel Association) ini boleh dibilang termasuk bertaraf
internasional. Tapi jumlah kamarnya yang serba tanggung --
rata-rata 30 kamar setiap hotel -- tak menarik grup turis yang
biasanya tak ingin tinggal berpencar. Beberapa hotel malah sudah
tak didatangi tamu sejak awal September lalu. Dua-tiga di
antaranya gelap di malam hari. Selain pertimbangan menghemat
listrik, ada yang memang sudah diputus alirannya oleh PLN karena
lama menunggak membayar rekening.
Hotel yang berkembang menjelang PATA 74 itu, kini menanggung
bunga yang bertumpuk -- yang tak terlunasi sampai sekarang.
Satu-satunya jalan ke luar yang dianggap paling gampang adalah:
menjual hotel. Dan 8 hotel yang mengumumkan diri "siap jual" itu
adalah Puri Dalem (25 kamar), Mars Bungalow (24 kamar), The
Cazebo, La Taverna (44 kamar), Irama Bungalow (22 kamar), Penida
View, Besakih dan Hotel Respati.
Mengapa 8 hotel yang semuanya ada di seputar pantai Sanur itu
bernasib sial? Nyonya Nuke Yahya, ketua BNHA pemilik Gazebo
menuding "iklim kepariwisataan sekarang tak sehat". Maksudnya,
para turis yang belakangan ini datang ke Bali hanya mengisi
kamar hotel besar seperti Bali Beach (500 kamar) dan Bali
Seaside Cottage (111 kamar), Bali Hyatt (387 kamar) dan juga
Sanur Beach punya Aero Pacific yang 263 kamar. Selain itu
Pertamina Cottage yang megah itu (145 kamar) tak urung juga
banyak diisi oleh para pejabat yang singgah di Bali.
Carter
Ketua BNHA itu beranggapan banjir turis yang memang terjadi
setelah PATA 74, "80 di blok hotel-hotel besar", katanya.
"Bahkan ada tamu asing yang mencalonkan diri untuk hotel yang
lebih kecil, entah mengapa ditarik oleh hotel besar". Begitu
pula dengan penerbangan carter -- yang memang menolong arus
turisme ke Bali -- menurut Nuke tak dinikmati oleh hotel yang
kecil. "Dengan adanya carter memang lebih banyak turis yang
masuk karena tarifnya rendah", katanya. "Tapi mereka itu sudah
diatur di mana harus menginap, di mana berbelanja, di mana
sebaiknya makan dan siapa yang adi pengantar turis".
Adanya kerjasama berantai antara biro perjalanan, penerbangan
dan hotel dianggap tak menyentuh hotel-hotel kecil yang semuanya
milik pribumi itu. Bahkan penerbangan carter oleh Garuda,
Merpati, Sempati dan Pelita menurut ketua BNHA itu "cuma mengisi
4 hotel besar itu saja". Nuke sendiri pernah merasa jengkel
ketika di Jakarta dia membeli Bali Package Tour untuk hotelnya
sendiri, tapi oleh agen setempat dianjurkan ke Sanur Beach.
Hotel besar di Bali, termasuk Sanur Beach, sedikit banyak
dianggap "menyesakkan nafas" usaha kalangan BNHA. Satu dan lain
hal karena hotel besar yang lebih nyaman itu punya kaitan erat
dengan penerbangan dan biro perjalanan. Sekalipun begitu, Eddy
Karmawan dari Sanur Beach beranggapan sebabnya adalah "musim
turis yang memang lagi sepi". Katanya, "hotel kami selama
September lalu juga kosong". Dia sendiri mengakui persaingan
yang timbul dalam bisnis pariwisata di Bali, sekalipun menolak
kalau Sanur Beach dituding memonopoli penumpang Garuda. Tapi
menurut Karmawan, "yang lebih parah adalah persaingan yang tak
sehat antara daerah tujuan wisata di Indonesia".
Emil
Sebagai contoh, bekas karyawan penting HBB Sanur itu sampai
sekarang tak mengerti apa maksud keterangan Dirjen Pariwisata
dan biro perjalanan Pacto 10 Agustus lalu. Siaran yang dimuat
Antara itu menyebutkan kamar hotel di Bali sudah penuh sampai
Januari 1977, hingga Pacto terpaksa menolak permintaan wisatawan
yang ingin mengunjungi Bali selama Agustus, September sampai
Januari tahun depan. "Itu omong kosong dan mendiskreditkan
Bali", ujarnya, seraya mengemukakan bahwa hotel di Bali umumnya
bakal sepi sampai minggu ketiga Desember nanti.
Tapi pengalaman orang Sanur Beach itu amat berbeda dengan
Menteri Perhubungan Dr Emil Salim, yang melihat arus wisatawan
yang masuk Bali bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Begitu
pula yang mengisi kamar-kamar hotel di sana. Kepada TEMPO minggu
lalu, Emil Salim memaparkan angka-angka yang masuk dari Natour
sebagai berikut tahun 1976 ada 20471 turis di antaranya 75.432
asing yang masuk ke Bali. "Ini artinya terjadi kenaikan 22%
dibanding 2 tahun lalu, atau kenaikan 40,45% turis asing yang
masuk Bali", kata Emil. Dan angka-angka yang dikumpulkan Ditjen
Perhubungan Udara, menunjukkan mulai awal Januari sampai April
lalu saja sudah masuk 51.040 turis asing ke Bali liwat pelabuhan
udara Ngurah Rai. Sedang dalam periode yang sama selama tahun
lalu cuma terdapat 28.228 turis.
"Itulah faktanya", kata Menteri Perhubungan. Akan halnya isi
kamar-kamar hotel di Bali -- di tengah banyaknya turis yang
tinggal di perumahan penduduk -- toh menurut Emil Salim
rata-rata masih di atas 50%. Menurut statistik yang sampai di
meja Emil Salim, selama tahun 1975 itu hotel seperti Tanjung
Sari terisi kamarnya 50,58, Segara Village 64%, Kuta Club 64%,
Kuta Beach 73,7%. Tapi Sanur Beach -- yang kini juga merasa sepi
-- ketika itu hanya mencapai 33,8%. Sekalipun ada beberapa hotel
lain yang amat kecil tingkat pengisian kamarnya, seperti Mars
Bungalow yang 27,4% -- umumnya kamar hotel-hotel di Bali selama
tahun lalu dan juga sampai April lalu, menurut catatan Menteri
Emil termasuk lumayan.
Kalau arus wisatawan semakin ramai dan kamar-kamar hotel lumayan
penuhnya -- seperti kata Menteri Emil -- lalu apa yang membuat
hotel-hotel pribumi itu bernasib malang? "Itu akibat kredit
eksploitasi dari bank-bank di daerah", jawab Emil. "Sejak dua
tahun lalu sudah saya kemukakan pada mereka untuk menyambut
bantuan dari PDFCI (Private Development Finance Company of
Indonesia)". Menurut Menteri, selain tingkat bunga kredit itu
tinggi (18%) keinginan PDFCI untuk melakukan usaha pemasaran dan
manajemen bersama kurang disambut para hotelwan di Bali itu.
Satu dan lain hal, karena para pemilik hotel itu merasa was-was
dan lebih suka berdiri sendiri. "Ini kurang lebih sama dengan
keengganan para bankir swasta untuk melakukan merger", katanya.
PDFCI merupakan gabungan usaha dari bank-bank pemerintah dengan
bank-bank asing yang tak boleh membuka cabang lagi di Indonesia,
bersama beberapa pengusaha nasional. PDFCI memang akan turut
serta dalam pemilikan saham kalau hotel-hotel kecil itu bersedia
bernaung di bawah satu bendera. Tapi tak menutup satu waktu
sahamnya kembali dibeli oleh para pemilik hotel itu.
Menurut Menteri, kerjasama semacam itulah merupakan jalan paling
baik bagi hotel-hotel itu untuk menjaring turis asing dari
negeri asalnya. Ini mengingat tipisnya kemungkinan hotel-hotel
kecil itu mendapat bantuan atau fasilitas seperti lazimnya
dinikmati hotel-hotel sebesar Bali Beach, Hyatt dan proyek Nusa
Dua yang bernaung di bawah PM DN.
Adapun soal merger yang gagal dirintis itu dibenarkan oleh
nyonya Arsoyo, pemilik hotel Respati, 26 kamar, yang juga siap
dijual itu. "Soalnya kita-kita ini 'kan masih ingin jadi
direktur kecil", katanya. Sebagai misal pemilik Respati itu
menunjukkan hotelnya yang baru 14 kamar bertaraf
internasional."Jadi kalau saya mencari pasaran langsung ke luar
negeri, selain butuh biaya besar juga kamarnya tak ada. Terpaksa
menunggu saja turis sisa-sisa hotel besar".
Kini, setelah Menteri Perhubungan bertemu sendiri dengan para
pemilik hotel yang lagi susah itu, apakah masih ada kemungkinan
mempraktekkan tawaran PDFCI? "Belum tahu lagi", kata Emil. "Tapi
kalau hutang-hutangnya ditanggung oleh Bank Indonesia, bisa
timbul preseden yang tak baik bagi beberapa hotel di Jakarta".
Beberapa hotel di Jakarta, yang dari luar tampak mentereng, tapi
dari dalam kabarnya mengidap rugi itu, tentu tak bisa disamakan
dengan yang tutup di Bali. Selain tak pernah mencicipi fasilitas
kredit PMDN, hotel-hotel tanggung yang bernaung di bawah BNHA
itu "lama sudah tak diperhatikan orang-orang yang beken di
bidang kepariwisataan", keluh nyonya Nuke.
Yang sampai sekarang merasa santai adalah itu hotel-hotel rakyat
yang banyak terdapat di Kuta. Dengan tarif paling mewah $AS 7
semalam, dengan fasilitas yang hampir sama denan hotel-hotel
BNHA -- sekalipun minus AC -- kelompok hotel Kuta sudah pula
berhasil membentuk operasi pemasaran di bawah satu bendera.
"Bukan sombong, di sini tak ada kamar-kamar kosong seperti di
Sanur", kata manajer hotel Ida Beach di Kuta. Mereka tampaknya
juga tak peduli akan itu proyek hebat Nusa Dua yang di tahun
1980 akan memiliki 2.500 kamar -- dan kelak menurut rencana akan
dibangun 6.000 kamar -- dengan fasilitas luar biasa dari
Pemerintah. "Ah, langganan kami ini kan sudah tetap", kata
seorang hotelwan di Kuta. "Dan turis-turis asing itu dari mulut
ke mulut akan menganjurkan kenalannya untuk menginap di sini".
Asal saja jangan timbul macam-macam aturan yang mempersulit
masuknya turis murah itu ke Bali kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini