Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hotel Tutup. Tapi Wisatawan Ramai...

8 hotel di sanur, bali, ditutup. muncul persaingan dalam bisnis pariwisata. emil salim, menteri perhu bungan, menilai arus wisatawan yang masuk bali dan menempati hotel-hotel bali, terus meningkat. (eb)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUTUPNYA 8 hotel milik pribumi di Sanur Bali tak mengagetkan. Berita itu hanya meresmikan suara-suara yang lama beredar di kalangan penduduk Bali. Bahkan diduga, akan segera diikuti oleh 6 hotel sejenis lainnya. Tapi mengapa hotel-hotel yang punya perlengkapan mewah itu akhirnya harus menutup usahanya? Dari segi perlengkapan dan fasilitas, hotel di bawah BNHA (Bali National Hotel Association) ini boleh dibilang termasuk bertaraf internasional. Tapi jumlah kamarnya yang serba tanggung -- rata-rata 30 kamar setiap hotel -- tak menarik grup turis yang biasanya tak ingin tinggal berpencar. Beberapa hotel malah sudah tak didatangi tamu sejak awal September lalu. Dua-tiga di antaranya gelap di malam hari. Selain pertimbangan menghemat listrik, ada yang memang sudah diputus alirannya oleh PLN karena lama menunggak membayar rekening. Hotel yang berkembang menjelang PATA 74 itu, kini menanggung bunga yang bertumpuk -- yang tak terlunasi sampai sekarang. Satu-satunya jalan ke luar yang dianggap paling gampang adalah: menjual hotel. Dan 8 hotel yang mengumumkan diri "siap jual" itu adalah Puri Dalem (25 kamar), Mars Bungalow (24 kamar), The Cazebo, La Taverna (44 kamar), Irama Bungalow (22 kamar), Penida View, Besakih dan Hotel Respati. Mengapa 8 hotel yang semuanya ada di seputar pantai Sanur itu bernasib sial? Nyonya Nuke Yahya, ketua BNHA pemilik Gazebo menuding "iklim kepariwisataan sekarang tak sehat". Maksudnya, para turis yang belakangan ini datang ke Bali hanya mengisi kamar hotel besar seperti Bali Beach (500 kamar) dan Bali Seaside Cottage (111 kamar), Bali Hyatt (387 kamar) dan juga Sanur Beach punya Aero Pacific yang 263 kamar. Selain itu Pertamina Cottage yang megah itu (145 kamar) tak urung juga banyak diisi oleh para pejabat yang singgah di Bali. Carter Ketua BNHA itu beranggapan banjir turis yang memang terjadi setelah PATA 74, "80 di blok hotel-hotel besar", katanya. "Bahkan ada tamu asing yang mencalonkan diri untuk hotel yang lebih kecil, entah mengapa ditarik oleh hotel besar". Begitu pula dengan penerbangan carter -- yang memang menolong arus turisme ke Bali -- menurut Nuke tak dinikmati oleh hotel yang kecil. "Dengan adanya carter memang lebih banyak turis yang masuk karena tarifnya rendah", katanya. "Tapi mereka itu sudah diatur di mana harus menginap, di mana berbelanja, di mana sebaiknya makan dan siapa yang adi pengantar turis". Adanya kerjasama berantai antara biro perjalanan, penerbangan dan hotel dianggap tak menyentuh hotel-hotel kecil yang semuanya milik pribumi itu. Bahkan penerbangan carter oleh Garuda, Merpati, Sempati dan Pelita menurut ketua BNHA itu "cuma mengisi 4 hotel besar itu saja". Nuke sendiri pernah merasa jengkel ketika di Jakarta dia membeli Bali Package Tour untuk hotelnya sendiri, tapi oleh agen setempat dianjurkan ke Sanur Beach. Hotel besar di Bali, termasuk Sanur Beach, sedikit banyak dianggap "menyesakkan nafas" usaha kalangan BNHA. Satu dan lain hal karena hotel besar yang lebih nyaman itu punya kaitan erat dengan penerbangan dan biro perjalanan. Sekalipun begitu, Eddy Karmawan dari Sanur Beach beranggapan sebabnya adalah "musim turis yang memang lagi sepi". Katanya, "hotel kami selama September lalu juga kosong". Dia sendiri mengakui persaingan yang timbul dalam bisnis pariwisata di Bali, sekalipun menolak kalau Sanur Beach dituding memonopoli penumpang Garuda. Tapi menurut Karmawan, "yang lebih parah adalah persaingan yang tak sehat antara daerah tujuan wisata di Indonesia". Emil Sebagai contoh, bekas karyawan penting HBB Sanur itu sampai sekarang tak mengerti apa maksud keterangan Dirjen Pariwisata dan biro perjalanan Pacto 10 Agustus lalu. Siaran yang dimuat Antara itu menyebutkan kamar hotel di Bali sudah penuh sampai Januari 1977, hingga Pacto terpaksa menolak permintaan wisatawan yang ingin mengunjungi Bali selama Agustus, September sampai Januari tahun depan. "Itu omong kosong dan mendiskreditkan Bali", ujarnya, seraya mengemukakan bahwa hotel di Bali umumnya bakal sepi sampai minggu ketiga Desember nanti. Tapi pengalaman orang Sanur Beach itu amat berbeda dengan Menteri Perhubungan Dr Emil Salim, yang melihat arus wisatawan yang masuk Bali bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula yang mengisi kamar-kamar hotel di sana. Kepada TEMPO minggu lalu, Emil Salim memaparkan angka-angka yang masuk dari Natour sebagai berikut tahun 1976 ada 20471 turis di antaranya 75.432 asing yang masuk ke Bali. "Ini artinya terjadi kenaikan 22% dibanding 2 tahun lalu, atau kenaikan 40,45% turis asing yang masuk Bali", kata Emil. Dan angka-angka yang dikumpulkan Ditjen Perhubungan Udara, menunjukkan mulai awal Januari sampai April lalu saja sudah masuk 51.040 turis asing ke Bali liwat pelabuhan udara Ngurah Rai. Sedang dalam periode yang sama selama tahun lalu cuma terdapat 28.228 turis. "Itulah faktanya", kata Menteri Perhubungan. Akan halnya isi kamar-kamar hotel di Bali -- di tengah banyaknya turis yang tinggal di perumahan penduduk -- toh menurut Emil Salim rata-rata masih di atas 50%. Menurut statistik yang sampai di meja Emil Salim, selama tahun 1975 itu hotel seperti Tanjung Sari terisi kamarnya 50,58, Segara Village 64%, Kuta Club 64%, Kuta Beach 73,7%. Tapi Sanur Beach -- yang kini juga merasa sepi -- ketika itu hanya mencapai 33,8%. Sekalipun ada beberapa hotel lain yang amat kecil tingkat pengisian kamarnya, seperti Mars Bungalow yang 27,4% -- umumnya kamar hotel-hotel di Bali selama tahun lalu dan juga sampai April lalu, menurut catatan Menteri Emil termasuk lumayan. Kalau arus wisatawan semakin ramai dan kamar-kamar hotel lumayan penuhnya -- seperti kata Menteri Emil -- lalu apa yang membuat hotel-hotel pribumi itu bernasib malang? "Itu akibat kredit eksploitasi dari bank-bank di daerah", jawab Emil. "Sejak dua tahun lalu sudah saya kemukakan pada mereka untuk menyambut bantuan dari PDFCI (Private Development Finance Company of Indonesia)". Menurut Menteri, selain tingkat bunga kredit itu tinggi (18%) keinginan PDFCI untuk melakukan usaha pemasaran dan manajemen bersama kurang disambut para hotelwan di Bali itu. Satu dan lain hal, karena para pemilik hotel itu merasa was-was dan lebih suka berdiri sendiri. "Ini kurang lebih sama dengan keengganan para bankir swasta untuk melakukan merger", katanya. PDFCI merupakan gabungan usaha dari bank-bank pemerintah dengan bank-bank asing yang tak boleh membuka cabang lagi di Indonesia, bersama beberapa pengusaha nasional. PDFCI memang akan turut serta dalam pemilikan saham kalau hotel-hotel kecil itu bersedia bernaung di bawah satu bendera. Tapi tak menutup satu waktu sahamnya kembali dibeli oleh para pemilik hotel itu. Menurut Menteri, kerjasama semacam itulah merupakan jalan paling baik bagi hotel-hotel itu untuk menjaring turis asing dari negeri asalnya. Ini mengingat tipisnya kemungkinan hotel-hotel kecil itu mendapat bantuan atau fasilitas seperti lazimnya dinikmati hotel-hotel sebesar Bali Beach, Hyatt dan proyek Nusa Dua yang bernaung di bawah PM DN. Adapun soal merger yang gagal dirintis itu dibenarkan oleh nyonya Arsoyo, pemilik hotel Respati, 26 kamar, yang juga siap dijual itu. "Soalnya kita-kita ini 'kan masih ingin jadi direktur kecil", katanya. Sebagai misal pemilik Respati itu menunjukkan hotelnya yang baru 14 kamar bertaraf internasional."Jadi kalau saya mencari pasaran langsung ke luar negeri, selain butuh biaya besar juga kamarnya tak ada. Terpaksa menunggu saja turis sisa-sisa hotel besar". Kini, setelah Menteri Perhubungan bertemu sendiri dengan para pemilik hotel yang lagi susah itu, apakah masih ada kemungkinan mempraktekkan tawaran PDFCI? "Belum tahu lagi", kata Emil. "Tapi kalau hutang-hutangnya ditanggung oleh Bank Indonesia, bisa timbul preseden yang tak baik bagi beberapa hotel di Jakarta". Beberapa hotel di Jakarta, yang dari luar tampak mentereng, tapi dari dalam kabarnya mengidap rugi itu, tentu tak bisa disamakan dengan yang tutup di Bali. Selain tak pernah mencicipi fasilitas kredit PMDN, hotel-hotel tanggung yang bernaung di bawah BNHA itu "lama sudah tak diperhatikan orang-orang yang beken di bidang kepariwisataan", keluh nyonya Nuke. Yang sampai sekarang merasa santai adalah itu hotel-hotel rakyat yang banyak terdapat di Kuta. Dengan tarif paling mewah $AS 7 semalam, dengan fasilitas yang hampir sama denan hotel-hotel BNHA -- sekalipun minus AC -- kelompok hotel Kuta sudah pula berhasil membentuk operasi pemasaran di bawah satu bendera. "Bukan sombong, di sini tak ada kamar-kamar kosong seperti di Sanur", kata manajer hotel Ida Beach di Kuta. Mereka tampaknya juga tak peduli akan itu proyek hebat Nusa Dua yang di tahun 1980 akan memiliki 2.500 kamar -- dan kelak menurut rencana akan dibangun 6.000 kamar -- dengan fasilitas luar biasa dari Pemerintah. "Ah, langganan kami ini kan sudah tetap", kata seorang hotelwan di Kuta. "Dan turis-turis asing itu dari mulut ke mulut akan menganjurkan kenalannya untuk menginap di sini". Asal saja jangan timbul macam-macam aturan yang mempersulit masuknya turis murah itu ke Bali kelak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus