Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cagar Alam Matematika

Lipi dan tvri mengadakan lomba matematika untuk pelajar tingkat slp dan sla. k kromodihardjo menilai matematika di indonesia perlu dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kepunahan. (pdk)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI papan tulis ada sebuah soal: 3 x 4 adalah. .. Lengkap dengan jawaban yang sudah disediakan: a. 12, b.4+4+4, c. 3+3+3+3, d.tidak tahu. Di hadapan empat orang juri, Lany Kristono, pelajar kelas I SMP Kristen Widya Wanala II Solo, segera memilih jawaban nomor b. Namun juri menyebutkan, salah. Yang dianggap benar adalah jawaban nomor d: tidak tahu. Karena menurut drs. HS Sembiring, salah satu juri yang mengajukan soal itu, "adalah" istilah yang dipergunakan dalam pendekatan konsep ilmu sosial, bukan pendekatan konsep matematika. Jadi "adalah" tidak sama dengan "sama dengan" (=). Kabarnya soal serupa itu sampai kini memang masih kontroversial. Tapi yang jelas nilai untuk Lany, salah satu dari tiga finalis tingkat SLP. Kuiz Matematika yang diselenggarakan LIPI dan TVRI itu, menjadi berkurang. Untuk tingkat sekolah ini berturut-turut, Margery Anggraeni, pelajar kelas II SMP St. Clara, Surabaya, Lany Kristono dan Nina Sriyani, pelajar SMP Muhammadiyah II, Bandung, menjadi juara satu, dua dan tiga. Sementara p,ada kelompok SLA, Tingkir Sigit Apn, pelajar SMA Negeri Tegal, Hendry Suwito Andoyo, kelas II SMA YPPI Surabaya, dan Siti Mardiyah, Sekolah Menengah Farmasi Surabaya, masing-masing menjadi juara satu, dua dan tiga. Keenam finalis, yang diuji kembali untuk menetapkan juara satu, dua dan tiga di ruang LIPI Jakarta, 14 September kemarin itu tentu saja merupakan pelajar-pelajar yang beruntung memperoleh hadiah uang Tabanas masing-masing Rp 40 ribu, Rp 30 ribu dan Rp 20 ribu. Mereka merupakan sebagian dari sebanyak 3.656 peserta yang telah mengirimkan kartu jawaban kwiz (quiz) lewat televisi yang dibuka tanggal 4 sampai 24 Agustus kemarin. Dari jumlah itu, 70% di antaranya telah memberikan jawaban yang benar terhadap dua soal yang sama yang diberikan untuk pelajar SLP dan SLA: tentang segitiga Fibonacci dan tentang segitiga Pascal. Jawaban dikenakan syarat, tidak boleh mempergunakan rumus yang sudan ada (lama). Untuk kwis nomor 2 tentang segitiga Pascal misalnya, kepada peserta tidak diperkenankan menjawab dengan rumus penemuan Isaac Newton, rumus Binomium Newton yang selama ini memang dipergunakan untuk memecahkan soal segitiga ini Kwis ini mengajarkan kepada si anak untuk memecahkan persoalan dengan metode penemuan. "Seolah-olah anak itu sendiri yang memperoleh jawaban, bukan didapat dari gurunya yang mengajarkan rumus-rumus", ujar drs Ismu Basuki, juri tingkat pendahuluan bersama drs HS Sembiring, Djoko Waliadi dan Sogiman. Sehingga diharapkan si anak yang mampu memecahkan persoalan itu merasa seolah-olah dia sendirilah yng menemukan rumus-rumus itu. Bukan Ditakuti Sudah tentu jawaban soal yang datang dari murid SLP dan SLA pendekatannya akan kelihatan berbeda. Karena itu juri selain memeriksa kebenaran jawaban, juga meneliti benarkah jawaban itu datang dari murid itu sendiri. "Dari kewajiban untuk menguraikan jawaban, bisa kelihatan apakah jawaban itu dari murid SLP atau SLA", ujar Ismu Basuki lagi. Sementara ujian final terhadap enam finalis itu, selain dimaksudkan untuk menentukan juara, sekaligus dipergunakan untuk mencek apakah jawaban soal pendahuluan yang dikirimkannya benar-benar hasil pekerjaan sendiri. Memang, dengan peserta sejumlah itu, kwis matematika yang untuk pertama kalinya dilakukan itu, telah mendapatkan sambutan yang lumayan. "Lomba ini bertujuan untuk memperoleh gambaran apakah siaran kita mengenai matematika di televisi diperhatikan penonton atau tidak", ujar drs. Soedito dari LIPI. Ditujukan terutama untuk pelajar SLP dan SLA (belum untuk SD. karena matematika modern di tingkat ini masih dalam perdebatan) pihak penyelenggara memberikan matematika yang sesuai dengan yang diajarkan di se- kolah. "Yang penting siaran tentang matematika itu ingin menjadikan ilmu tersebut sebagai pelajaran yang disenangi bukan untuk ditakuti", ujar Soedito. Menurut Soedito, di beberapa negara lomba matematika serupa itu hampir tiap tahun diselenggarakan. Di Israel ada semacam olimpiade matematika yang disponsori oleh bank negara setempat. Di London, bahkan pesertanya meliputi hampir seluruh negara Eropa. Tapi di sini untuk menyelenggarakan lomba serupa itu, "sulit cari sponsornya", keluh Soedito lagi. Mencegah Kepunahan Di tengah keluhan kurangnya matematikawan di negeri ini, kwis yang diselenggarakan bersama LIPI dan TVRI itu agaknya bisa dijadikan modal untuk menumbuhkan apresiasi matematikawan di kalangan masyarakat umumnya, khususnya para pelajar. Jumlah 151 orang sarjana matematika yang dihasilkan oleh ke 40 perguruan tinggi negeri sampai tahun 19.73 kemarin, bukanlah jumlah yang besar. Tahun akademi 1975 kemarin, hanya 2 dari kira-kira 1000 mahasiswa ITB, dan hanya 18 dari kira-kira 2500 mahasiswa Gajah Mada yang memilih jurusan matematika. Bila keadaannya cenderung seperti itu, beberapa kalangan di perguruan tinggi kuatir, matematika di sini bakal punah. Padahal, "kawasan dan potensi matematika dalam abad komputer ini kian meluas dan mendalam, baik di bidang teoritis maupun praktis", ujar Prof. Bachtiar Rifai, Ketua LIPI. Karena itu, "kalau matematika diperlukan di Indonesia haruslah dilakukan cagar alam alias tindakan preventif untuk mencegah kepunahan", ucap K. Kromodihardjo dari ITB (TEMPO, 7 Agustus). Karena itu agaknya, mencegah kepunahan matematika menjadi topik hangat ketika berlangsung Konperensi Matematika Nasional (dan Asia Tenggara) di Bandung, pertengahan Juli kemarin. "Yang menyedihkan pcrsoalan kita masa kini dan seterusnya, yaitu bagaimana membuat jurusan matematika menjadi suatu jurusan yang laku", ucap Kromodihardjo. Beasiswa di perguruan tinggi sudah dilakukan. Usaha lain dengan mengadakan konperensi matematika itu misalnya sudah juga dilaksanakan. Siapa tahu kwis matematika lewat televisi itu juga bisa menjual matematika lebih laku lagi. Bahkan mungkin jadi semacam obat mujarab. Dibanding misalnya dengan diskusi, seminar atau konperensi yang kebanyakan cuma menghasilkan kiloan kertas kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus