DI papan tulis ada sebuah soal: 3 x 4 adalah. .. Lengkap dengan
jawaban yang sudah disediakan: a. 12, b.4+4+4, c. 3+3+3+3,
d.tidak tahu. Di hadapan empat orang juri, Lany Kristono,
pelajar kelas I SMP Kristen Widya Wanala II Solo, segera
memilih jawaban nomor b. Namun juri menyebutkan, salah. Yang
dianggap benar adalah jawaban nomor d: tidak tahu. Karena
menurut drs. HS Sembiring, salah satu juri yang mengajukan soal
itu, "adalah" istilah yang dipergunakan dalam pendekatan konsep
ilmu sosial, bukan pendekatan konsep matematika. Jadi "adalah"
tidak sama dengan "sama dengan" (=). Kabarnya soal serupa itu
sampai kini memang masih kontroversial. Tapi yang jelas nilai
untuk Lany, salah satu dari tiga finalis tingkat SLP. Kuiz
Matematika yang diselenggarakan LIPI dan TVRI itu, menjadi
berkurang. Untuk tingkat sekolah ini berturut-turut, Margery
Anggraeni, pelajar kelas II SMP St. Clara, Surabaya, Lany
Kristono dan Nina Sriyani, pelajar SMP Muhammadiyah II, Bandung,
menjadi juara satu, dua dan tiga. Sementara p,ada kelompok SLA,
Tingkir Sigit Apn, pelajar SMA Negeri Tegal, Hendry Suwito
Andoyo, kelas II SMA YPPI Surabaya, dan Siti Mardiyah, Sekolah
Menengah Farmasi Surabaya, masing-masing menjadi juara satu, dua
dan tiga.
Keenam finalis, yang diuji kembali untuk menetapkan juara satu,
dua dan tiga di ruang LIPI Jakarta, 14 September kemarin itu
tentu saja merupakan pelajar-pelajar yang beruntung memperoleh
hadiah uang Tabanas masing-masing Rp 40 ribu, Rp 30 ribu dan Rp
20 ribu. Mereka merupakan sebagian dari sebanyak 3.656 peserta
yang telah mengirimkan kartu jawaban kwiz (quiz) lewat televisi
yang dibuka tanggal 4 sampai 24 Agustus kemarin. Dari jumlah
itu, 70% di antaranya telah memberikan jawaban yang benar
terhadap dua soal yang sama yang diberikan untuk pelajar SLP dan
SLA: tentang segitiga Fibonacci dan tentang segitiga Pascal.
Jawaban dikenakan syarat, tidak boleh mempergunakan rumus yang
sudan ada (lama).
Untuk kwis nomor 2 tentang segitiga Pascal misalnya, kepada
peserta tidak diperkenankan menjawab dengan rumus penemuan Isaac
Newton, rumus Binomium Newton yang selama ini memang
dipergunakan untuk memecahkan soal segitiga ini Kwis ini
mengajarkan kepada si anak untuk memecahkan persoalan dengan
metode penemuan. "Seolah-olah anak itu sendiri yang memperoleh
jawaban, bukan didapat dari gurunya yang mengajarkan
rumus-rumus", ujar drs Ismu Basuki, juri tingkat pendahuluan
bersama drs HS Sembiring, Djoko Waliadi dan Sogiman. Sehingga
diharapkan si anak yang mampu memecahkan persoalan itu merasa
seolah-olah dia sendirilah yng menemukan rumus-rumus itu.
Bukan Ditakuti
Sudah tentu jawaban soal yang datang dari murid SLP dan SLA
pendekatannya akan kelihatan berbeda. Karena itu juri selain
memeriksa kebenaran jawaban, juga meneliti benarkah jawaban
itu datang dari murid itu sendiri. "Dari kewajiban untuk
menguraikan jawaban, bisa kelihatan apakah jawaban itu dari
murid SLP atau SLA", ujar Ismu Basuki lagi. Sementara ujian
final terhadap enam finalis itu, selain dimaksudkan untuk
menentukan juara, sekaligus dipergunakan untuk mencek apakah
jawaban soal pendahuluan yang dikirimkannya benar-benar hasil
pekerjaan sendiri.
Memang, dengan peserta sejumlah itu, kwis matematika yang untuk
pertama kalinya dilakukan itu, telah mendapatkan sambutan yang
lumayan. "Lomba ini bertujuan untuk memperoleh gambaran apakah
siaran kita mengenai matematika di televisi diperhatikan
penonton atau tidak", ujar drs. Soedito dari LIPI. Ditujukan
terutama untuk pelajar SLP dan SLA (belum untuk SD. karena
matematika modern di tingkat ini masih dalam perdebatan) pihak
penyelenggara memberikan matematika yang sesuai dengan yang
diajarkan di se- kolah. "Yang penting siaran tentang matematika
itu ingin menjadikan ilmu tersebut sebagai pelajaran yang
disenangi bukan untuk ditakuti", ujar Soedito. Menurut Soedito,
di beberapa negara lomba matematika serupa itu hampir tiap tahun
diselenggarakan. Di Israel ada semacam olimpiade matematika yang
disponsori oleh bank negara setempat. Di London, bahkan
pesertanya meliputi hampir seluruh negara Eropa. Tapi di sini
untuk menyelenggarakan lomba serupa itu, "sulit cari
sponsornya", keluh Soedito lagi.
Mencegah Kepunahan
Di tengah keluhan kurangnya matematikawan di negeri ini, kwis
yang diselenggarakan bersama LIPI dan TVRI itu agaknya bisa
dijadikan modal untuk menumbuhkan apresiasi matematikawan di
kalangan masyarakat umumnya, khususnya para pelajar. Jumlah 151
orang sarjana matematika yang dihasilkan oleh ke 40 perguruan
tinggi negeri sampai tahun 19.73 kemarin, bukanlah jumlah yang
besar. Tahun akademi 1975 kemarin, hanya 2 dari kira-kira 1000
mahasiswa ITB, dan hanya 18 dari kira-kira 2500 mahasiswa Gajah
Mada yang memilih jurusan matematika. Bila keadaannya cenderung
seperti itu, beberapa kalangan di perguruan tinggi kuatir,
matematika di sini bakal punah. Padahal, "kawasan dan potensi
matematika dalam abad komputer ini kian meluas dan mendalam,
baik di bidang teoritis maupun praktis", ujar Prof. Bachtiar
Rifai, Ketua LIPI. Karena itu, "kalau matematika diperlukan di
Indonesia haruslah dilakukan cagar alam alias tindakan preventif
untuk mencegah kepunahan", ucap K. Kromodihardjo dari ITB
(TEMPO, 7 Agustus).
Karena itu agaknya, mencegah kepunahan matematika menjadi topik
hangat ketika berlangsung Konperensi Matematika Nasional (dan
Asia Tenggara) di Bandung, pertengahan Juli kemarin. "Yang
menyedihkan pcrsoalan kita masa kini dan seterusnya, yaitu
bagaimana membuat jurusan matematika menjadi suatu jurusan yang
laku", ucap Kromodihardjo. Beasiswa di perguruan tinggi sudah
dilakukan. Usaha lain dengan mengadakan konperensi matematika
itu misalnya sudah juga dilaksanakan. Siapa tahu kwis matematika
lewat televisi itu juga bisa menjual matematika lebih laku lagi.
Bahkan mungkin jadi semacam obat mujarab. Dibanding misalnya
dengan diskusi, seminar atau konperensi yang kebanyakan cuma
menghasilkan kiloan kertas kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini