Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto mengatakan keinginan bergabung ke blok ekonomi BRICS menunjukkan Indonesia berada di semua keanggotaan dunia dan tidak condong pada blok tertentu.
Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menilai bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat memperkuat posisi Indonesia secara global, membuka peluang investasi, memperluas pasar, dan menguatkan ekonomi domestik.
Jika tak berhati-hati, Indonesia dikhawatirkan hanya menjadi pasar bagi negara-negara anggota BRICS dan merugikan pengusaha domestik.
PRESIDEN Prabowo Subianto ingin Indonesia bergabung ke blok ekonomi BRICS. Menurut dia, langkah tersebut dapat menunjukkan Indonesia berada di semua keanggotaan dunia dan tidak condong pada blok tertentu. "Supaya kita baik di semua tempat," ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin, 28 Oktober 2024.
BRICS adalah organisasi yang dipelopori lima negara, yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pada 2009. Organisasi ini sering disebut sebagai aliansi negara "non-Barat". Sebab, salah satu visi aliansi ini adalah mendorong kerja sama ekonomi, perdagangan, dan politik di antara anggotanya untuk menghadapi dominasi negara maju di kancah global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo yakin keanggotaan Indonesia dalam BRICS bakal memperluas kemitraan secara global. Ia merujuk pada pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sudah bergabung dengan BRICS. Adapun hingga saat ini sudah ada sepuluh negara yang menjadi anggota BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data menunjukkan proporsi ekonomi negara BRICS meningkat cukup tajam. Pada 1990, proporsi ekonomi negara BRICS terhadap perekonomian global hanya 15,66 persen. Sedangkan pada 2022, proporsinya naik menjadi 32 persen. Secara akumulasi, populasi penduduk BRICS mencakup 43 persen populasi dunia.
Badan Pusat Statistik mencatat ekspor nonmigas pada September 2024 terbesar adalah ke Cina dengan nilai US$ 5,35 miliar atau sekitar 25,56 persen dari total ekspor nonmigas. Selain itu, negara anggota BRICS lain yang menjadi salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah India. Pada Juli 2024, misalnya, nilai ekspor ke India mencapai US$ 1,84 miliar, setelah Cina dengan US$ 4,65 miliar dan Amerika Serikat sebesar US$ 1,97 miliar.
Total ekspor Indonesia ke Cina pada 2023 merupakan yang tertinggi, yakni mencapai US$ 62,3 miliar atau 25,66 persen. Kemudian ekspor ke India berada di peringkat ketiga setelah Amerika Serikat, yaitu US$ 20,2 miliar atau 8,35 persen.
Adapun tren ekspor Indonesia ke Rusia selama lima tahun terakhir (2019-2023) meningkat 4,71 persen. Komoditas yang diekspor pada 2023 di antaranya minyak sawit senilai US$ 632,6 juta, suku cadang mesin US$ 26,71 juta, karet US$ 21,43 juta, olahan makanan US$ 19,39 juta, dan lemak cokelat US$ 10,8 juta.
Keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS telah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, pada 23-24 Oktober 2024. Dalam persamuhan itu, BRICS resmi menambahkan Indonesia dengan 12 negara lain sebagai negara mitra atau bukan anggota penuh. Negara-negara tersebut adalah Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam.
Sugiono menekankan bahwa keinginan bergabung ke BRICS bukan berarti Indonesia merapat ke kubu tertentu. "Langkah ini sebagai pengejawantahan politik luar negeri nasional yang berdasarkan nilai bebas-aktif," ujarnya pada 25 Oktober 2024.
Selain itu, Sugiono menilai bergabungnya Indonesia ke BRICS selaras dengan program andalan Prabowo, antara lain ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, serta pemajuan sumber daya manusia.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut baik langkah pemerintah bergabung dengan BRICS. Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menilai kebijakan ini dapat memperkuat posisi Indonesia secara global, membuka peluang investasi, memperluas pasar, dan menguatkan ekonomi domestik.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat negara-negara anggota BRICS berkontribusi sebesar US$ 9,25 miliar. Angka ini mencakup 21,2 persen dari total penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia. Cina menjadi negara yang paling banyak menyumbang penanaman modal asing ke Indonesia, yaitu sebesar US$ 6,06 miliar.
Agar penguatan ekonomi terjadi, Ajib mendorong pemerintah melanjutkan reformasi struktural yang meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperkuat daya saing melalui penghiliran komoditas unggulan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dengan kebijakan itu, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi mencapai sekitar 5 persen. "Potensi pertumbuhannya bahkan masih bisa akseleratif lagi," katanya.
Suasana KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, 24 Oktober 2024. REUTERS/Maxim Shemetov
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini, pun berpandangan Indonesia dapat memperluas tujuan ekspor produk unggulannya apabila bergabung dengan BRICS, terutama untuk produk penghiliran. "Selain memperkuat pangsa pasar, dapat memperkuat rantai pasok produksi ke negara-negara Global South melalui perjanjian kerja sama perdagangan," ucapnya.
Melalui BRICS, Indonesia juga memiliki peluang mengurangi tarif dan hambatan nontarif bagi produk ekspornya. Karena itu, Eisha menyarankan pemerintah memetakan potensi produk dan pasar di negara-negara BRICS.
Selain dapat mendorong ekspor produk Indonesia, ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, berpendapat bahwa Indonesia dapat merasakan manfaat penggunaan mata uang bilateral BRICS dalam perdagangan. "Ini dapat mengurangi dampak volatilitas dolar AS dan mempermudah pemenuhan cadangan devisa," tuturnya. Terutama dalam perdagangan dengan Cina dan India yang menjadi mitra dagang utama.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS juga dinilai membuka peluang negosiasi kebijakan perdagangan yang lebih besar, terutama dengan negara-negara seperti Rusia dan Afrika Selatan. Namun Awalil menekankan ada risiko yang bisa muncul dari reaksi negara non-BRICS, seperti Amerika dan sekutunya, yang porsinya sekitar 25 persen dari ekspor Indonesia.
Indonesia sempat menimbang-nimbang untuk menjadi anggota BRICS dalam setahun terakhir. Presiden Joko Widodo pernah menghadiri undangan KTT BRICS di Sandton Convention Centre, Johannesburg, Afrika Selatan, pada 24 Agustus 2023.
Saat itu Jokowi mengatakan Indonesia tidak akan tergesa-gesa bergabung dalam aliansi BRICS. Dia menegaskan bahwa Indonesia masih akan mengkaji dan mempertimbangkan keikutsertaan menjadi anggota aliansi BRICS. Di sisi lain, Jokowi berupaya bergabung dengan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk meningkatkan kredibilitas Indonesia di kalangan investor global.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Muhammad Faisal menganggap BRICS lebih cocok bagi Indonesia dibanding OECD. Pasalnya, anggota BRICS terdiri atas negara berkembang dengan pasar dan produk domestik bruto besar serta memiliki pengaruh signifikan dalam ekonomi dan geopolitik global.
Adapun Faisal menilai OECD—sebagai koalisi negara maju—memiliki karakteristik dan kepentingan ekonomi yang berbeda dengan Indonesia. Keanggotaan dalam OECD dinilai bisa menghilangkan berbagai fasilitas yang diterima Indonesia sebagai negara berkembang. "Bagaimanapun, Indonesia perlu kalkulasi ekonomi yang matang ihwal keuntungan perdagangan, investasi, dan ekspor yang dapat didorong," ucapnya.
Sementara itu, ekonom Indef, Dzulfian Syarifan, menilai keanggotaan di koalisi lain, seperti OECD dan G20, tetap relevan untuk investasi jangka pendek. Jika terlalu dekat dengan salah satu kelompok, Indonesia justru bisa terseret dalam konstelasi konflik geopolitik global. Kondisi ini dapat mengorbankan posisi diplomasi nonblok Indonesia. Dengan demikian, Indonesia perlu menyeimbangkan manfaat dari dua koalisi ini.
Jika pemerintah tak berhati-hati, ia juga khawatir Indonesia hanya menjadi pasar bagi barang-barang negara-negara anggota BRICS. Itu akan merugikan pengusaha domestik. Untuk menghindari itu, Indonesia perlu strategi dan peta yang jelas. Misalnya mengoptimalkan akses ke pasar besar di Cina dan India, belajar dari Brasil di sektor bioenergi, serta menjalin perdagangan energi dengan Rusia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda pun memperingatkan potensi benturan kepentingan dengan Amerika Serikat jika Indonesia bergabung dengan BRICS. Situasi ini bisa mengurangi fasilitas perdagangan dan memperbesar kemungkinan terimbas perang dagang AS-Cina, terutama jika terjadi perlambatan ekonomi global.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo