Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Inflasi, sumarlin, dan kecemasan

Laju pertumbuhan ekonomi 1989 mencapai 7,4%. inflasi meningkat sampai 7,2%. penyebabnya selain ulah bank-bank juga karena kenaikan harga barang. batas aman inflasi sampai 10% per tahun.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR menggembirakan itu kembali dilaporkan Presiden Soeharto. Di depan para wakil rakyat, Kamis pekan lalu, Pak Harto menjelaskan, bagaimana keadaan ekonomi berkembang ke arah yang semakin baik. Laju pertumbuhan ekonomi di dalam negeri pada 1989 mencapai 7,4%. "Ini merupakan laju pertumbuhan tertinggi yang dapat kita capai dalam kurun waktu delapan tahun terakhir," kata Pak Harto. Sektor-sektor ekonomi di luar migas, yang langsung menentukan kehidupan sebagian besar rakyat, tumbuh lebih cepat, yakni 8,2%. "Tempo kegiatan ekonomi kita selama beberapa tahun terakhir ini memang mengalami percepatan." Seiring dengan itu, laju inflasi pada 1989-1990 bisa direm sampai ke tingkat 5,5% -- lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya (1988-1989) yang 6,6%. Maka, ketika berbicara soal inflasi, Pak Harto tak lupa menambahkan, "Dalam tahun 1990-1991 ini, kita bertekad tetap mengendalikan inflasi pada tingkat yang aman dan tidak memberatkan rakyat." Inflasi memang salah satu ancaman yang sudah diperhitungkan banyak pihak, ketika pertumbuhan ekonomi memperlihatkan grafik menanjak yang tajam. Dalam kondisi serupa itu, ancaman jumlah uang yang beredar akan semakin banyak bukan hal baru. Pertumbuhan sektor perbankan, terutama setelah Pakto 1988, juga tidak bisa dimungkiri telah ikut mengerek angka inflasi. Sejak Pakto, telah muncul 36 bank umum swasta nasional dan 12 bank campuran serta 197 BPR baru. Perluasan kantor cabang baru sudah mencapai 407. Dari jumlah itu, 339 di antaranya merupakan kantor cabang bank umum swasta nasional. Pengerahan dana masyarakat meningkat dari Rp 49,4 trilyun menjadi Rp 73,8 trilyun. Sebagian besar dana tersebut kemudian dicairkan kembali ke pelbagai bentuk kredit. Bahkan sampai menimbulkan persaingan dalam promosi pemberian kredit, terutama untuk kredit konsumsi. Peredaran rupiah melimpah. Menurut para pakar, peningkatan kredit konsumsi sangat berperan meninggikan inflasi. Maka, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin mengeluarkan jurus pengetatan rupiah untuk mendukung tekad seperti yang dikatakan Pak Harto itu. Yang sudah dilakukannya antara lain melakukan penyedotan dana masyarakat melalui penjualan SBI, dengan tawaran bunga lebih tinggi ketimbang deposito. Kabarnya, kebijaksanaan tersebut akan terus dilanjutkan. Maka, tidak mustahil akan lahir beberapa strategi moneter baru. Yang akan diterapkan sampai laju inflasi dapat dikendalikan -- maksudnya, tentu, pada tingkat yang tidak lebih tinggi dari tahun fiskal yang lalu. Persoalannya, perkembangan keadaan di lapangan sudah memperlihatkan fakta yang memberatkan. Selama tujuh bulan, Januari-Juli, angka inflasi kita sudah 7,2%. Padahal, untuk periode yang sama tahun silam, puncaknya baru pada 4,45%. Sebelum Pemerintah mengedarkan SBI ke masyarakat, kalangan perbankan telah kena sodok, harus segera mengembalikan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) yang jatuh tempo. Sesuai dengan Pakjan 90 (menyangkut penyempurnaan sistem perkreditan), skim kredit yang ditunjang dengan kredit likuiditas telah berkurang dari 23 jenis menjadi hanya empat. Yakni kredit usaha tani, kredit bagi koperasi, kredit pengadaan pangan, dan kredit peningkatan investasi -- kesemuanya pada akhir April lalu jumlahnya sudah mencapai Rp 6.690 milyar. Untuk jenis kredit lainnya, seperti untuk ekspor (berjangka waktu tiga bulan), KIK/KMKP, kredit investasi kecil (maksimal delapan tahun), kredit modal kerja permanen (maksimal lima tahun), yang pada akhir April lalu berjumlah Rp 10.875 milyar, secara bertahap akan ditarik sesuai dengan jangka waktu kredit-kredit yang bersangkutan. Menurut Pakjan 90, KLBI untuk mendukung kredit-kredit tersebut layak dihilangkan karena dianggap ikut mendongkrak inflasi (inflatoar). Tahun ini, KIK, KMKP, dan KE (Kredit Ekspor) yang jatuh tempo sekitar Rp 5 trilyun. Tapi kemudian timbul masalah, karena banyak bank yang menggenjot pemberian kredit sebelum KLBI jatuh tempo. Mereka rupanya menuruti permintaan pasar yang memang meningkat, yang sebagian justru untuk konsumsi (seperti rumah dan mobil). Catatan BI menunjukkan, posisi pinjaman rupiah dan valuta asing sampai Maret total Rp 73.849 milyar. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan Februari (Rp 66.611 milyar), apalagi Januari (Rp 64.559). Karena pemberian kredit itu banyak yang diberikan untuk jangka lama, bank-bank itu kerepotan ketika harus mengembalikan KLBI mereka ke BI. Terjadilah mismatch (kondisi tidak seimbang). Mereka kemudian lari ke pasar uang antarbank (call money), yang menyebabkan bunganya menjadi fluktuatif. Padahal, kalau mau ambil fasilitas diskonto, dengan bunga 19%, mereka lebih tenang karena pinjaman itu untuk mismatch yang biasanya cuma beberapa hari. Dan fasilitas diskonto tidak akan menimbulkan inflasi karena jumlahnya tidak banyak dan masa pengembaliannya cepat. Ada satu dua bank devisa swasta yang mengakui, untuk mengatasi mismatch itu mereka sering mengambil dana dari sumber off shore loan. Ini berarti devisa yang dirupiahkan alias ekspansi likuiditas, penambahan jumlah uang yang beredar. Padahal, peningkatan jumlah pinjaman yang dikucurkan bank-bank ke masyarakat bisa menjadi satu faktor yang ikut mendorong inflasi juga. Yang mengerem penggunaan devisa adalah peraturan net open position, yang menentukan jumlah pinjaman dari luar negeri tidak boleh melampaui 25% dari total aset. Tapi BI selanjutnya tidak memiliki wewenang untuk mengatur, katakanlah, jumlah off shore loan yang boleh dimasukkan dan berapa yang diizinkan untuk dirupiahkan. Menurut seorang pejabat di lingkungan Ekuin, kita memang menjalankan kebijaksanaan rezim bebas secara konsekuen. Mustahil membatasi kegiatan bank-bank pemerintah maupun swasta untuk menyedot dana melalui pinjaman luar negeri. Bahkan sekarang pun perusahaan di sini, salah satu contohnya Astra International belum lama berselang, bisa langsung mencari dana tambahan di pasar uang Singapura. Sampai ada yang mengatakan, pinjaman-pinjaman tersebut mungkin saja akan ikut membesarkan DSR kita. Menurut Direktur Pasar Uang dan Giralisasi BI, Binhadi, selain karena dukungan aset, nilai swap yang relatif kecil ikut mendorong bank-bank melakukan pinjaman ke luar negeri. Swap merupakan selisih bunga deposito di dalam negeri (biasanya yang berjangka enam bulan) dengan LIBOR -- angka bulan lalu rata-rata 6%. Berdasarkan perkembangan terakhir, BI kemudian meninggikan nilai swap, seiring dengan kenaikan suku bunga deposito di sini. "Saya kira kita belum terlambat menaikkan suku bunga," kata Binhadi. Menyangkut kekhawatiran peningkatan DSR akibat pinjaman luar negeri yang bukan dilakukan oleh Pemerintah tersebut, Binhadi bilang, "Tak perlu khawatir." Kalau pinjaman swasta itu diimbangi dengan kenaikan ekspor, maka itu tidak akan menjadi beban. Ia baru akan menjadi persoalan kalau dimanfaatkan untuk konsumsi dalam negeri kendati bentuk konsumsinya itu tanah dan rumah, misalnya. "Maka, BI menganjurkan agar pinjaman tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan usaha yang berorientasi pada pendapatan dolar." Memang tidak ada jaminan bahwa pinjaman mata uang asing itu sedikit pun tidak ada yang dirupiahkan. Atas nama rezim devisa bebas, BI tidak bisa mengatur berapa persen dari pinjaman tersebut bisa dirupiahkan. Sementara itu, jumlah rupiah yang bisa dimanfaatkan secara leluasa untuk konsumsi, melalui kartu kredit atau kredit konsumsi, makin bertambah. Maka pertumbuhan pasokan uang (money supply growth) belakangan ini sudah 40% sampai 50%. Jumlah tersebut sangat tinggi, mengingat ketika selama ini, pada pertumbuhan 20-25% saja, kita mengalami kesulitan mengendalikan inflasi. "Kalau baru lima bulan saja sudah 50%, itu berat sekali," kata seorang pejabat Ekuin. Bagaimanapun, inflasi yang terjadi tidak sepenuhnya disebabkan oleh peredaran uang melimpah akibat polah para bankir tersebut, yang mengobral kredit konsumsi -- atau demand pull inflation. Sebab, masih ada faktor cost push (kenaikan biaya-biaya produksi). Ini dimulai sejak kenaikan harga BBM. Efeknya kemudian pada ongkos transportasi dari pelbagai komoditi. Ongkos transpor tersebut tak bisa ditahan lagi untuk naik terus, ketika terjadi kekurangan prasarananya, yakni truk. Tindakan Pemerintah untuk membolehkan impor truk jadi (3.000 unit) adalah salah satu jawaban atas problem prasarana tersebut. Masalahnya, truk-truk itu sampai sekarang belum berdatangan, sehingga kenaikan biaya transpor termasuk tinggi, yakni 8,34%. Inflasi yang membubung memang salah satu harga pertumbuhan. Dan kenaikan inflasi 1-2% per bulan, menurut pakar ekonomi CSIS, Hadi Soesastro, sudah tidak wajar lagi. Sebaliknya, pada saat inflasi harus direm atau kalau perlu dikurangi dari tingkat 7,2% per Juli lalu, tebusannya juga ada. Yakni mengerem pertumbuhan GDP. "Itu memang maksud pemerintah," kata Hadi Soesastro," pertumbuhan yang terlalu tinggi merupakan sumber inflasi." Maka, Hadi juga tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa pengetatan rupiah ini ada hubungannya dengan dampak Pakto. "Ini sebenarnya macro economic management biasa. Ekonomi yang tiba-tiba menjadi panas, ya, didinginkan," katanya, "karena ternyata ekonominya tidak mampu bergerak secepat itu tanpa menimbulkan inflasi. Kalau pertumbuhan tinggi, tapi inflasinya juga tinggi, ya, tidak baik." Berapa batas toleransi inflasi untuk kita? Sejumlah orang, termasuk di antaranya pejabat di Ekuin, setuju kalau inflasi itu masih bisa dimaafkan sampai 10% per tahun. Tapi kalau kurang dari itu dengan korban lebih banyak pada pertumbuhan GDP, ya, kenapa tidak. Menurut Gubernur BI Adrianus Mooy, pengorbanan ini tampaknya lebih baik daripada inflasi tak terkontrol. Katanya, kalau inflasi tinggi, pengaruhnya akan dirasakan pada ekspor. Setiap saat kita harus melakukan penyesuaian terhadap dolar. Selanjutnya, "Akibat paling fatal adalah apabila orang sudah tidak percaya terhadap rupiah," kata Mooy. Kalau ini terjadi, bencana akan terasa lebih besar. Barangkali itu sebabnya Pemerintah lebih suka tak bermain api dengan inflasi. Dan Pak Harto perlu menyinggung soal inflasi itu dalam pidatonya. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus