Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Memerangi rasa tak aman

Anggota brimob dan tim buru sergap polda sumbagsel memerangi kejahatan di daerah tersebut. 63 orang diringkus, sejumlah kecepek dan senjata tajam disita. sumbagsel tercatat paling rawan pembunuhan.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI Sumatera Selatan, pekan-pekan ini, terpaksa menghunus "kapak perang" terhadap kejahatan. Puluhan anggota Brimob (Brigade Mobil), dengan baju antipeluru bergandeng bahu dengan Tim Buru Sergap Polda Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), berpencar dari markasnya, terjun ke lapangan. Operasi yang dilaksanakan atas perintah Kapolda Sumbagsel, Mayjen. Putera Astaman, selama tiga pekan terakhir ini ternyata tak sia-sia. Tak kurang dari 63 orang begundal yang meresahkan masyarakat diringkus. Sejumlah kecepek (senjata api jenis lokal) dan senjata tajam juga disita. Langkah Putera Astaman itu memang perlu. Wilayah ini tercatat paling rawan pembunuhan di Indonesia, dengan angka 311 kasus pada 1989 -- di atas Jawa Timur dengan 195 kasus dan Sul-Sel-Ra 194 kasus. Untuk kejahatan yang mengakibatkan korban dirawat di rumah sakit, Sumbagsel juga nomor wahid. Tercatat 1.755 kasus, disusul DKI Jaya 1.453 kasus, dan Ja-Tim 1.259 kasus. Statistik total semua jenis kejahatan di sana meroket sejak 1984 dengan 9.018 kasus, turun jadi 8.710 kasus (1985), tapi melejit menjadi 9.374 kasus (1986), dan bahkan gembung jadi 12.438 kasus (1987). Puncaknya mencapai 14.058 kasus (1988) dan 13.288 kasus (1989). Khusus pencurian dengan kekerasan saja, sejak Januari sampai Juni 1990 sudah 509 kasus. Lokasi kejahatan tak cuma di darat. Tapi juga di perairan, misalnya di Sungai Musi, yang ramai dilayari penduduk membawa hasil bumi, ataupun tanker milik swasta asing yang mengambil minyak dari Pertamina di Sungai Gerong atau Plaju. Tahun lalu terjadi belasan kasus rompak mirip bajak laut di tengah sungai yang membelah Kota Palembang itu. Keadaan itulah yang mendorong Putera Astaman menurunkan pasukan elitenya. Pasukan Brimob itu rata-rata penembak mahir dan jagoan karate atau judo. "Satuan ini dulu yang ikut menumpas GPK Warsidi di Lampung," kata Kadit Serse Polda Sumbagsel, Letkol. M. Dayat, pada Effendy Saat dari TEMPO. Turunnya satuan Brimob itu ternyata juga memacu rakyat memberi laporan pada polisi. Berkat itu, polisi dengan gampang menggulung begundal-begundal di daerah itu, termasuk yang tergolong kelas kakap. Sebutlah Emong, 33 tahun, dan lima anak buahnya yang mengaku sudah 12 kali melakukan perampokan di Sungai Musi. Juga Nuri, dengan sepuluh anggota komplotannya, mengaku sudah 17 kali merampok di darat dan di sungai. Cara bekerja Emong dan Nuri ini termasuk rapi. Selain bisa tukar-menukar anak buah, keduanya juga punya beberapa komplotan lain. Anak buah masing-masing punya tugas khusus. Ada yang memata-matai mangsa berduit, ada pengebut mobil dan pengemudi speed boat. Selama ini, salah satu faktor yang membikin polisi kewalahan adalah keterampilan masyarakat membikin kecepek. Yakni senjata api yang bentuknya seperti pistol atau senapan. Pelurunya timah dan mematikan. Perajin besi ini banyak bertebaran di Ogan Komering Ilir (OKI), Lahat, dan Musi Banyuasin, Sum-Sel. Nah mereka ini yang kemudian menyuplai para penjahat. Tak hanya itu, senjata api sungguhan juga dipakai penjahat dalam melakukan aksi kejahatan. Pada 1988 saja Polda berhasil menyita 161 pucuk senjata api -- 37 pistol Colt 38,4 Colt 32, 18 FN 46 dan FN 45, serta 63 kecepek -- dari tangan penjahat. Pada 1989, angka itu turun menjadi 44 pucuk berupa 1 FN 45, 1 Colt 32 dan 5 Colt 38, serta 34 pucuk kecepek. Persoalan yang belum terjawab: kenapa angka kejahatan di daerah ini paling tinggi? Sebuah penelitian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang pada 1988 menyebut penyebabnya tak cuma soal ekonomi. Juga faktor watak masyarakat setempat yang mudah tersinggung. Sebab itu, kasus penganiayaan dengan menggunakan senjata tajam merupakan rekor tertinggi dari semua jenis kejahatan di daerah itu. Pada 1984, misalnya, kasus penganiayaan ini mencapai 72%. Tahun berikutnya turun menjadi 66%. Perihal mudah tersinggung ini diungkapkan dalam pepatah daerah Lahat, yang berbunyi "Nido mono mati jadilah". Artinya, "Jika tak membunuh lebih baik mati". Karena itu, hanya karena soal sepele, orang daerah itu bisa membunuh temannya. Contoh yang paling tragis menimpa Rozali, yang cuma karena buang angin tewas ditikam temannya, Abdurrahman, pada 31 Juli 1989 lalu, di Palembang. Korban penganiayaan tak terbatas pada penduduk biasa, bahkan juga pada petugas Polri. Sepanjang 1989 saja ada 10 polisi yang luka ringan, 6 orang luka berat, dan 3 orang meninggal dunia akibat dianiaya ketika menjalankan tugas. Di antaranya, Koptu. Ruslan Ginting di Polres Musi Banyuasin, yang tewas ketika menggerebek pelaku pencurian. Begitu pula Kapolsek Ketibung, Lettu. Supratman, yang tewas sewaktu menangkap pencuri di Desa Tanjungan, Lampung Selatan. Faktor lain, menurut hasil penelitian itu, adalah kebiasaan masyarakat membawa senjata tajam. Itu dibenarkan Kadispen Polda Sumbagsel, Letkol. Irawan Shaleh, dalam wawancaranya dengan TEMPO awal 1990. "Pisau belati sudah dianggap sebagai pakaian lelaki," kata Irawan. Yang tak membawanya di waktu malam dianggap nang ino alias wadam. Apalagi sejak dulu, penduduk yang bertanam kopi jauh ke hutan mendaki gunung sudah terbiasa membawa senjata tajam untuk melindungi diri dari serangan binatang buas atau perampok. Kebiasaan itu terbawa ke mana-mana, termasuk bila mereka sedang belanja ke pasar. Kebiasaan itu tak hanya dilakukan penduduk desa, tapi juga "orang" kota. Bahkan, menurut Dr. Zainab Bakir, Kepala Pusat Penelitian Unsri Palembang, senjata tajam itu biasa ditaruh penduduk di bawah jok mobil atau dalam tas kantor. "Malah di dalam laci meja kerja," kata Zainab, yang meraih Ph.D. dari Florida State University pada 1981 dalam bidang sosiologi dan kependudukan. Hal itu membudaya, kata Zainab, "semata karena rasa tak aman yang menyelimuti masyarakat." Itulah sebabnya ia mengimbau Polda agar lebih efektif menciptakan rasa aman. "Sepanjang orang merasa tak aman, pasti kebiasaan membawa senjata tajam itu sukar dihapuskan," katanya. Nah, rasa tak aman itu yang sekarang hendak dijawab Putera Astaman. Bersihar Lubis (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus