HIDUP, kata pepatah, bagaikan roda berputar, tidak menentu. Hari ini cerah, besok boleh jadi dikejar-kejar tukang kredit. Begitu pula, serbuan Irak ke Kuwait awal bulan ini sempat membuat beberapa orang di Indonesia meloncat kegirangan. Betapa tidak. Harga minyak jenis minas misalnya kini US$ 23 per barel. Padahal, kontrak sebelumnya cuma US$ 19. Lantas ada yang meneteskan air liurnya, mengingat penerimaan migas kita tahun ini semakin gemuk berkat "bonus" dari Saddam. Tapi perang biasanya buruk bukan cuma bagi yang bersengketa, melainkan juga bagi negeri lain. Indonesia, misalnya, kecipratan sialnya. Hubungan ekonominya dengan Irak terhenti. "Ekspor RI jelas akan terganggu," ujar Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Radius Prawiro seusai upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Tanda-tandanya sudah banyak. PT Karana Line Surabaya, misalnya, terpaksa menangguhkan pelayarannya ke Irak. Sedianya mereka akan mengirim 2.000 m plywood, 200 ton flatbar, 200 m3 kayu jati, dan 100 ton kawat. Indonesia memang salah satu anggota yang mengikuti resolusi 661 PBB: melakukan sanksi ekonomi terhadap Irak. Perusahaan pelayaran di Surabaya kini dicekik biaya asuransi tinggi. Akibatnya, banyak kapal yang cuma tertambat di pelabuhan. Padahal, semester pertama tahun ini ekspor ke Timur Tengah dari Jawa Timur sudah mencapai 16 ribu ton. "Nilai ekspor dari Jawa Timur ke Irak dan Kuwait tahun lalu saja sebanyak US$ 26,5 juta," ujar Kepala Bagian Perdagangan Luar Negeri Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Jawa Timur. Kekhawatiran yang lebih besar, kini, dirasakan para pengusaha. Pasalnya, perdagangan Indonesia -- Irak sudah dua tahun ini menggunakan sistem imbal beli. Berdasarkan Memorandum of Understanding yang ditandatangani di Baghdad, RI membeli minyak mentah Irak 30.000 barel per hari. Tapi, sebagai imbalan, Irak harus menggunakan setiap dolar yang didapatnya untuk mengimpor produksi Indonesia. Dengan cara ini Irak memperoleh produk Indonesia seperti teh, karet, minyak kelapa sawit, tekstil, dan besi. Namun, tak semua barang yang diekspor selalu diterima Irak. Tergantung kesepakatan harga dan kebutuhan akan barang. "Namanya dagang, tak bisa dipaksa-paksakan kalau tak cocok," ucap Menmud Perdagangan Soedrajad Djiwandono. Toh, cara berdagang seperti itu dianggap menguntungkan kedua pihak. "Bagi Indonesia, ekspor kita lebih terjamin," katanya. Menurut Soedrajad, sebelum krisis, perjanjian imbal beli RI -- Irak berjumlah US$ 280 juta per tahun. Mungkin karena itu PT Indah Kiat Pulp & Paper Co. menghentikan ekspornya ke Timur Tengah. Sebab, dengan pembekuan asetnya oleh negara Barat, Irak nyaris bangkrut. "Kasihan para pengusaha kita yang belum sempat dibayar," ucap Soedrajad lagi. Salah satu perusahaan Indonesia yang terlibat imbal beli dengan Irak adalah PT Jakarta Kyoei Steel Works Ltd. Tahun lalu pesanan berupa 51.800 ton besi. Menko Ekuin menegaskan bahwa Indonesia setia pada keputusan PBB. "Sampai krisis di Timur Tengah berakhir," katanya. Bila tiba saatnya, Menmud Perdagangan optimistis hubungan dagang RI-Irak akan berlanjut. Permintaan dari Timur Tengah memang tidak berhenti. Pekan lalu, PT Samudera Indonesia Surabaya masih mendapat pesanan ekspor 150 ton katun dari Kuwait. Tapi, jangan lupa, ekonomi Irak tak mungkin sehat bahkan bila krisis Teluk selesai tanpa satu butir peluru ditembakkan. Pertengahan tahun lalu saja, jumlah utang luar negeri Irak sebesar US$ 65 milyar. Akibatnya, pelayanan masyarakat -- air dan listrik antara lain -- terpaksa dipangkas. Toh, pada tahun 1986 dan 1987 Saddam tetap saja mogok bayar sebagian utangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini