Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau Murah, Kok Diturunkan ?

Menteri Hartato mengatakan harga pelat timah akan turun. Dianggap mahal dibanding harga impor. Tidak menguntungkan produsen barang berkemasan kaleng. PT Latinusa membantah harga pelat timah mahal.

8 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA pelat timah akan turun. Pernyataan Menteri Perindustrian Hartarto, yang dikutip Jakarta Post pekan lalu, mengisyaratkan hal itu. Sebab, kabarnya, harga pelat timah lokal sekarang ini memang lebih mahal dibanding impor: bisa 20% lebihnya. Itu tentu tidak menguntungkan produsen barang berkemasan kaleng untuk bersaing di pasar baik lokal maupun luar negeri. Namun, PT Latinusa, satu-satunya penghasil pelat timah di Indonesia, membantah bahwa produknya kelewat mahal. Dirutnya, Kashmir Batubara, mengatakan, "Harga yang kami pasang hanya lima persen lebih mahal daripada impor." Yakni, rata-rata US$ 729 per ton, harga di atas kapal di Cilegon. Harga itu, menurut Batubara, sudah murah. Sebab, kurang setahun lalu harganya masih US$ 835 setiap ton. Bahwa kemudian kesepakatan antara pihaknya dan para pemakai pelat timah menentukan tingkat harga tadi disebutnya sebagai kesediaan Latinusa menjual produknya dengan harga terendah. Tapi masih tetap lebih mahal dibanding pelat timah Jepang? "Tentu saja, karena mereka pakai harga dumping," kilah Batubara. Banting harga gaya Jepang tersebut ditudingnya sebagai cara untuk mempertahankan pasar internasionalnya -- dalam hal ini Indonesia. Sedang di pasar Jepang sendiri tetap lebih mahal. PT Kemasinti Nusantara memperkuat anggapan itu. Kemasinti adalah penyalur tunggal pelat timah baik impor maupun produk Latinusa. Dirutnya, Sofyan, mengaku tak menjual mahal pelat timah lokal. "Kalau ada perbedaan dengan harga impor, selisihnya hanya sedikit," katanya. Tak mengapa begitu, bila pemakainya masih bebas memilih pelat timah mana yang akan dibelinya. Masalahnya, sejak Juni tahun lalu, pabrik kaleng kemas dibatasi ketentuan tidak boleh mengimpor bahan bakunya. Jadi, hanya Latinusa tempat belanja 121 pabrik kaleng, besar dan kecil. Sementara itu, Latinusa pada tahun pertama (diresmikan tahun lalu) baru mampu menghasilkan pelat timah yang mahal serta dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Karenanya, di antara 146 ribu ton pelat timah yang diimpor tahun lalu, baru diselingi dengan 5 ribu ton produk Latmusa. "Harga yang ditentukan Latinusa sudah diterima, disepakati bersama, jadi mau apa lagi?" kata RM Machribie, Ketua Asosiasi Kemas Kaleng Indonesia, yang juga Direktur Utama United Can Co. (UCC). Kalaupun akan ada penurunan harga, juga tak menggembirakannya. Pihaknya -- semata sebagai industri kaleng -- memang bukan sasaran peringanan nanti. Hanya perusahaan yang membikin kaleng sekaligus mengisinya dan mengekspornya yang diuntungkan. Seperti halnya Mantrust dan Great Giant Pineapple Co. -- dua perusahaan yang masih boleh memakai pelat timah impor dengan alasan produk Latinusa belum memperoleh sertifikat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika. Tapi PT Borsumij Wehry Indonesia menyambut senang. "Kalau itu terjadi, benar-benar akan sangat membantu," kata A. Sukandar, Direktur Pemasaran Borsumij. Selama ini, persoalan kaleng dirasakannya memberati harga jual produknya. Sebagai contoh ditunjuknya kalengan ikan sarden merk Kiku yang harga jualnya Rp 200. Untuk mengemas biaya kalengnya 43%. Tapi untuk produk lain, yang harga jualnya tinggi, beban kaleng memang menjadi tidak terasa. Latinusa belum akan mampu menutup seluruh keperluan pelat timah dalam negeri. Tingkat kebutuhan masih akan tumbuh 3% setahun. Tahun ini pun Latinusa baru mampu 70% produksi. Selang dua tahun lagi, kapasitas 130 ribu ton setahun terpenuhi -- tingkat produksi yang masih lebih rendah dibanding kebutuhan tahun lalu sekalipun. Tentang penurunan harga, Latinusa tak banyak menanggapi. "Kemungkinan itu ada," kata Batubara. Tapi ia menolak sebutan "menurunkan harga" dan tetap beranggapan bahwa produknya sudah berada pada tingkat harga terendah. Yang mungkin, kata Batubara, pemerintah akan memberikan insentif pada perusahaan pengekspor kemasan kaleng. Tentu saja nilainya tidak sebesar dugaan semula sampai 20%. Diperkirakan, hanya sebatas menggantikan posisi sertifikat ekspor yang sebentar lagi dihapuskan. Ada atau tidak insentif buat pemakai pelat timah Latinusa, harga yang ditanggung konsumen akhir tidak akan berkurang. Latinusakah yang menikmati? Sudah terang Batubara menolak anggapan itu. Ia menyebutkan, nilai pelat timah dalam produksi kaleng hanya 60%, dan sisanya merupakan biaya produksi lainnya. Zaim Uchrowi Laporan Budi Kusumah & Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus