PALING sedikit ada tiga BB yang populer di Amerika Serikat. Yang satu, pasti Anda tahu, Brigitte Bardot -- sekalipun dia bukan orang Amerika. Satu lagi, the Big Blue, julukan untuk IBM yang logonya berwarna biru. Dan satu lagi, the Blue Box, julukan untuk American Express yang logonya berupa bujur sangkar berwarna biru. The Beach Boys terpaksa tak diperhitungkan di sini. Perusahaan-perusahaan di Amerika mempunyai nicknames masing-masing. Terutama di bursa saham yang selalu hiruk-pikuk. Union Carbide disebut Ukulele karena dalam bursa saham memakai inisial UK. McDonald Douglas disebut Mad Dog. Louisiana Land disebut Lousy Land. Saat ini, ketika bank-bank di Indonesia dituntut untuk meningkatkan layanannya kepada masyarakat -- bahkan tuntutan itu terasa agak di luar kewajiban bank -- tradisi American Express dalam melayani masyarakat mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan. Bahwa bank, pada dasarnya, memang tidak melulu urusan uang. Belum lama ini American Express, yang kartu kreditnya dipegang 2 juta orang, memasang iklan sehalaman penuh pada beberapa surat kabar utama dunia. Iklan itu memuat ucapan terima kasih kepada seluruh stafnya di Mexico City -- semua nama mereka tercantum dalam iklan itu -- yang telah ikut serta melakukan pertolongan ketika terjadi gempa hebat yang memporak-perandakan kota itu. Para wisatawan, tidak hanya yang memegang kartu kredit atau cek wisata American Express, yang terjebak dalam situasi kacau itu ditampung dalam pengungsian khusus. Dan secara sukarela, beyond the call of duty, para pegawai American Express memperhatikan kebutuhan para wisatawan. Amex pun menguruskan perjalanan mereka kembali ke negara masing-masing. Menolong pada saat bencana adalah tradisi American Express yang telah lama merupakan bagian dari kredo mereka. Perusahaan yang berdiri sejak 1850 ini semula hanya melayani pengiriman paket kecil dan uang tunai ke seluruh Amerika. Perampokan dan penodongan masih merupakan atraksi sehari-hari pada waktu itu. Karena itu, pegawai Amex tidak saja cermat dalam mengurus administrasi, tetapi harus juga mampu membekuk para penjahat bertopeng. Jasa bank baru dimulainya pada saat Perang Dunia 1. Sekarang diversifikasi Amex telah mencakup: pariwisata dan perjalanan, bank internasional, jasa keuangan dan konsultansi investasi, asuransi. Sejak membeli 50% saham Warner Communications baru-baru ini, Amex juga membuat kejutan baru dalam blantika musik Amerika dengan memperkenalkan kanal televisi baru: Music Television. Sasaran dari semua bidang usaha itu adalah sederhana: to respond to needs in the marketplace. Sasaran yang dijabarkan hanya dalam garis besar inilah yang agaknya membuang citra mata duitan pada Amex. Soalnya, yang dinamakan kebutuhan di marketplace itu memang tidak hanya uang. Dalam corporate culture-nya pun tampak keberanian Amex dalam mengambil entrepreneurial risk. Pada waktu kebakaran besar menciptakan abu dan puing di atas 300 hektar tanah di Chicago, pada 1871, Fireman's Fund (salah satu subsidiary Amex) yang waktu itu baru delapan tahun berdiri, tanpa banyak cingcong membayar setiap sen dari claim yang diajukan. Jumlah claim itu sendiri sebenarnya sudah cukup untuk membuat Fireman's Fund bangkrut. Tetapi, toh mereka membayar keseluruhannya karena sadar bahwa para pengusaha itu akan semakin patah semangatnya bila urusannya tidak dibuat lancar. Pada waktu Perang Dunia I meletus, Amex dengan cepat membantu orang-orang yang telantar (stranded) di Eropa dan memulangkannya ke Amerika. Ketika suasana keruh dan panik, serta penuh kecurigaan dan ketakpercayaan, Amex tetap mengeluarkan dolarnya kepada orang-orang yang telantar itu. Dengan penuh keramahtamahan. Amex memang tidak hanya muncul pada saat bencana. Mereka menyisihkan sebagian dari hasil keuntungannya di sektor pariwisata untuk disumbangkan kembali ke beberapa institusi wisata yang memerlukan bantuan. Program ini disebut Cause-Related Marketing Program yang altruistik. Kebun Binatang Chicago, misalnya, tahun lalu merupakan salah satu yang memperoleh bantuan dana pembangunan dari Amex. Bank harus mampu menunjukkan integritasnya kepada masyarakat luas. Dan itu persis seperti yang selalu ditekankan oleh Mochtar Riady, seorang bankir Indonesia, bahwa bisnis bank adalah bisnis kepercayaan. Kita memang merindukan peran bank yang lebih dari sekadar institusi uang. Pada masa sesulit ini, kepada banklah kita akan mengadu. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini