GULA naik harganya. Sekarang konsumen harus membelinya antara Rp 600 dan Rp 700 per kg - pukul rata naik 5% dibandingkan sebelumnya. Terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? Benar. Namun, kenaikan harganya sesungguhnya tidak harus sebesar itu. Sebab, menurut Darwin Effendi Pohan, kepala Bagian Penyaluran Gula Pasir Bulog, kenaikan harga akibat PPN bertarif 10% itu "Sebenarnya, cuma 0,48% dari harga sebelum April." Maksudnya, harga tebus gula eks gudang, sejak 1 April lalu, hanya naik dari Rp 52.647 jadi Rp 52.902 per 100 kg. Tapi karena si manis ini harus melewati banyak pintu, dari penyalur, grosir, lalu pengecer, harganya jadi tertendang naik di luar kontrol Bulog. Pengusaha sendiri bagai memperoleh peluang menaikkan harga sesukanya di tengah hangatnya pemberlakuan ketentuan baru PPN. Belum jelas apakah Bulog perlu melepas stok penyangganya untuk mengerem gejolak harga itu. Menurut perkiraan pihak Gabungan Asosiasi Penyalur Gula dan Terigu Indonesia (Gapegti), kenaikan harga tebus eks gudang 0,48% tadi sebetulnya hanya akan menyebabkan pergerakan harga Rp 625 sampai Rp 675 per kg. Usaha mengurangi kenaikan harga, sebenarnya, sudah cukup dilakukan pemerintah. Di situ, misalnya, pemerintah menghapuskan sama sekali pungutan biaya eksploatasi gudang yang Rp 200, penelitian Rp 200,dan pajak penjualan sebesar Rp 2.200 per kuintal. Sedangkan yang dikurangi, cukai gula dari 10% jadi 4%, marjin penyalur dari 4% jadi 2%, grosir dari 3% jadi 2%, pengecer dari 10% jadi 5% - hanya bunga bank yang naik dari Rp 1.757 jadi Rp 2.204 per kuintal. Dengan pengurangan dan penghapusan seJumlah komponen itu, maka tambahan beban atas harga gula yang dibeli Bulog berkurang dari Rp 12.647 jadi Rp 10.402 per 100 kg. Toh, harga gula tetap naik, sekalipun tambahan biaya tadi sudah dikurangi. Kenapa? Sebab, harga gula tebusan KUD dari tangan petani dinaikkan dari Rp 40 ribu jadi Rp 42.500. Dengan cara itu, pendapatan petani menjadi lebih baik - sekalipun sebagian konsumen terpaksa dikorbankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini