SAMPAI Senin pekan ini, karyawan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) masih sibuk berbenah. "Kami masih membereskan macam-macam, nih," kata seorang karyawati sambil hilir mudik mengangkut map dan peralatan kantor lainnya. Inilah gema dari reorganisasi besar-besaran di instansi pemerintah itu. "Dengan organisasi baru ini BKPM diharapkan akan meningkatkan pelayanannya," kata penjabat ketua BKPM, Ginandjar Kartasasmita pada pelantikan 141 pejabat baru di kantor itu, Kamis pekan lalu. Bukan berarti banyak pejabat kehilangan kursinya. Muka lama masih muncul dalam jabatan yang baru, hanya nama jabatannya tak selalu sama. "Tiga jabatan deputi pada susunan organisasi lama diperas jadi dua, lalu ditambahkan satu jabatan deputi baru," kata Sanyoto Sastrowardoyo, wakil ketua BKPM, kepada TEMPO. Deputi Perencanaan & Penilaian serta Deputi Promosi & Pengembangan kini dipadukan menjadi Deputi Perencanaan dan Promosi. Deputi Perijinan & Penilaian dipertahankan, tetapi ditambahkan lagi Deputi Pengendalian Pelaksanaan BKPM, yang sama sekali baru. Untuk apa? "Soalnya, sekarang tak seorang pun di kantor ini tahu bagaimana sebenarnya nasib Rp 51,7 trilyun dana yang disetujui BKPM sejak berdirinya dulu," kata Sanyoto, menjelaskan. Dengan kata lain, organisasi yang lama ternyata lemah dalam pengawasan pelaksanaan proyek. Nah, diharapkan penambahan deputi baru ini dapat mengatasinya. Maklum, percuma saja menyetujui banyak proyek jika pelaksanaannya tidak ada. Soal ini jadi terasa penting di tengah sengitnya persaingan menyedot modal. "Kita sekarang tak cuma bersaing dengan negara berkembang, tapi juga dengan negara maju," kata Sanyoto, sambil menunjuk 3.000 proyek yang ditanam Jepang di AS. Belum lagi rayuan RRC yang semakin membuka dirinya terhadap modal asing. Maka, daripada melepaskan modal di tangan, BKPM menugasi para inspektur di bawah deputi baru ini menyelidiki semua rencana investasi yang sudah disetujui. "Bahkan juga membantu melancarkan yang macet," kata Sanyoto tegas. Memang, kadang kala kita lupa terhadap isi kantung sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini