PERJALANAN ikan tuna ke Jepang bertambah satu malam. Sebelum sampai ke piring sebagai sashimi, ikan tuna segar asal Indonesia ini dipaksa menginap di bandar udara internasional Narita, Tokyo. Ikan-ikan itu harus dikarantina sebelum dinyatakan laik makan. Beleid karantina ini berpangkal pada kejadian 24 September tahun lalu. Pagi itu pesawat Garuda GA 872, yang di antara kargonya terdapat 2.372 kg tuna segar, mendarat di Narita. Kebetulan, aparat Koseisho atau departemen kesehatan Jepang berniat memeriksa maguro alias tuna yang baru tiba itu. Kadang kala ini memang dilakukan, kendati biasanya cukup dokumen yang ditunjukkan, dan petugas Koseisho akan membiarkan maguro lewat. Agaknya, maguro yang tiba pagi itu membawa sial. Bayangkan, petugas kesehatan Jepang itu menemukan bakteri kolera dalam ikan tuna Indonesia. Seantero Narita geger. Gudang-gudang yang sempat tersentuh segera disucihamakan sampai ke sudut-sudutnya. Televisi dan koran beramai-ramai mengeksposenya. Turis yang baru pulang pun, kalau diketahui pernah terserang kolera, pasti masuk koran. Kolera memang masih merupakan momok buat orang Jepang. "Itu penyakit menular yang sangat berbahaya," kata seorang pejabat Koseisho. Terlebih karena bakteri itu ditemukan dalam ikan tuna, yang akan dilahap mentah-mentah sebagai sashimi. Lagi pula, sebelum ini tidak pernah ada tuna yang tercemar. "Kalau udang, memang tercatat pernah tercemari beberapa kali," kata pejabat Koseisho yang lain. Segera vonis dijatuhkan. Semua tuna segar yang berangkat dari Indonesia wajib diperiksa ulang di Narita. Buat tuna segar, itu besar artinya. Karena, dalam melahap tuna, orang Jepang cuma kenal dua cara. Pertama, dibumbui kecap sebelum ditelan mentah-mentah. Kedua, dibekukan, sebelum diolah jadi makanan. Tuna segar atau tuna beku, keduanya dilayani oleh eksportir Indonesia. Belakangan, permintaan tuna segarlah yang menderas. Pada 1988, tuna segar yang dipasok dari Indonesia tercatat 2.889 ton. Pada periode Januari-Oktober 1989 jumlahnya membengkak lebih dari dua kali lipat, menjadi 6.172 ton. Belum lagi harga yang bagus. Tuna segar Indonesia rata-rata dibeli 1.000 yen sekilo. Masalahnya kini, bila tuna menjadi kurang segar karena harus menginap, harganya bisa melorot. Namun, nasib baik. Setelah 4 bulan, belum tampak tanda-tanda keguncangan harga. "Alhamdulillah, ekspor kita malah meningkat," kata Dirjen Perikanan Soeprapto kepada TEMPO Sabtu pekan lalu. Sekalipun begitu, tentu lebih afdol jika maguro kita tak usah menginap. Itu sebabnya, Desember lalu tiga staf Koseisho datang memeriksa fasilitas di sini. Hasilnya, "Bagus, semua memenuhi syarat," tutur Soeprapto. Artinya, tak lama lagi tuna segar bisa langsung keluar dari Narita tanpa harus dikarantina. Nyoman Sarya, seorang pengusaha di Bali, dibantu oleh tenaga khusus dari Jepang, khusus untuk menyortir tuna. Direktur Sari Segara Utama ini, yang tiap bulan mengekspor 50 ton tuna ke Jepang, merasa terganggu juga lantaran karantina yang disebutnya sebagai pengetatan itu, kendati ia sendiri tidak mengalami kesulitan mengenai harga. Bisa jadi, ekspor tuna akan semakin deras, kendati pada pertengahan tahun agak merosot, karena waktu itu Jepang sendiri panen tuna di negerinya. Ini diungkapkan oleh Ir. Soenarno Wiyoto, Presdir PT Yala Jaya Adikerta, yang juga bergerak di bidang ekspor tuna. Ia tidak khawatir terhadap karantina -- pokoknya yang penting adalah mutu dan ketepatan pengiriman tuna. Pada periode Januari-Oktober tahun lalu, Jepang memesan 183.656 ton tuna, dan pangsa Indonesia ada 21.014 ton. Sayang, pemasarannya dipialangi oleh broker Taiwan, yang cuma bermodal telepon dan faksimile. Seiichi Okawa (Tokyo), Ardian T.G. dan Yopie H. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini