SETELAH lima tahun berdiri, sebuah pabrik rupanya tak cukup buat Pupuk Iskandar Muda (PIM). Mereka merancang pabrik kedua yang berkapasitas sama dengan yang pertama, 570 ribu ton urea dan 330 ribu ton amonia. Dihitung-hitung, investasi yang harus ditanam mencapai US$ 240 juta. Ini jumlah yang cukup berat untuk dipikul sendirian. Tak kurang akal, Direktur Utama PIM, Djarot Djojokusumo, mengundang pemodal kakap untuk diajak berpatungan. Tentu saja syaratnya, saham pabrik kedua itu secara bertahap harus diserahkan kepada PIM, kelak. "Kan enak, dengan modal dengkul saya bisa membangun pabrik baru," seloroh Djarot. Tawarannya mendapat sambutan. Setelah menyaring 16 pelamar -- termasuk Sudwikatmono, Ibrahim Risyad, dan Soekamdani yang kurang cocok -- Djarot ketemu jodoh dengan tiga mitra dari Tipperary Development PTE Australia, PT Hanurata, dan PT Ideco. Dua yang terakhir ini adalah perusahaan lokal. Rincian saham: PIM kebagian 20 persen -- ini untuk 15 ha tanah yang terletak persis di sebelah PIM I, dan berbagai fasilitas lain. Tipperary mendapat 65 persen, Hanurata 10 persen, dan Ideco, yang juga konsultan pembangunan PIM I, memperoleh 5 persen. Sesuai dengan syarat yang diajukan Djarot, 15 tahun sejak pabrik mulai berproduksi pada 1993 nanti, sebagian saham Tipperary akan dihibahkan ke PIM. Saat itu, saham Tipperary akan berkurang hingga tinggal 49 persen, sementara saham dua mitra lokal tak akan dikutik-kutik. Pada tahun ke-15 itu pula, seluruh aset PIM II juga ikut dihibahkan menjadi milik PIM. Baru setelah 30 tahun, sesudah usia mesin secara teoretis dianggap selesai, PIM akan memiliki sepenuhnya saham itu. Hanya saja, skenario yang terlihat cukup bagus ini belum dibubuhi tanda tangan pihak-pihak yang terlibat. Mereka masih menunggu perundingan PIM dengan Pertamina soal pembelian gas alam. Djarot berusaha menawar, agar Pertamina bersedia menjual gasnya kepada PIM II seharga US$ 1,5 per mmbtu (millium British thermo unit). Tapi Pertamina bertahan pada tarif 2 dolar. Soal gas ini sangat penting. Gas alam inilah yang akan diolah menjadi amonia dan urea, setelah dimurnikan dari senyawa belerang dan lainnya. Celakanya, harapan Djarot tampak susah dikabulkan Pertamina. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita pagi-pagi sudah memberi isyarat. "Penetapan harga gas, seperti juga minyak, mesti didasarkan pada asas ekonominya," begitu pesan Menteri, Jumat pekan lalu. Lebih jauh lagi, pemerintah malah sudah berniat memperbarui kebijaksanaan penjualan gas alam. Pertimbangannya, penemuan gas dalam kegiatan eksplorasi minyak tak bisa dihindarkan. Di tempat tertentu bahkan gas lebih banyak ditemukan. Padahal, selama ini gas murah-murah saja diobral. Akibatnya, "Upaya eksplorasi jadi kurang terangsang," kata Ginandjar. Upaya Djarot untuk mendapat gas murah makin sulit gara-gara orientasi pasar PIM II. Pabrik ini memang dirancang untuk memasarkan semua produknya ke negara tetangga seperti Cina, Filipina, dan Vietnam. "Kalau dikasih murah, sama saja kita mensubsidi petani di negara tetangga," begitu Ginandjar memperkuat argumennya. Situasi tampaknya cukup pelik, tapi Djarot masih memupuk harapan. Akhir bulan ini perundingan harga gas akan beres. Jika Pertamina bertahan, tak bisa lain ia pasrah. "Serahkan saja kepada kebijaksanaan Bapak Presiden," tuturnya. YH, Irwan E. Siregar (Medan), dan Sri Pudyastuti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini