SETELAH dua tahun tak ada kabar beritanya, kini, tiba-tiba muncul kembali. Itulah rencana pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Paiton I dan II, yang kontraknya ditandatangani pada Sabtu pekan lalu. Tak jelas, berapa perusahaan yang ikut memperebutkan tendernya. Yang pasti, kini, lima perusahaan telah muncul sebagai pemenang. Kedua PLTU Paiton akan menelan biaya US$ 300 juta, yang dananya diperoleh dari Bank Dunia dan beberapa bank asing. Untuk pembangunan generator turbin, senilai 94,2 juta dolar, dipercayakan kepada Sumitomo Corporation dengan subkontraktor Toshiba Corp. dan PT Boma Bisma Indra. Seperti diketahui, beberapa bulan lalu, BUMN ini masuk di bawah naungan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Pembangunan dua unit generator uap bertenaga batu bara, juga sebagian besar dimenangkan oleh kontraktor asing. Proyek senilai 210,6 juta dolar (sekitar Rp 380 milyar) itu jatuh pada PMA PT Energy System Indonesia (ESI), dan C. Itoh, Jepang. Dan partisipasi modal perusahaan Indonesia dalam ESI cukup lumayan. PT Barata Indonesia dan PT PAL Indonesia juga keduanya merupakan anggota BPIS masing-masing memegang 20% saham ESI. Sedangkan mitra asingnya, Combustion Engineering-AS, menguasai 60%. Tiga tahun lagi, Paiton I dan II akan menghasilkan energi listrik sebanyak 800 megawatt, namun ini pun belum mencukupi kebutuhan P. Jawa, konon pula kebutuhan listrik nasional. Ini terungkap dari pidato Menteri Pertambangan & Energi Ginandjar Kartasasmita pada acara penandatanganan kotrak tersebut. "Pertumbuhan kebutuhan listrik di Pulau Jawa, ternyata lebih pesat dari yang diperkirakan," ujarnya. Dan Ginandjar memperkirakan bahwa tiga tahun mendatang suplai listrik di Jawa akan memasuki masa yang kritis. Pernyataan ini diperkuat oleh Dr. Zuhal, direktur Sumber Non Mineral-BPPT. Kata dia, pada 2015 nanti, atau dua puluh lima tahun lagi, Indonesia membutuhkan tenaga listrik sedikitnya 27 ribu megawatt. Artinya, PLN masih kekurangan sekitar 7 ribu megawatt. Karena itu pula, menurut Ginandjar, Pemerintah tidak akan berhenti membangun pembangkit listrik. Setelah PLTU Paiton I dan II, yang akan selesai pertengahan 1994, Pemerintah akan menyambung dengan pembangunan unit III, IV, V, dan VI. Dan setelah itu, akan menyusul PLTU Suralaya unit V, VI, dan VII yang, konon, akan berkapasitas lebih besar ketimbang Paiton dan PLTU Suralaya yang telah ada sekarang. Selain itu, sebuah pembangkit bertenaga panas bumi kini sedang dipersiapkan di Gunung Salak, Bogor. Terakhir, Pemerintah akan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, yang berlokasi di Gunung Muria, Jawa Tengah, sekitar 1994. Kenapa pemerintah tidak membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang, kendati memerlukan investasi tinggi, biaya operasinya cukup murah? Apalagi, kapasitas tenaga air di Jawa (sekitar 4.000 megawatt) baru dimanfaatkan sebanyak 900 megawatt saja. "Wah, itu tidak gampang," kata Ginandjar. Terutama dalam memperoleh lahan, di mana Pemerintah harus menghadapi pelbagai masalah sosial. Tentu saja, bukan hanya soal lahan yang jadi masalah. Biaya pembangunan pun merupakan soal yang tak kalah peliknya. "Apalagi mencari dana yang bersyarat lunak," sambung Menteri. PLTU Paiton I dan II, misalnya. Dana pembangunan generator turbinnya, yang 94,2 juta dolar, diperoleh dari Bank Dunia. Sedangkan biaya untuk membangun generator uap diperoleh dari Bank Eksim Amerika, Canadian Export Development Corporation, dan beberapa bank komersial asing. Sementara itu, tak jelas, berapa dana yang dikucurkan Pemerintah. Yang pasti, "Biaya persiapan lahan di Paiton, seperti memotong bukit dan meratakan tanah, semuanya diambil dari APBN. Cukup besar itu," kata K. Samadikun, Direktur Pembangunan PLN. Budi Kusumah dan Tommy Tamtomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini