Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sritex atau manajemen PT Sri Rejeki Isman Textile dikabarkan sedang mengalami penurunan pendapatan yang drastis akibat masuknya produk tekstil murah dari China yang saat ini membanjiri pasar di Indonesia. Namun, kabar tersebut telah dibantah oleh Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak benar, karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, dalam keterbukaan informasi ke BEI dalam surat tertanggal 22 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengklarifikasi mengenai kondisi keuangan Sritex saat ini dan mengatakan memang benar ada penurunan pendapatan sejak terjadi pandemi Covid-19. Hal tersebut juga yang memunculkan persaingan ketat di dunia industri tekstil global. Adanya pasokan tekstil murah dari Cina juga menjadi faktor lain yang memengaruhi kondisi perusahaan.
Tekstil murah Cina tersebut mengakibatkan dumping harga tekstil di negara-negara selain Eropa dan Cina. Dengan adanya dumping harga tersebut, Sritex selaku perusahaan tekstil sulit memulihkan kembali penjualan barang di pasaran.
“Terjadinya oversupply tekstil di Cina yang mana produk-produk ini menyasar terutama ke negara-negara di luar Eropa dan Cina yang longgar aturan impornya,” ungkap Welly.
Siapa Perintis Sritex?
Perusahan tekstil besar Sritex mulanya dirintis oleh HM Lukminto atau Muhammad Lukminto yang dikenal sebagai raja batik. Karirnya dimulai saat ia menjadi seorang pedagang batik di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Ia memulai karirnya di usia yang masih muda yaitu 20 tahun atau lebih tepatnya pada 1996.
Awal mula perjalanan karir Lukminto adalah mengikuti kakaknya Ie Ay Djing atau Emilia yang sudah terlebih dahulu menjadi seorang pedagang di Pasar Klewer. Ia mulai mengikuti jejak kakaknya karena terpaksa harus berhenti sekolah saat menduduki kelas 2 SMA di SMA Chong Hua Chong Hui akibat kebijakan Orde Baru yang melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa.
Dengan modal Rp100 ribu yang diberikan orang tuanya, Lukminto membeli kain belaco di Semarang dan Bandung kemudian berjualan keliling di Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan sejumlah pabrik batik rumahan lainnya. Pada 1967, ia berhasil membeli dua buah kios di Pasar Klewer dan mengembangkan kiosnya tersebut.
Pada 1972, Lukminto berhasil membuat pabrik tekstil pertamanya di Semanggi Solo. Kemudian, pada 1980-an ia merelokasi pabriknya dan membangun pabriknya di Desa Jetis, Sukoharjo dengan nama PT Sri Rejeki Isman atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan PT Sritex. Lahan pabrik yang semula 10 hektare terus berkembang sampai akhirnya menjadi 100 hektare lebih.
Penghargaan yang Diterima Lukminto
Pada 3 Maret 1992, HM Lukminto mendapatkan penghargaan luar biasa dari Presiden Soeharto yang akhirnya meresmikan pabriknya bersama dengan 275 pabrik aneka industri lainnya di Surakarta. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan MURI karena telah menyediakan seragam prajurit untuk ABRI dan German Army pada 2007.
Pada tahun yang sama ia juga mendapatkan Penghargaan MURI karena telah menjadi pemrakarsa dan penyelenggara pembuatan desain kain terbanyak sebanyak 300.000 desain. Tidak hanya itu, ia juga mendapatkan Penghargaan MURI lainnya karena telah melaksanakan upacara bendera setiap bulan pada tanggal 17.
Lukminto atau Muhammad Lukminto telah dikabarkan meninggal pada Rabu, 5 Februari 2014 pukul 21.40 waktu Singapura. Perusahaan peninggalannya tersebut masih eksis sampai saat ini meskipun dilanda berbagai masalah termasuk pendapatan.
ADINDA ALYA IZDIHAR | ELLYA SYAFRIANI