Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kisah Sukses Gen Z, Modal Rp 3 Juta Bisa Menghidupi Belasan Karyawan

Kisah Gen Z pendiri Superior T-shirt, yang sukses berwirausaha hanya dengan modal Rp 3 juta. Melawan stigma Gen Z generasi lemah dan mudah menyerah.

23 Desember 2024 | 11.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aldino Sastra Wijayah, 26 tahun, resah dengan label negatif yang kerap disematkan kepada generasi Z atau Gen Z. Misalnya, anggapan bahwa Gen Z merupakan generasi bermental lemah sehingga tidak bisa bekerja dalam tekanan. Stigma ini muncul salah satunya dari hasil riset Deloitte, yang menyebut bahwa Gen Z merupakan generasi berkarakter pragmatis, menghindari risiko, serta tidak memiliki jiwa wirausaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Aldi, karakteristik itu hanya dimiliki segelintir orang di kelompok Gen Z tetapi kemudian digeneralisir menjadi karakter seluruh Gen Z. Selaku Gen Z, Aldi sudah mulai mencari penghasilan sejak sekolah. Mulai dari membantu kerabat berjualan es dan sayur, hingga berusaha mandiri dengan berjualan aneka produk secara online. Ketika kuliah pun, ia melakoni berbagai pekerjaan sampingan, termasuk berjualan produk minuman. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, itu juga pernah bekerja sebagai social media marketing produk minuman asal Malaysia. Namun, karena terdampak pandemi Covid-19, ia kemudian bekerja di sebuah brand fashion batik. Berawal dari situ, Aldi berwirausaha karena sang bos memberi suntikan dana. Ia mendirikan brand fashion kaos bernama Superior T-shirt pada 2021. Bisnis itu berjalan dan namanya kini berganti menjadi Superior Supply. 

“Saya dikasih modal Rp 3 juta dan benar-benar saya manfaatkan sebaik mungkin hingga tumbuh tanpa ada injak modal lagi,” tutur Aldi kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024. Saat mendirikan Superior, Aldi yang mulai berkuliah pada 2016 masih berstatus mahasiswa. 

Meskipun kuliah di Bogor, Aldi menjalankan bisnis Superior Supply di Bandung, Jawa Barat. Ia juga menjajakan produknya di marketplace. Kini, pemuda yang lulus sarjana dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2023 itu mempekerjakan belasan karyawan: 13 penjahit dan 4 orang di divisi manajemen. 

“Karena UMKM (usaha mikro, kecil, menengah), saya ingin seefisien mungkin. Untuk tenaga finance dan digital marketing, saya menggunakan pihak ketiga dari agency,” katanya.

Merintis bisnis sejak kuliah bukan perkara mudah. Modal Rp 3 juta juga menjadi tantangan tersendiri. “Karena modal terbatas, tidak bisa ambil orderan besar. Apalagi kalau uang masih nyangkut di marketplace,” ujarnya.

Karena itu, Aldi bersyukur usahanya terus berjalan, meski penjualan sedikit menurun. Sebelumnya, pada 2022, ia mencatat penjualan rata-rata seribu kaos per bulan. Angkanya melonjak pada 2023, yakni 5 ribu hingga 6 ribu pcs per bulan. “Di 2024 ini, turun jadi sekitar 3 ribu sampai 4 ribu pcs,” katanya.

Gaya Kerja Fleksibel

Gen Z merupakan generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Survei Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo terhadap kelompok Gen Z usia kerja yang dilakukan pada 1 hingga 7 November 2024 menemukan fakta bahwa 72,7 persen Gen Z mengharapkan model kerja fleksibel yang bisa dikerjakan di mana saja. Hasil riset IDN Research Center terhadap Gen Z dan generasi Milenial juga menunjukan bahwa 48 persen kalangan Gen Z dan milenial memiliki preferensi jam kerja fleksibel untuk mencapai keseimbangan kehidupan profesional dan pribadi.

Aldi mengamini hal tersebut. Prinsip fleksibilitas pun ia terapkan lantaran mayoritas karyawannya merupakan Gen Z. “Memang Gen Z yang bisa mengerti Gen Z,” ucapnya.

Selain itu, Aldi mengatakan mayoritas Gen Z memilih pekerjaan dengan mempertimpangkan tiga hal: uang, kenyamanan, dan pengembangan diri. Namun karena tiga hal sulit didapatkan, Gen Z akan memilih minimal dua di antaranya.

“Kalau uangnya nggak gede-gede amat, minimal mereka nyaman dan bisa berkembang. Ada jenjang karir yang dituju,” kata Aldi. Hal inilah yang ia terapkan di kantor.

Sebab tidak bisa menjanjikan upah besar, Aldi mendukung karyawan yang ingin membuka toko sendiri. Ia menerapkan jam kerja yang bebas—dengan catatan output harian tercapai—dan membolehkan karyawan bekerja sampingan. Selain itu, Aldi menjanjikan bonus penjualan.

Aldi berpandangan bahwa gaji flat UMR tidak fair bagi pengusaha maupun karyawan. Kalau omzet perusahaan kecil tetapi gaji berpatok pada upah minimum, usaha terancam gulung tikar. Begitu pula sebaliknya, ketika omzet besar tetapi gaji karyawan kecil akan menimbulkan protes karyawan. 

“Yang fair adalah karyawan jangan jadi beban perusahaan, perusahaan jangan menzalimi karyawan,” tutur Aldi. “Kalau ada bonus penjualan, mereka juga pasti semangat kerja.”

Lebih jauh ihwal penyelesaian masalah, Aldi menerapkan focus group discussion (FGD) dan evaluasi rutin setiap pekan. Semua hal dikomunikasikan dalam forum. “Semua orang harus mencari salahnya di bagian mana, mengapa bisa salah, dan bagaimana biar tidak salah lagi,” ujarnya. Dari sini, ia mencoba menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.

Country Head of Marketing Jobstreet by SEEK Sawitri mengatakan Gen Z akan menjadi leader etika Indonesia mencapai bonus demografi pada 2045. Untuk itu, ia mengatakan label negatif Gen Z tidak menjadi acuan. “Label yang diberikan pada Gen Z itu berat, lho,” kata Sawitri. 

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi juga mengatakan setiap generasi memiliki pandangan tersendiri ihwal dunia kerja. Karakter Gen Z yang menyukai pekerjaan yang fleksibel dan memberi kesempatan pengembangan diri pun tidak menutup kemungkinan bisa mengubah tren dunia kerja ke depan.

“Makanya, sekarang perlu perhatian terhadap pasar kerja fleksibilitas,” kata Tadjuddin kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024. 

Tadjuddin berpendapat, perlu ada intervensi pemerintah dari sisi perlindungan sosial. Misalnya, jaminan perlindungan sosial untuk wirausaha muda ketika  mereka menjadi korban penipuan dalam berusaha. Begitu pula dengan perlindungan sosial terhadap pekerja freelance.

“Mereka memang tidak ada ikatan dengan pemerintah, tapi berkontribusi mengurangi pengangguran,” kata Tadjuddin.

Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support

Pilihan Editor: Cara Gen Z Betah di Tempat Kerja

 

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus