Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

KNKT Beberkan Temuan Sementara Dugaan Penyebab Kecelakaan Beruntun di KM 92 Tol Cipularang

Kecelakaan beruntun di KM 92 Tol Cipularang arah Jakarta terjadi pada Senin, 11 November 2024. Apa temuan sementara KNKT?

4 Desember 2024 | 21.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan temuan sementara ihwal dugaan penyebab kecelakaan beruntun di KM 92 Tol Cipularang arah Jakarta. Selain melibatkan sebuah truk, kecelakaan yang terjadi pada Senin, 11 November 2024 itu melibatkan 17 kendaraan dan menelan satu korban jiwa.

Ketua KNKT Soerjanto Thanjono mengatakan truk yang terlibat dalam kecelakaan ini memiliki kelebihan muatan sebesar 18 persen. “Secara administratif tetap overload, tapi kalau secara teknis masih dalam toleransi,” kata Soerjanto dalam rapat bersama Komisi V DPR RI di Gedung Parlemen Senayan, Rabu, 4 Desember 2024.

Namun, Soerjanto menjelaskan, pada saat berada di sekitar KM 92+800, truk tersebut mengalami jet knifing. Dalam kondisi ini, pengemudi truk harus melepas rem agar truk bisa berjaalan lurus lagi. Menurut Soerjanto, hal tersebut bisa dilakukan jika pengemudi kendaraan tersebut sudah dilatih.

“Nah, untuk masalah pengemudi ini, pilot ada sekolahnya, nahkoda ada, masinis ada. Pengemudi (truk) tidak ada, sehingga kita tidak bisa mengharapkan pengemudi yang profesional,” kata Soerjanto.

Selain itu, Soerjanto mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan bersama Universitas Gadjah Mada, sebagian besar pengemudi angkutan barang memiliki masalah kesehatan. Oleh karena itu, ia berharap ada bantuan fasilitas yang diberikan kepada pengemudi angkutan barang untuk melakukan medical check up dan asuransi BPJS Kesehatan.

“Sehingga, kalau mereka mengalami masalah kesehatan, bisa melakukan pengobatan dan bisa mengemudi dengan baik,” kata Soerjanto.

Lebih lanjut ihwal kondisi Tol Cipularang, KNKT menemukan sejumlah persoalan dari segi infrastruktur dan sarana prasarana. Salah satunya, terkait dengan perlengkapan jalan. Di antara KM 100 sampai KM 90 dengan slope penurunan sekitar 5 hingga 8 persen, terdapat tanda “kurangi kecepatan 60 kilometer per jam”. Soerjanto mengatakan rambu tersebut berbahaya untuk kendaraan besar.

“Meskipun tidak overload, akan berbahaya,” kata Soerjanto. “Ini harus dievaluasi, berapa sebaiknya kecepatan yang aman untuk daerah ini.”

Temuan lainnya, keberadan jalur darurat tetapi disertai tanda-tanda yang bertumpuk. Soerjanto mengatakan khusus jalur darurat, mestinya Kemenhub hanya memperikan tanda khusus jalur darurat agar tidak membingungkan pengemudi.

Soerjanto juga menemukan rumble strip di beberapa titik di KM 92. “Ini ketika mobil dengan teknologi ABS, justru ketika melewati di daerah sini akan tidak bisa ngerem,” katanya. Jika melewati rumblestrip ketika suspensi tidak baik pun justru akan menimbulkan masalah, seperti slip.

Kemudian, di KM 92+600, KNKT menemukan guardrail atau pagar pengaman jalan yang tidak sesuai standar. Menurut Soerjanto, seharusnya terdapat transisi antara beton dan guardrail. “Tapi di sini tidak ada transisi,” ujarnya.

Pada jalur pemberhentian darurat di KM 92+600 pun, Soerjanto mengatakan, sudutnya terlalu tajam. Sehingga ketika terjadi kondisi darurat untuk kendaraan besar, kendaraan tersebut tidak mungkin bisa masuk. Ia pun mengusulkan perbaikan.

“Maksimum sudut masuk adalah 5 deraja, sehingga mudah untuk masuk,” kata Soerjanto. “Dan isi jalur penyelamat itu atau pemberhentian darurat itu harusnya dari gravel, tidak dengan pasir atau dengan tanah.”

Permasalahan juga ditemukan di KM 95. Soerjanto mengatakan di sisi dalam terddapat drainase di median jalan tetapi hanya di beberapa tempat. Sedangkan di KM 94 sampai 94+400 tidak tersedia drainase di media jalan. Sementara itu, jalan menikung ke kanan dengan superelevasi 8 persen ke kanan. Walhasil, ketika hujan, air akan mengumpul di kanan.

“Ini akan menyebabkan masalah aquaplanning atau hydroplaning,” ujar Soerjanto. “Bahu di luar terdapat drainase tapi di bahu dalam tak terdapat drainase. Secara peraturan seharusnya ada drainase untuk membuang limpahan yang mengarah ke kanan.”

Berikutnya, soal masalah tinggi bahu jalan terhadap sisi luar dari tanah. Padahal, mestinya kondisi jalan rata. Saat meninjau lokasi, Soerjanto mengatakan terdapat perbedaan ketinggian sekitar 30 cm hingga 40 cm. Padahal, idealnya maksimal 5 cm.

“Ini membahayakan ketika mobil tidak sengaja keluar dari bahu jalan akan bisa terguling,” kata dia.

 

Pilihan Editor: Tindak Lanjut Kemenhub Ihwal Kecelakaan Tol Cipularang KM 92

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus