Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kontrak naik, spot turun

Susasana pasaran harga minyak tetap membingungkan perbedaan harga antara minyak arab dengan beberapa anggota organisasi pengekspor minyak makin menjadi jadi. penurunan harga dipasaran spot (tunai). (eb)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN menuju sidang istimewa OPEC di Thaif, Arab Saudi, April nanti nampaknya tak bertambah licin. Perbedaan harga antara minyak Arab Saudi dengan beberapa anggota organisasi pengekspor minyak lainnya ternyata makin menjadi jadi. Libia, yang merencakan menekan produksi minyaknya dari 2,2 juta barrel menjadi 1« juta barrel sehari, ternyata sudah menendang harga baru dari US$ 30 per barrel menjadi US$ 33 per barrel. Bahkan untuk beberapa jenis minyak yang tinggi kualitasnya Libia tak segan-segan menaikkannya dengan US$ 5 per barrel, dari harga di akhir Desember lalu yang US$ 30 per barrel itu. Tindakan negerinya Muammar Gaddafi nampaknya akan cepat diikuti oleh dua rekannya di Afrika Utara, yakni Aljazair dan Nigeria, yang kurang lebih memiliki kualitas minyak sama dengan Libia. Menurut James Tanner, koresponden koran The Wall Street Journal, rata-rata kenaikan harga minyak Libia itu telah memasukkan faktor diferensial -- perbedaan harga karena kualitas dan jarak angkutan -- sebanyak US$ 3 per barrel dari harga lama. Ditambah suatu pungutan (surcharge) sebesar US$ 1,72 untuk setiap barrel minyak yang diekspor. Adapun Iran, yang produksinya sekarang kurang lebih 3« juta barrel sehari, kabarnya telah ditolak olch para pembelinya di Jepang ketika menyodorkan harga baru setinggi US$ 35 per barrel. Memasang harga US$ 28,50 per barrel untuk jenis minyak ringan sejak pembukaan sidang OPEC ke-55 di Karakas, Venezuela 17 Desember lalu, pemerintah revolusioner di Iran diduga hanya akan menaikkan harga kontrak minyak menjadi US$ 30 per barrel. Mulai Lembek Bagaimana dengan harga di pasaran spot (tunai) Berbeda dengan harga kontrak yang di mana-mana meningkat, pasaran minyak spot yang mewakili sekitar 20% dari seluruh ekspor minyak dunia, mulai melembek. Beberapa pedagang minyak di pasaran Spnt itu mencatat penurunan antara US$ 4 sampai US$ 5 per barrel. Minyak yang berkualitas tinggi, yang dikenal dengan sweet crude yang rendah kadar belerangnya seperti -- di punyai Indonesia, negeri-negeri Afrika dan minyak Laut Utara (Inggris) -- beberapa minggu lalu masih bertahan dengan US$ 45 per barrel. Tapi belakangan ini para penjual sudah harus senang kalau ada yang membeli sekitar US$ 40 per barrel. Minyak jenis Arabian Light yang sekarang masih US$ 24 per barrel, di pasaran spot seperti Rotterdam dan New York memang masih laku dengan US 38 per barrel. Tapi itu berarti sudah menurun suhunya kalau saja diingat harganya mencapai US$ 40 per barrel beberapa minggu lalu. Beberapa perusahaan minyak beranggapan menurunnya harga minyak di pasaran spot itu adalah akibat timbulnya suatu glut (kelebihan penawaran). Suatu glut? Menteri Minyak Arah Saudi Sheik Ahmed Zaki Yamani memang sudah meramalkannya ketika bicara di Karakas. Tapi penurunan harga di pasaran spot itu ternyata terjadi tiga bulan lebih cepat dari ramalan Zaki Yamani (TEMPO 5 Januari). Adakah gerakan turun itu merupakan gejala sementara, beberapa pengamat yang dihubungi TEMPO di Jakarta menyangsikannya. Tapi sebuah sumber yang mengetahui beranggapan penurunan harga di pasaran spot itu tak dengan sendirinya akan berarti penurunan di pasaran kontrak. Dia menunjuk pada Libia, yang lebih suka menekan produksinya daripada harus mengurangi atau bertahan pada harga yang lama. Iran bisa dipastikan akan berbuat hal serupa. Negeri itu dengan sendirinya perlu menekan produksinya kalau ingin memasang harga kontrak minyak seperti Libia. Menteri Perminyakan Iran Ali Moinfar, ketika di Karakas, sudah memberi isyarat negerinya lebih suka menekan produksi daripada harus menekan harga. Bagi Iran yang masih terus berrevolusi, memang tak membutuhkan dana sebanyak dulu sehingga harus menggenjot produksi minyaknya. Bagi Indonesia, bekas Menteri Pertambangan Dr. Moh. Sadli beranggapan tak ada persoalan. "Kalaupun terjadi pengurangan produksi, hal itu bukan karena disengaja, tapi karena sasarannya memang berkurang sedikit dibandingkan tahun sebelumnya," katanya. Lagipula, Indonesia sejak lama memiliki pasaran yang tetap Jepang dan Pantai Barat (AS). Produksi minyak di Indonesia selama tahun 1979 rata-rata mencapai 1,59 juta barrel sehari. Sedikit di bawah produksi rata-rata sehari tahun sebelumnya yang 1,68 juta barrel. Tapi untuk tahun 1980 yang baru kita masuki, minyak yang disedot dari ladang-ladang di Indonesia, baik di daratan maupun di lepas pantai, diperkirakan tak akan melebihi 1,54 juta barrel sehari. Baru pada 1981 diharapkan terjadi suatu pertambahan produksi yang berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus