JALAN menuju sidang istimewa OPEC di Thaif, Arab Saudi, April
nanti nampaknya tak bertambah licin. Perbedaan harga antara
minyak Arab Saudi dengan beberapa anggota organisasi pengekspor
minyak lainnya ternyata makin menjadi jadi. Libia, yang
merencakan menekan produksi minyaknya dari 2,2 juta barrel
menjadi 1« juta barrel sehari, ternyata sudah menendang harga
baru dari US$ 30 per barrel menjadi US$ 33 per barrel. Bahkan
untuk beberapa jenis minyak yang tinggi kualitasnya Libia tak
segan-segan menaikkannya dengan US$ 5 per barrel, dari harga di
akhir Desember lalu yang US$ 30 per barrel itu.
Tindakan negerinya Muammar Gaddafi nampaknya akan cepat diikuti
oleh dua rekannya di Afrika Utara, yakni Aljazair dan Nigeria,
yang kurang lebih memiliki kualitas minyak sama dengan Libia.
Menurut James Tanner, koresponden koran The Wall Street
Journal, rata-rata kenaikan harga minyak Libia itu telah
memasukkan faktor diferensial -- perbedaan harga karena kualitas
dan jarak angkutan -- sebanyak US$ 3 per barrel dari harga lama.
Ditambah suatu pungutan (surcharge) sebesar US$ 1,72 untuk
setiap barrel minyak yang diekspor.
Adapun Iran, yang produksinya sekarang kurang lebih 3« juta
barrel sehari, kabarnya telah ditolak olch para pembelinya di
Jepang ketika menyodorkan harga baru setinggi US$ 35 per barrel.
Memasang harga US$ 28,50 per barrel untuk jenis minyak ringan
sejak pembukaan sidang OPEC ke-55 di Karakas, Venezuela 17
Desember lalu, pemerintah revolusioner di Iran diduga hanya akan
menaikkan harga kontrak minyak menjadi US$ 30 per barrel.
Mulai Lembek
Bagaimana dengan harga di pasaran spot (tunai) Berbeda dengan
harga kontrak yang di mana-mana meningkat, pasaran minyak spot
yang mewakili sekitar 20% dari seluruh ekspor minyak dunia,
mulai melembek. Beberapa pedagang minyak di pasaran Spnt itu
mencatat penurunan antara US$ 4 sampai US$ 5 per barrel. Minyak
yang berkualitas tinggi, yang dikenal dengan sweet crude yang
rendah kadar belerangnya seperti -- di punyai Indonesia,
negeri-negeri Afrika dan minyak Laut Utara (Inggris) --
beberapa minggu lalu masih bertahan dengan US$ 45 per barrel.
Tapi belakangan ini para penjual sudah harus senang kalau ada
yang membeli sekitar US$ 40 per barrel.
Minyak jenis Arabian Light yang sekarang masih US$ 24 per
barrel, di pasaran spot seperti Rotterdam dan New York memang
masih laku dengan US 38 per barrel. Tapi itu berarti sudah
menurun suhunya kalau saja diingat harganya mencapai US$ 40 per
barrel beberapa minggu lalu. Beberapa perusahaan minyak
beranggapan menurunnya harga minyak di pasaran spot itu adalah
akibat timbulnya suatu glut (kelebihan penawaran).
Suatu glut? Menteri Minyak Arah Saudi Sheik Ahmed Zaki Yamani
memang sudah meramalkannya ketika bicara di Karakas. Tapi
penurunan harga di pasaran spot itu ternyata terjadi tiga bulan
lebih cepat dari ramalan Zaki Yamani (TEMPO 5 Januari).
Adakah gerakan turun itu merupakan gejala sementara, beberapa
pengamat yang dihubungi TEMPO di Jakarta menyangsikannya. Tapi
sebuah sumber yang mengetahui beranggapan penurunan harga di
pasaran spot itu tak dengan sendirinya akan berarti penurunan di
pasaran kontrak. Dia menunjuk pada Libia, yang lebih suka
menekan produksinya daripada harus mengurangi atau bertahan pada
harga yang lama.
Iran bisa dipastikan akan berbuat hal serupa. Negeri itu dengan
sendirinya perlu menekan produksinya kalau ingin memasang harga
kontrak minyak seperti Libia. Menteri Perminyakan Iran Ali
Moinfar, ketika di Karakas, sudah memberi isyarat negerinya
lebih suka menekan produksi daripada harus menekan harga. Bagi
Iran yang masih terus berrevolusi, memang tak membutuhkan dana
sebanyak dulu sehingga harus menggenjot produksi minyaknya.
Bagi Indonesia, bekas Menteri Pertambangan Dr. Moh. Sadli
beranggapan tak ada persoalan. "Kalaupun terjadi pengurangan
produksi, hal itu bukan karena disengaja, tapi karena sasarannya
memang berkurang sedikit dibandingkan tahun sebelumnya,"
katanya. Lagipula, Indonesia sejak lama memiliki pasaran yang
tetap Jepang dan Pantai Barat (AS).
Produksi minyak di Indonesia selama tahun 1979 rata-rata
mencapai 1,59 juta barrel sehari. Sedikit di bawah produksi
rata-rata sehari tahun sebelumnya yang 1,68 juta barrel.
Tapi untuk tahun 1980 yang baru kita masuki, minyak yang disedot
dari ladang-ladang di Indonesia, baik di daratan maupun di lepas
pantai, diperkirakan tak akan melebihi 1,54 juta barrel sehari.
Baru pada 1981 diharapkan terjadi suatu pertambahan produksi
yang berarti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini