MENYAMBUT tahun haru 1980, Perum Telekomunikasi Wilayah Khusus
Jakarta Raya memasang iklan tarif pulsa telepon dan teleks
minimum di 11 surat kabar Ibukota. Tapi iklan pengumuman yang
berukuran seperempat halaman itu beberapa hari kemudian
diralat dengan iklan satu kolom. Tarif pulsa yang rencananya
berlaku per 1 Januari itu ditangguhkan. Maka perhitungan lamanya
pemakaian (pulsa) telepon dan teleks, tarifnya tetap Rp 40
tanpa batas minimum pulsa.
Kenapa ditangguhkan? "Semata-mata soal administratif," kata
Dir-Ut Perumtel, Willy Moenandir Mangoendiprodjo kepada TEMPO
akhir pekan lalu. Namun penangguhan berlakunya tarif yang sempat
diumumkan itu tampaknya tak akan terlalu lama. Sebab menurut
Willy, "penyesuaian menunggu tahun anggaran baru, April
mendatang." Tapi ada juga yang bilang, ralat itu dikeluarkan
karena belum ada persetujuan Menteri Perhubungan.
Sebetulnya, pulsa minimum untuk langganan telepon dan telek
bukan hal baru. Ketentuan ini sudah berlaku di wilayah usaha
telekomunikasi lain. Menurut Departemen Perhubungan hanya
"Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Cibinong yang belum dikenai
pulsa minimum." Alasannya, ongkos pemasangan telepon baru di
Jakarta, sebelum tahun 1979 sebesar Rp 763.000 cukup tinggi.
Tapi sejak awal 1979 telah diturunkan menjadi Rp 536.000. Maka
sebagai imbangan penurunan tarif pemasangan telepon "wajarlah
kalau Perumtel Wilayah DKI mengenakan tarif pulsa minimum," kata
sebuah sumber di Departemen Perhubungan.
Tapi Ny. Anita di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, merasa
kurang adil jika para langganan telepon di rumah-rumah dikenai
pulsa minimum. Untuk Jakarta, misalnya, pulsa minimum itu
berjumlah 150 yang berarti harus membayar Rp 6.000 setiap hulan.
Berikut uang langganan bulanan Rp 1.000, Suami sang nyonya harus
membayar Rp 7.000 setiap bulan. "Itu terlalu tinggi," katanya.
Selama ini pemakaian di rumah nyonya tersebut untuk dalam kota,
rata-rata hanya 2 pulsa sehari dengan pembayaran pulsa dan
langganan sekitar Rp 4.000 setiap bulan.
Naik Terus
Pulsa minimum untuk daerah Tangerang, Bekasi dan Cibinong
sebanyak 35 kali, dengan pembayaran total Rp 2.400 per bulan.
Untuk teleks 70 pulsa, berikut uang langganan menjadi Rp
6.175. Besarnya pulsa tergantung dari lama pembicaraan dan jarak
kota yang dihubungi. Untuk Jakarta Raya 1 pulsa selama 3 menit
pembicaraan.
Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) Palapa, misalnya sampai 100
km adalah 6 detik. Untuk jarak 100-200 km maka 1 pulsa adalah 5
detik, sedang di atas jarak 1.000 km 1 pulsa berarti 2 detik.
Dengan kata lain, makin jauh jarak dan lama penggunaan, makin
mahal ongkosnya.
Sampai September tahun lalu, SLJJ dan lokal otomat telah
menghasilkan 1,8 milyar pulsa. Diperkirakan jumlah itu akan
meningkat menjadi sekitar 2,5 milyar pulsa sampai akhir Desember
lalu. Interlokal tanpa melalui SLJJ untuk periode yang sama
tercatat sebanyak 11 juta kali dengan pembicaraan selama 58 juta
menit. Sedang sambungan ke luar negeri, via operator
menghasilkan 778 ribu kali dengan pembicaraan selama 5,5 juta
menit. Belum lagi termasuk produksi jasa di bidang teleks dan
telegram.
Namun dihitung dengan angka-angha pendapatan Perumtel selama
1979 berjumlah Rp 164,6 milyar, naik 22,65% dari seluruh
perkiraan pendapatannya yang berjumlah Rp 134,2 milyar. Dari
keseluruhannya itu yang terbesar (86%) berasal dari jasa telepon
lokal dan SLJJ. Sisa 14% diperoleh dari jasa teleks, telegram
dan lain-lain pendapatan. Pada tahun 1980, direncanakan
pendapatan jasa telepon akan naik menjadi 139,4% dibanding
perkiraan realisasi 1979 lalu.
Dalam tahun anggaran 1980/1981 Perumtel mentargetkan sebanyak
3,28 milyar pulsa. Jika target itu tercapai diperkirakan akan
menghasilkan sekitar Rp 131 milyar. Sedang sambungan telepon
yang akan dijual tahun ini sebanyak 46.656 line unit. Perumtel
menargetkan pemasangan telepon sebanyak 155.000 line unit
otomatis. Dari jumlah itu "70.000 akan dipasang di daerah
terpencil," kata Willy. Apa untung? "Kalau yang dikejar itu cuma
keuntungan, buat apa kita memasang telepon di daerah minus,"
jawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini