Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OEY Hoey Tiong mengaku bingung dengan neraca Bank Indonesia. Sudah bertahun-tahun laporan ke-uangan bank sentral itu memuat tagihan kepada PT Unibank Tbk., namun sampai sekarang tagihan itu belum juga lunas, bahkan tak jelas penyelesai-annya. ”Akibatnya, selalu jadi pertanya-an Badan Pemeriksa Keuangan saat meng-audit,” ujar Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia itu.
Tagihan yang dimaksud adalah wesel ekspor PT Unibank Tbk. sekitar US$ 230 juta dan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 50 miliar. Ta-gihan itu adalah sisa wesel ekspor Unibank yang dijual kepada Bank Indonesia sebelum bank ini ditutup pada 29 Oktober 2001. Sedangkan, BLBI dikucurkan terkait penutupan bank bekas milik pengusaha Sukanto Tanoto ini.
Padahal, setelah turun layar lima ta-hun silam, penanganan Unibank dan ke-wajibannya diserahkan kepada Ba-dan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lembaga perawat bank sakit ini sudah ditutup pada 28 Februari 2004. Tim Pemberesan yang menggantikan fungsi BPPN juga sudah berakhir pada Desember tahun lalu.
”Jadi, kami bingung ke mana BI mesti menagih kewajiban Unibank,” ujar Oey kepada Tempo pekan lalu. Seharusnya, kata Oey, BPPN mengumpulkan para kreditor Unibank untuk membahas pe-ngembalian kewajiban bank tersebut.
Apalagi, Unibank bukan hanya pu-nya kewajiban kepada BI. Bank ini masih me-miliki setumpuk kewajiban berupa simpanan deposan yang tidak dijamin oleh pemerintah. Salah satu kewajiban Unibank yang bermasalah dan menye-ret nama pengusaha Hary Tanoesoedibjo adalah Negotiable Certificate of Deposit senilai US$ 28 juta. Deposito yang bisa diperdagangkan ini diterbitkan Uni-bank dan dibeli oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada.
Seorang mantan pejabat BPPN yang mengetahui kasus Unibank mengungkapkan bahwa sebenarnya kewajiban Su-kanto atas bank ini sudah selesai. Caranya dengan pembayaran tunai dan penyerahan aset. Penyelesaiannya juga mengacu pada keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan.
Dokumen yang diperoleh Tempo me-ng-uatkan tuntasnya kewajiban bos Raja Garuda Mas. Dokumen itu berupa surat yang diteken mantan Kepala BPPN Sya-fruddin A. Temenggung pada 15 April 2004 dan ditujukan kepada Sukanto pe-rihal penyelesaian kewajiban.
Dalam surat itu disebutkan bahwa Su-kanto telah menyetor pembayaran tu-nai di muka sebesar US$ 11,5 juta pa-da Desember 2001 atas kewajiban wesel ekspor. Sukanto juga menyetor lagi Rp 100 mi-liar pada 20 November 2003 untuk menutupi selisih negatif an-t-ara kewajiban dan aset Unibank. Yang bersang-kutan juga membayar pesangon karyawan Rp 15,5 miliar.
Syafruddin juga menjelaskan soal pe-nguasaan BPPN atas 41,61 persen saham di PT Prima Energi Indonesia. Saham ini merupakan hasil konversi atas tagih-an wesel ekspor BI kepada Unibank yang macet. Namun, karena Sukanto telah membayar di muka US$ 11,5 juta, saham yang dikuasai BPPN berkurang 2,08 persen. Saham ini dialihkan kepada PT Asia Prima Kimia Raya, perusahaan yang ditunjuk Sukanto.
Sisa 39,52 persen saham Prima Energi lainnya telah dijual oleh BPPN melalui program penjualan aset investasi IV pada 8 Januari 2004. Lelang itu dimenangkan oleh Kalimantan Asset Ma-nagement dengan harga Rp 315 mi-liar.
Surat itu ditembuskan kepada Menteri Koordinator Perekonomian selaku Ke-tua KKSK, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, dan Gubernur Bank Indonesia. Tjandra Putra, juru bicara Raja Garuda Mas, enggan mengomentari surat BPPN tersebut. ”Tanya saja pada yang membuat surat,” kata-nya.
Bila mengacu pada surat Syafruddin, boleh jadi kewajiban raja kertas dan kelapa sawit itu telah selesai. Namun, Oey mengingatkan, semestinya surat itu di-tindaklanjuti melalui pembicaraan de-ngan Bank Indonesia sebagai kreditor Unibank. ”Jadi, BI bisa minta bagian dari pembayaran pemilik Unibank.”
Di sisi lain, menurut Oey, BPPN tidak bisa mengatakan lunas begitu saja. Bukti-nya, masih ada kewajiban lain Unibank yang menggantung, seperti deposito milik Citra Marga atau deposito lain yang tidak dijamin pemerintah. ”Semestinya, BPPN juga menanyakan kepada Sukanto bagaimana penyelesaian kewajiban de-posito-deposito itu?”
Hary Tanoesoedibjo, broker Citra Marga dalam transaksi sertifikat deposito Unibank, juga menegaskan bahwa mantan pengendali Unibank seharusnya yang bertanggung jawab. Apalagi, deposito Unibank yang tidak bisa dibayar jumlahnya tidak sedikit.
Adapun pemerintah tegas mengatakan tidak akan membayar kewajiban Uni-bank yang tidak dijamin pemerintah. ”Kami tak mau dipenjara gara-gara mem-bayar deposito Citra Marga,” ujar Obor Pembimbing Hariara, pejabat Departemen Keuangan yang menangani perkara hukum bank eks BPPN.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo