Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pekan ini mulai menelisik dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. ”Kami akan segera memanggil saksi-saksi,” kata juru bicara Kejaksaan Agung, Masyhudi Ridwan, kepada Tempo pekan lalu.
Sebenarnya, tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khu-sus, Hendarman Supandji, ini sudah lama mengantongi laporan tentang du-gaan korupsi di sejumlah badan usaha mi-lik negara, termasuk Jiwasraya. Ha-nya saja, data-data pendukungnya baru di-serahkan belakangan. Karena itulah, ka-ta Masyhudi, ”Baru sekarang mulai diperiksa.”
Kasus Jiwasraya terkait dengan transaksi repo saham yang diduga berpotensi merugikan negara Rp 83 miliar. Singkatnya, dalam transaksi repo ini, Jiwa-s-raya membeli sejumlah saham milik PT Indowan Investama Group pada harga yang disepakati. Berdasarkan kesepa-katan, Indowan nantinya akan membeli balik sahamnya itu pada waktu yang telah ditentukan. Adapun saham yang ditransaksikan adalah saham PT Arona Binasejati Tbk.
Berdasarkan perjanjian jual-beli, transaksi repo itu semestinya dilakukan pada 14 Juni 2004. Saat itu, Jiwasraya membeli 70 juta lembar saham Arona Bina-sejati milik Indowan dengan harga Rp 350 per saham atau totalnya Rp 24,5 miliar. Lantas, Indowan nantinya akan memb-eli kembali saham itu pada 14 Desember 2004 dengan harga Rp 385 per saham. Ini berarti ada keuntungan 10 persen yang didapat Jiwasraya dalam enam bulan.
Persoalannya, menurut sumber Tempo, dalam proses transaksi ditemukan sejumlah kejanggalan. Pertama, transaksi sudah dilakukan tiga hari sebelum persetujuan direksi keluar pada 10 Juni. Kedua, transaksi tak mendapat re-komendasi dari komisaris dan persetujuan pemegang saham. Ketiga, saat jatuh tempo, Indowan tak mampu membeli kembali sahamnya.
Dengan alasan itu, divisi investasi Jiwasraya menjualnya kepada pihak lain, yakni Samuel Sekuritas, pada 30 Desember, juga dengan harga Rp 385 per saham. ”Padahal, harga saham Arona di pasar saat itu Rp 1.200 per saham,” ujar sumber tadi.
Di sinilah persoalan muncul. Harga penjualan yang jauh di bawah harga pa-sar itu dipertanyakan. Seharusnya, kata sumber tadi, bila dijual ke pihak lain, sa-ham itu akan dihargai sesuai harga pa-sar. Transaksi ini pun, kabarnya, tidak melalui tender. Dan hasil penjualannya digunakan untuk membeli 33 juta lembar saham PT Bumi Resources dengan harga Rp 800 per saham. Diduga tran-saksi itu fiktif, karena tak diikuti de-ngan penyerahan saham secara riil.
Akibat sejumlah kejanggalan itu, ne-gara berpotensi rugi Rp 83 miliar. Perin-ci-annya, rugi akibat selisih harga saham Arona Rp 57 miliar, dugaan transaksi fiktif pembelian saham Bumi Rp 26,4 miliar, dan denda kepada Indowan Rp 134 juta.
Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, Herris Simandjuntak, membantah transaksi repo saham Arona menyim-pang. Menurut dia, transaksi itu su-dah mengacu pada perjanjian yang telah disepakati. ”Tidak ada kerugian ne-g-a-ra,” ujarnya.
Dony Karyadi, Kepala Bagian di Divisi Investasi Jiwasraya, mengatakan, harga penjualan Rp 385 per saham itu meng-acu pada perjanjian, kendati dijual ke pihak lain. Jadi, ”Tidak benar kami jual murah,” katanya.
Dony mengakui harga saham Arona di bursa Jakarta saat itu mencapai Rp 1.200 per saham. Namun, pihaknya tidak mungkin menjual dengan harga itu. Sebab, saham Arona tidak likuid. Saham yang beredar di publik hanya 300 ribu lembar atau 0,4 persen yang ber-edar di bursa.
Karena itu, bila semua 70 juta lembar saham ingin dijual ke pasar, pihaknya membutuhkan waktu bertahun-tahun. ”Kalau dijual sekaligus, harganya juga jatuh.” Padahal, dengan harga jual Rp 385 per saham saja, pihaknya sudah untung Rp 1,5 miliar.
Itu sebabnya, daripada tetap memegang saham Arona yang pemiliknya sudah berstatus gagal bayar, Jiwasraya memilih menjualnya kepada Sa-muel Sekuritas. Dana hasil penjualan itu yang kemudian digunakan untuk membeli saham Bumi. ”Tidak benar saham Bumi ini fiktif,” ujarnya.
Apa pun alasannya, penjualan ”o-bral” saham Indowan itu mengandung kecurigaan. Menurut Harry Wiguna, mantan Direktur Bursa Efek Jakarta, tingginya selisih harga jual saham dengan harga pasar mengundang pertanyaan. Apakah saham itu likuid atau tidak, yang menjadi acuan adalah harga saham di bursa. ”Itu harga resmi. Jadi, wajar ada orang curiga,” kata Direktur PT Danareksa itu.
Heri Susanto, Tomy Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo