Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maaf, Ekspor Direm Dulu

Menteri Perindustrian Hartarto minta ekspor semen dikurangi, kendati harganya bagus. Sebab kebutuhan dalam negeri meningkat. Harga pedoman setempat (HPS) dianggap tak realis oleh beberapa pengusaha.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK selamanya nafsu mengekspor sah untuk dipacu. Semen, contohnya. Meskipun harga di luar negeri sedang bagus, awal bulan ini Menteri Perindustrian Hartarto sudah mengisyaratkan agar pabrik semen mengambil ancang-ancang untuk mengendurkan ekspor. Tak mungkin Hartarto berucap demikian di depan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, jika tanpa sebab. Alasannya ternyata sederhana: kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Kalau dilihat kapasitas terpasangnya yang 17,3 juta ton setahun, pabrik semen masih mampu. Tentu kapasitas itu tak bisa digenjot habis. Direktur Keuangan Indocement, Judiono Tosin, memperkirakan total produksi semen sekitar 16 juta ton setahun. Dan itu masih aman. Tahun ini, misalnya, pasar dalam negeri mengaduk adonan semen 11,4 juta ton. Maka, ada ekspor sekitar 4 juta ton ke negara tetangga. Sisanya tersimpan di silo pabrik buat cadangan. Yang jadi soal, kebutuhan dalam negeri sangat lahap. Pertumbuhan permintaan semen, yang lengket dengan pertumbuhan ekonomi, memang lagi bagus. Tahun depan, yang tinggal sepekan, permintaan bisa naik sampai 10 persen. Nah, anak SD pun gampang menghitungnya. Semen tak cukup lagi, kecuali jika pabrik rela mengurangi ekspornya. Bikin pabrik semen baru? "Paling tidak butuh 2,5 tahun," kata Direktur PT Semen Gresik, Fuad Rivai. Layaklah jika Menteri Hartarto minta ekspor direm sedikit. Sayangnya, harga ekspor sedang "hot". Sekarang saja, Indocement bisa menjual US$ 43 per ton. Kalau dibanding-banding dengan menjual ke Surabaya, kurang lebih sama. Tapi tahun depan harga ekspor bakal melompat sampai US$ 49. Ini gara-gara permintaan meningkat. "Muangthai saja ngemis minta semen kita, Filipina juga begitu," kata Fuad. Apa boleh buat, peluang bagus itu terpaksa dilepas. "Sudah komitmen, kita harus mengutamakan pasar dalam negeri," kata Judiono. Soal ekspor memang dialah rajanya. Indocement, yang punya kapasitas 7,7 juta ton setahun, mengekspor 3 juta ton semen. Ini 75 persen dari total ekspor, sisa yang sejuta diambil Semen Padang. Selain peluang ekspor yang terpaksa dilepas, Indocement, menurut Judiono, harus pula menghadapi harga yang dinilainya kurang realistis. Ini jika dihubungkan dengan beleid pemerintah yang memang belum hendak menaikkan Harga Pedoman Setempat (HPS). Di Jakarta, sampai sekarang, harga masih terpatri di angka Rp 4.100 per sak. Untungkah pabrik dengan harga sekian? Buat pabrik semen milik negara, HPS itu cukup layak. Selain usia rata-rata sudah tua sehingga tak dikejar penyusutan nilai, struktur modal mereka umumnya kuat. Maka, di atas kertas, bisalah laba tercatat. Semen Tonasa, misalnya, mengeduk untung Rp 10 milyar. Tapi, kalau dirujuk dengan kondisi Indocement, HPS sekarang malah merobek kantung. "Kami pabrik baru, penyusutan besar, modalnya belum kuat, dan harus untung," kata Judiono. Kesimpulannya, HPS terasa kurang realistis. "Kalau dipukul rata, saya yang susah," tuturnya. Dalam kalkulasi Judiono, bukan cuma Indocement yang repot. Pemerintah pun bakal kelabakan, jika nanti orang jera menanam modal ke pabrik semen. "Kondisi Muangthai bisa terjadi di sini," kata Judiono. Ceritanya, pengusaha semen di Muangthai beberapa tahun lalu banyak menanam modal ke industri elektronik, karena semen tak lagi menguntungkan. Akibatnya, sekarang terpaksa mereka impor semen. Susah memang. Padahal, kini harga sudah terbang paling tidak Rp 500 di atas HPS. Menurut Soenarjo Hadade, anggota Komisi VI DPR, sebagai pabrik besar bisa saja Indocement memutar keran sedikit sehingga pasokan seret, dan harga pun terseret ke atas. "Sementara pabrik semen pemerintah tak mampu mengoperasi pasar, kecil kapasitasnya," katanya. Itu sebabnya, Soenarjo menganggap kebijaksanaan pemerintah belum tuntas, kalau cuma meminta ekspor dikurangi. "Mesti dicek, apakah perhitungan pabrik swasta itu betul," katanya. Jadi, ekspor boleh dikurangi, tapi harus diimbangi dengan harga naik? Mari, kita tunggu. Yopie Hidayat & Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus