Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju Bersama Indo Rayon

Presiden Soeharto meresmikan PT Kertas Kraft Aceh di desa Jamuan, nisan, Lhokseumawe. Sekaligus 8 pabrik di beberapa tempat. Pemerintah menguasai 75% saham, sisanya dimiliki pengusaha Bob Hasan.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OKTOBER silam, ketika Tjiwi Kimia dari grup Sinar Mas mengekspor buku tulis yang ke-600 kalinya ke Timur Tengah, maka barulah orang tahu bahwa industri kertas kita sudah maju. Dan, jika sebelumnya, Indonesia masih mengimpor pulp alias bubur kertas, kini kita sendiri bisa membuat pulp. Swasembada? Begitulah, kendati terbatas. Dalam suasana swasembada kertas inilah, Kamis pekan lalu, di Pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Desa Jamuan, Nisam, Lhokseumawe, Presiden Soeharto meresmikan sekaligus delapan pabrik pulp kertas dan rayon yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Selain KKA, tujuh pabrik lainnya adalah: PT Inti Indorayon Utama (Porsea, Sum-Ut), PT Fajar Surya Wisesa (Bekasi, Ja-Bar), PT Surya Zig Zag (Kediri, Ja-Tim), PT Indah Kiat Pulp & Paper Corporation (Perawang, Riau), PT Panca Usahatama Paramita (Tangerang, Ja-Bar), PT Surabaya Megabox Ltd. (Gresik, Ja-Tim), dan PT Unipa Daya (Tangerang, Ja-Bar). Tapi, mengapa Presiden Soeharto memilih KKA untuk tempat peresmian kedelapan pabrik itu? Ternyata KKA -- 75% sahamnya dimiliki Pemerintah dan sisanya dipunyai pengusaha kondang, Bob Hasan -- kini pantas disebut pabrik kertas terbesar di Indonesia. KKA adalah murni perusahaan PMDN (penanaman modal dalam negeri) yang menelan investasi sebesar US$ 424,65 juta. Kapasitas produksinya mencapai 165.000 ton per tahun, terdiri dari 150.000 ton untuk jenis kertas kantung semen, dan 15.000 kertas liner board. Dari jumlah produksinya itu, sekitar 65% dilempar ke pasar domestik dan sisanya diekspor. Devisa yang dihemat ditaksir sekitar US$ 96 juta dan yang tak kurang penting ialah, bahwa pabrik semen tak usah repot lagi mengimpor kantung. Seperti kata Presiden Soeharto, "Ini berarti di satu pihak, tidak sedikit devisa yang dihemat, karena keperluan kertas kita memang tidak kecil. Di lain pihak, ekspor kertas juga berarti memperbesar penerimaan devisa, yang makin kita perlukan untuk meningkatkan pembangunan." Dari delapan pabrik pulp dan kertas itu -- dengan total investasi US$ 750 juta dan menyerap sekitar 6.000 tenaga kerja -- maka devisa yang bisa dihemat jumlahnya ditaksir US$ 217,6 juta. Sedangkan penerimaan devisanya diduga US$ 143,7 juta. Dengan delapan pabrik baru itu, kini, setidaknya tercatat 48 pabrik kertas dan pulp di Indonesia, dengan kapasitas terpasang total mencapai 1,56 juta ton per tahun. Dan tampaknya, hanya PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang melulu berkonsentrasi memproduksi pulp. Kapasitas produksi IIU, yang pabriknya sempat ditentang oleh banyak pencinta lingkungan itu, menghasilkan pulp sebanyak 165.000 ton per tahun. Pulp itu, kabarnya, diolah dari kayu pinus yang banyak ditanam di daerah Tapanuli Utara. Dan sekitar 30% dari produksinya akan diekspor. Bisnis pulp dan kertas memang menggiurkan. Tahun lalu, ekspor pulp dan kertas asal Indonesia mencapai nilai sebesar US$ 142,85 juta. Ini meningkat lebih dari 40% dari nilai ekspor 1987. Tahun depan, ekspor pulp dan kertas ditaksir bakal terkerek lagi sampai US$ 200 juta. Prospek yang potensial inilah yang menggerakkan banyak pengusaha mengerubuti industri kertas. Dan mereka bergerak cepat. Apalagi pasar kertas di dalam negeri, tampaknya, masih potensial untuk didongkrak. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, konsumsi kertas Indonesia, saat ini, sekitar 6-7 kg per orang per tahun. Di Malaysia, konsumsi kertasnya sudah mencapai 40-50 kg. Di Singapura, 200 kg per kapita, yang hampir sama banyak jumlahnya dengan AS yang 300 kg per orang per tahun. Sangat masuk akal bila jumlah pabrik pulp dan kertas melonjak drastis -- bertambah 20 pabrik dalam enam bulan terakhir ini. Padahal, akhir Juli lalu, jumlahnya masih dua puluh delapan. Pulp dan kertas memang laku di pasar Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Australia, Iran, Arab Saudi, dan negara Timur Tengah lainnya. Rasa optimistis dari pihak pengusaha juga semakin menggembung setelah melihat bahwa kertas Indonesia bisa bersaing ketat dengan produk negara yang lebih maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Apalagi mereka masih mengimpor pulp. Menurut perkiraan Teguh Ganda Wijaya, Direktur Pabrik Kertas PT Tjiwi Kimia, keuntungan yang dimiliki pengusaha Indonesia adalah disebabkan bahan baku yang tersedia, tenaga kerja yang lebih murah, dan iklim yang relatif bagus ketimbang negara yang dijuluki NIC's itu (newly industrialized countries). Dari sejumlah negara pesaing Indonesia, barangkali Brasil -- dengan hutan Amazonnya -- merupakan penghasil pulp paling besar di dunia. Hanya saja, pembangunan infrastrukturnya -- terutama sarana transportasi -- dinilai belum sehebat yang dimiliki Indonesia. Di samping itu, "Produk asal Indonesia lebih mudah menjangkau negara-negara NIC's karena faktor jarak, ketimbang Brasil," kata Teguh, dalam nada yakin. AKS, Bambang Aji Setiady, Sidartha Pratidina (Jakarta), Irwan E. Siregar (Medan), dan Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus