Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUHAMMAD Nur Adib mendadak uring-uringan selama hampir sepekan ini. Ia juga sibuk menghadiri rapat sana-sini. Tidak hanya memimpin pertemuan di kantornya PT Gasindo Citra Perwira, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, tapi juga berdiskusi dengan rekan-rekannya pengurus Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Adib juga kerap menghadiri rapat dengan PT Pertamina.
Semua itu berawal dari keputusan pemerintah menurunkan harga bensin bersubsidi dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 per liter, 1 Desember 2008. Ini membuat para pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) cemas, karena mereka harus membayar premium seharga Rp 6.000 per liter ke Pertamina, tapi menjualnya ke konsumen dengan harga Rp 500 per liter lebih murah. Khawatir banyak merugi, pengusaha pun mengurangi pembelian bensin. Konsekuensinya, terjadi kelangkaan bensin.
Dari catatan Tempo, kelangkaan premium terjadi selama pekan pertama Desember lalu. Di Purwakarta, Jawa Barat, misalnya. Akibat stok bensin menipis, konsumen berjubel antre di pompa bensin Jalan Veteran. Antrean mengular sampai ke jalan raya ini mirip dengan keadaan sebelum pengumuman kenaikan harga.
Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, ada yang menjualnya per botol—ukurannya tidak sampai satu liter—Rp 8.000. Di Jalan Raya Serang, Cikupa, Jawa Barat, pom membatasi pembelian premium hanya 40 liter per pembeli karena pasokan Pertamina, yang normalnya 16-24 kiloliter per hari, berkurang drastis.
Jakarta juga tak luput. Di pompa bensin Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, misalnya, persediaan premium tandas dalam 24 jam. Pertamax dan Pertamax Plus juga ludes karena beralihnya konsumen remium ke bensin beroktan tinggi itu.
Sedangkan tiga pompa bensin di Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Banjar, Banjarmasin, Jumat dua pekan lalu hanya buka sampai pukul 10.00, karena premium habis terjual.
Adib sudah menduga hal ini bakal terjadi—warga tak dapat menikmati harga premium turun akibat persediaan langka. Ketua Hiswana Migas ini juga sudah mewanti-wanti agar pemerintah menyiapkan kompensasi cukup bagi pengelola pompa bensin sejak jauh hari. Namun pemerintah hanya memberikan kompensasi maksimal Rp 80 per liter—jauh dari permintaan Rp 500. Nilainya Rp 4,32 miliar untuk 27 ribu kiloliter. ”Mampunya pemerintah segitu, ya mau bagaimana lagi?” ujarnya, Kamis pekan lalu.
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil menolak kompensasi penuh untuk pengusaha pompa bensin. Pasalnya, menurut dia, Pertamina tidak bisa menanggung semua kerugian tersebut. ”Hiswana Migas tidak berbisnis dengan Pertamina untuk satu hari saja, tetapi selamanya. Dengan keadaan ini, jangan terlalu membebani Pertamina,” ujarnya.
Lagi pula, menurut Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, sudah jauh hari rencana penurunan harga ini dimatangkan. Pengelola pompa bensin pun sudah diminta bertindak wajar dengan tidak mengurangi pembelian. Sebab, saat harga premium dinaikkan Rp 1.500 per Mei lalu atau pada 2005 ketika harga naik dua kali lipat, Hiswana Migas dinilai telah untung karena menjual bensin stok lama. ”Hiswana kan juga menikmati windfall,” tuturnya. Menurut dia, semua pihak harus mau menerima pahitnya.
Sebenarnya, menurut sumber Tempo di pemerintahan, soal mekanisme kompensasi untuk pengelola pompa bensin memang belum pernah dibahas selama ini, karena baru kali ini harga premium turun. Selain itu, tidak ada aturan pasti bagaimana lembaga penyalur bensin bersubsidi berbisnis. Sehingga tak aneh jika terjadi keruwetan di antara pelaku: pemerintah, Pertamina, dan pompa bensin.
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? Dalam rapat dengar-pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Effendi Simbolon meminta ketiga pihak itu bertanggung jawab sepenuhnya atas kelangkaan premium. ”Harga minyak naik, bensin langka, turun pun juga langka,” katanya.
Namun, baik Pertamina maupun Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral berkelit saat dituding tak becus mendistribusikan bensin bersubsidi. Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Faisal menjelaskan, lonjakan pembelian premium pada awal bulan Desember sudah terpantau satuan tugas di lapangan. Menjelang penurunan harga premium—hingga akhir November—masyarakat cenderung mengurangi volume pembelian 20-30 persen dari biasanya. Pembelian premium oleh pompa bensin juga berkurang 30 persen, pada 30 November (lihat tabel).
Pertamina, kata Ahmad, sebetulnya sudah memperingatkan pengelola pompa bensin agar menyediakan stok cukup atau sudah punya pesanan siap kirim untuk 1 Desember 2008. Jika tidak dilakukan, pom akan dikenai sanksi tidak mendapat jatah dari depo selama dua minggu. Sebanyak 69 pom dikenai sanksi selama sepekan terakhir.
Namun, karena tidak efektif, ia menyiapkan sanksi lain, yaitu pengurangan margin keuntungan bagi pompa bensin. Selain itu, pemberitahuan perubahan harga bensin akan dilakukan mendadak untuk menghindari serbuan pembelian dan pengurangan stok oleh pompa bensin.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Herawati Legowo, menyerahkan sepenuhnya mekanisme sanksi terhadap SPBU ke Pertamina. Tapi, ia berjanji akan merevisi aturan perjanjian kerja sama pemilik pompa bensin dengan badan usaha pelaksana kewajiban pelayanan publik. ”Akan dimuat dengan jelas kewajiban dan tanggung jawab SPBU menjamin penyediaan dan pendistribusian BBM,” katanya.
Namun, menurut Adib pribadi, intervensi seperti itu tak menggembirakan. Karena bisnisnya tidak semanis yang dibayangkan orang. Marginnya tipis, jumlah pom bertambah terus. Ditambah lagi, setiap ada kebijakan pemerintah, pengelola SPBU yang jadi korban karena berada di ujung tombak: harus menyalurkan ke konsumen.
Justru yang menjadi masalah utama, menurut dia, adalah sistem penebusan bensin ke Pertamina yang dilakukan di depan: bayar dulu, bensin dikirim kemudian. ”Jika kita hanya membayar sesuai dengan yang laku di pasar, itu pasti tidak akan memberatkan. Tapi masalahnya pemerintah tidak mau,” ucapnya.
Lalu bagaimana jika melepasnya menurut harga pasar? Menurut Adib, itu lebih baik, karena Pertamina tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan kompensasi untuk SPBU ketika terjadi penurunan harga minyak mentah. ”Silakan saja kalau dilepas ke harga pasar, tapi apa masyarakat mau terima?” katanya. Sungguh repot dan serba salah.
R.R. Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo