Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT kerja di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa siang pekan lalu mendadak riuh. Para anggota Komisi Keuangan dan Perbankan ramai-ramai mengacungkan tangan setelah pimpinan rapat, Olly Dondokambey, mempersilakan mereka mengajukan komentar atau pertanyaan.
Alih-alih bertanya tentang urusan bujet Bank Indonesia yang menjadi agenda utama rapat itu, mereka justru menyentil kondisi perbankan nasional. Maruarar Sirait, anggota dari Fraksi PDI Perjuangan, meminta bank sentral tidak menutup-nutupi kondisi perbankan nasional yang sesungguhnya. ”Jangan bilang kondisi baik-baik saja, faktanya Bank Century kolaps,” ujarnya berapi-api.
Dradjad H. Wibowo tak kalah garang. Anggota dari Fraksi Amanat Nasional itu menyoroti lemahnya pengawasan Bank Indonesia sehingga muncul banyak kasus, termasuk Bank Century. Gubernur Bank Indonesia Boediono beserta pimpinan bank sentral lainnya mendengarkan serentetan pertanyaan itu dengan seksama. Sesekali mereka saling berbisik dan menulis sesuatu pada secarik kertas.
Bank Century memang sedang menjadi topik panas. Siapa menyangka bank hasil merger Bank CIC Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko ini mendadak limbung. Bank itu kalah kliring pada 13 November lalu lantaran telat menyetor pre-fund selama 15 menit. Nasabah juga tak bisa mengambil duitnya di anjungan tunai mandiri maupun di kasir. Rupanya, Bank Century sedang kekurangan duit. Rasio kecukupan modalnya sudah minus 2,3 persen.
Terpaksa pemerintah meminta Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih bank ini untuk meredam dampak negatif terhadap sistem perbankan nasional. Toh, masyarakat masih waswas. ”Jangan-jangan ada Century-Century lainnya,” ujar para anggota Dewan.
Boediono berharap masyarakat tetap tenang. Secara umum ketahanan perbankan nasional masih terjaga dan menunjukkan kinerja positif di tengah gejolak finansial global. Tapi bukan berarti tak ada masalah sama sekali. Ada beberapa potensi risiko yang perlu diwaspadai, seperti likuiditas ketat, risiko pasar, dan naiknya kredit macet.
Dibandingkan dengan periode Agustus-September lalu, kondisi likuiditas saat ini sebenarnya sudah lebih longgar. Itu berkat upaya bank sentral menerbitkan sejumlah kebijakan, seperti rasio giro wajib minimum turun dari 9 persen menjadi 5 persen.
Koridor suku bunga overnight juga dipersempit dari BI Rate + 1 persen menjadi BI Rate + 0,5 persen. Waktu penyelesaian repurchase agreement (Repo) pun diperpanjang menjadi tiga bulan dari semula dua pekan. Efeknya, di pasar uang ada dana segar sekitar Rp 70 triliun. Praktis banyak bank kini kelebihan uang. Hanya ada beberapa bank kecil yang masih harus bekerja keras memenuhi kebutuhan likuiditas.
Semula ada keyakinan bahwa masalah likuiditas di bank kecil bisa teratasi lewat pinjaman antarbank. Ternyata, kata Boediono, di pasar uang ada sekat-sekat yang membuat pinjam-meminjam antarbank tak berjalan dengan baik. Dalam beberapa bulan terakhir muncul keragu-raguan bank terhadap kondisi bank lainnya. Akibatnya, bank yang kelebihan likuiditas enggan meminjamkan uangnya ke bank yang koceknya kempis.
Tak optimalnya pinjaman antarbank terlihat dari menurunnya volume transaksi di pasar uang antarbank. Semula rata-rata terjadi transaksi Rp 6,8 triliun per hari selama Januari-Agustus 2008. Namun, selama September-November tahun ini jumlahnya menyusut tinggal Rp 3,9 triliun per hari.
Masalah likuiditas bertambah karena banyak nasabah memindahkan dananya dari bank kecil ke bank besar. Peningkatan simpanan bank negara yang belakangan meroket bisa menjadi indikasi. Bank BNI, misalnya. Dalam empat bulan terakhir jumlah simpanannya naik tajam dari Rp 137 triliun pada Agustus menjadi Rp 157 triliun pada akhir November. ”Apakah itu berasal nasabah dari bank lain, kami tak tahu,” kata Direktur Bank BNI Bien Soebiantoro.
Memburuknya perekonomian global juga mempengaruhi risiko kredit. Kemampuan debitor membayar utang dikhawatirkan akan menurun. Artinya, kemungkinan besar rasio kredit seret akan meningkat di masa depan. Secara keseluruhan, menurut Bien, tiga potensi risiko tadi relatif kecil, tapi tetap tak bisa dipandang remeh. Rasio kredit seret bisa berubah menjadi masalah besar jika tidak dikelola dengan baik. ”Bisa mengakibatkan gangguan sistemik. Jadi harus direspons dengan tepat,” ujarnya.
Tak ingin kasus Bank Century terjadi lagi, Bank Indonesia dan industri perbankan nasional merapatkan barisan. Bank sentral dan para bankir getol mendiskusikan sejumlah antisipasi dan strategi. ”Bank Indonesia beberapa kali mengingatkan soal likuiditas dan ekspansi kredit,” ujar seorang bankir.
Beberapa pertemuan antarbankir pun digelar. Selasa siang pekan lalu, puluhan bankir papan atas berkumpul di Financial Club, Graha Niaga, Jakarta, atas undangan Ikatan Bankir Indonesia. Sumber Tempo yang ikut dalam pertemuan itu mengungkapkan, para bankir mendiskusikan masalah likuiditas yang belum normal. Mereka juga membahas potensi naiknya kredit macet dan dampak penurunannya terhadap rasio kecukupan modal perbankan.
Bien berpendapat bahwa penurunan rasio kecukupan modal terjadi lantaran ekspansi kredit bank terlalu pesat. ”Penyesuaian marked to market atas surat utang juga membuat rasio kecukupan modal bank menurun,” Wakil Direktur Utama Bank Internasional Indonesia Sukatmo Padmosukarso menambahkan.
Penurunan modal memang perlu diwaspadai. Tapi, menurut para bankir, persoalan likuiditas yang membelit perbankan harus lebih mendapat perhatian. ”Harvard Business Review menyebutkan kebanyakan bank bangkrut lantaran masalah likuiditas,” ujar Bien. Direktur Utama Bank Mega Yungky Setiawan sependapat. ”Kekurangan likuiditas lebih penting dan krusial.”
Dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, menurut Kepala Ekonom PT Mandiri Sekuritas Mirza Adityaswara, kondisi perbankan nasional sebenarnya jauh lebih baik. Namun Mirza sepakat dengan para bankir. Industri perbankan Indonesia tak bisa dibilang aman-aman saja. Ketatnya likuiditas masih menjadi kerikil. Badai kelihatannya masih belum akan berlalu.
Wakil Direktur Utama Bank Central Asia Jahja Setiatmadja ikut urun rembuk. Dia mengusulkan agar pemerintah memberikan penjaminan penuh, termasuk untuk pinjaman antarbank. Mirza mengamini pentingnya usul itu. ”Kalau tidak, bank kecil akan kesulitan.”
Sejauh ini pemerintah masih enggan memberikan penjaminan penuh. Mereka tak ingin mengulangi kesalahan sepuluh tahun lalu. ”Waktu itu ada moral hazard dalam pelaksanaannya,” kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Paskah Suzetta. Alhasil, pemerintah hanya menjamin dana masyarakat maksimal Rp 2 miliar saja. Apa boleh buat, memang.
Padjar Iswara, Harun Mahbub, Ismi Wahid, Amandra Megarani, Cornila desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo