Perempuan itu keluar dari balik layar di atas panggung. Dia mengenakan gaun panjang, tapi tidak sedang memerankan seorang perempuan. Gaun itu seragam khas lelaki "abdi dalem" kerajaan Prancis abad ke-17. Ada sapu tangan putih terselip di blazernya yang bersulam benang emas. Dia memakai sepatu pantofel warna hitam.
Memakai topeng berkumis dan berambut palsu hitam tergerai hingga pundak, ia berjalan sempoyongan. Seperti orang mabuk. Kadang gerakannya mirip penari topeng pesisir Jawa. Saat lain, ia bak seorang badut yang mengundang tawa. Selebihnya, di atas panggung beraroma batik di Solo itu, ia berceloteh dalam bahasa Prancis.
Catherine Germain, anggota grup teater Compagnie la'Enterprise, Mersaille, Prancis, sedang memerankan tokoh Penasar dalam drama beraktor tunggal Petualangan Penasar (La Voyage de Penazar). Francois Cervantes, sang sutradara dan penulis naskah, telah 150 kali mementaskannya di Prancis dalam tiga tahun terakhir dan sukses.
Tapi, inilah pertama kali mereka naik panggung di negeri tempat asal Penasar—di Surakarta dan Yogyakarta—pekan lalu.
Petualangan Penasar diangkat dari kisah Indonesia klasik tentang seorang bernama Penasar Cenikan, atau yang dikenal pula sebagai Kartala. Dalam sendratari Bali, Kartala dikenal sebagai abdi seorang raja setempat. Namun, dalam naskah Cervantes, ia ditempatkan sebagai abdi seorang Raja Jenggala, kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-15.
Cervantes, kini berusia 43 tahun, tertarik menulis naskah itu setelah menemukan topeng Bali pada sebuah toko barang antik Kota Paris, "Le Singe Blanc". Naskahnya dalam bentuk monolog diselesaikan pada 1998.
Dalam pentas di Solo pekan lalu, Cervantes harus membuat adaptasi. Ia menghadirkan Slamet Gundono, dalang setempat, sebagai narator. Slamet dikenal mahir memainkan wayang suket, pertunjukan mirip wayang kulit tapi tokoh-tokohnya dibuat dari rumput. Dia mengantarkan kisah Penasar ketika masih menjadi "abdi dalem" kerajaan. Bukan dalam bahasa Prancis, melainkan lewat bahasa Jawa dialek Tegal yang mengundang tawa.
Pengabdian Penasar terputus kala sang majikan tewas dalam sebuah pemberontakan. Ketika mengisahkan episode ini, Slamet menyelipkan tembang yang diiringi kendang, gamelan, dan rebab. Nasib Penasar tak berketentuan. Dari Jawa, dia menyeberangi Selat Bali, tapi bukan keramahan hidup yang ia temukan. Dia menyusup ke dalam peti beras yang diangkut sebuah kapal menuju India.
Di situlah petualangan dimulai. Germain muncul ke panggung dengan topeng Penasar. Dia berceloteh tentang nasibnya: sempat mengembara ke negara muslim, dijual sebagai budak pada abad ke-18, dan terdampar di sebuah toko barang antik di Paris pada abad ke-21. Dari cerita surealis ini penonton akhirnya tahu bahwa Penasar hanyalah sebuah topeng, sama seperti Pinokio yang menyadari diri sebagai boneka kayu.
Germain berceloteh dalam bahasa Prancis, Slamet menerjemahkannya dalam bahasa Tegal. Terbiasa dengan tradisi bercerita seorang dalang, sulit mengharapkan Slamet setia pada naskah. Tapi justru di situlah daya tariknya. Dengan kelenturannya, celotehan Slamet membuat cerita lebih hidup.
Slamet juga memberi konteks lokal dalam kisah Penasar. Bahkan kesenjangan dua bahasa bisa dijadikannya bahan lelucon. Umumnya, Slamet menerjemahkan setelah Germain selesai bicara. Tapi ada kalanya keduanya bicara serentak, berkejar-kejaran dalam intensitas tinggi.
Penonton yang menguasai sekaligus dua bahasa itu akan repot karena terbelah konsentrasinya. Dalam pementasan di Lembaga Indonesia-Prancis Yogyakarta, misalnya, banyak penonton yang umumnya paham bahasa Jawa dan Prancis tampak ngos-ngosan berusaha menyimak dua aktor itu.
Sebaliknya, ini lebih mudah bagi penonton yang tidak paham bahasa Prancis sama sekali. Di Taman Budaya Surakarta, perhatian penonton lebih terpusat pada polah Slamet, yang tubuh tambunnya sendiri sudah mengundang tawa. Mereka cenderung mengabaikan Germain karena hambatan bahasa.
Pementasan monolog dalam dua bahasa ini sebenarnya sebuah eksperimen seni pertunjukan yang menarik. Cervantes sebagai sutradara berusaha menyampaikan kisah kepada dua audiens sekaligus tanpa terlalu banyak mengganggu alur pertunjukan.
Germain tampak cukup serasi ketika mengisi gerak saat Slamet berkisah dalam bahasa Jawa. Tapi, dengan waktu berlatih hanya empat hari, memang sulit mencapai perpaduan sempurna. Tak mengherankan jika Germain dan Slamet tampak seperti dua aktor yang berebut satu panggung.
Raihul Fadjri, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini