Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat dikeluarkan Presiden Joko Widodo merupakan tanggapan pemerintah atas kelangkaan minyak sawit yang terjadi di Indonesia. Namun, kebijakan larangan yang dikeluarkan oleh Presiden ini ternyata menimbulkan masalah baru bagi rakyat, terutama petani sawit.
Selain itu, kebijakan ini terlalu terburu-buru untuk ditetapkan. Akhirnya, pada 23 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mencabut larangan kebijakan tersebut. Akibatnya, kegiatan ekspor minyak sawit kembali longgar.
Berikut fakta-fakta pelonggaran kebijakan ekspor minyak sawit ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Presiden Joko Widodo sudah mendengar suara rakyat
Pencabutan kebijakan larangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng tentu saja disambut hangat oleh rakyat, terutama petani sawit. Salah seorang Politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) sekaligus sebagai Anggota Komisi VI DPR RI, Rudi Hartono. Melansir laman dpr.go.id, Rudi mengatakan “aspirasi rakyat, khususnya petani sawit, sudah didengar oleh Presiden sehingga beliau kembali melonggarkan ekspor minyak sawit.”
Saat kebijakan larangan ekspor minyak sawit dikeluarkan, para petani sawit mengeluhkan dampak kerugian yang diterimanya. "Pertimbangan 17 juta orang di industri sawit, baik petani maupun pekerja maka saya putuskan ekspor minyak goreng dibuka kembali pada Senin, 23 Mei 2022," ucap Joko Widodo dalam konferensi pers pada, 19 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2. Terdapat tiga penyebab Presiden melonggarkan ekspor minyak sawit
Dalam konferensi pers pada Kamis, 19 Mei 2022, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa ada tiga penyebab mengapa beliau kembali membuka keran ekspor minyak sawit dan minyak goreng.
Pertama, turunnya harga minyak goreng curang dari Rp19.800 per liter menjadi Rp17.200-Rp17.600 per liter, setelah kebijakan ekspor minyak sawit dilarang sejak 28 April 2022. Harga tersebut diambil ketika Presiden melakukan survei di pasar-pasar secara langsung. Kedua, pasokan minyak sawit dan minyak goreng juga bertambah di pasaran. Awalnya, hanya 64 ribu ton pasokan saja menjadi 211 ribu ton per bulan. Ketiga, Presiden mempertimbangkan belasan juta tenaga kerja yang mengais nafkah di industri sawit. Mereka banyak terdampak karena larangan ekspor minyak sawit.
3. Kebijakan pelonggaran larangan ekspor minyak sawit sudah diprediksi
Pada 28 April 2022, Presiden membuat kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian, pada 23 Mei 2022, Presiden mencabut larangan tersebut.
Seorang Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menyatakan bahwa kebijakan yang ditetapkan Presiden tentang ekspor minyak sawit ada polanya. Presiden melarang kebijakan ekspor minyak sawit sebagai kebijakan sesaat untuk menunjukkan bahwa beliau menunjukkan empatinya kepada isu minyak goreng.
Polanya sudah terlihat, ketika kebijakan larangan ekspor diterapkan, pasti Presiden akan kembali membuka keran ekspor dalam waktu dekat. Terbukti pada akhir Mei 2022, Presiden melonggarkan kembali ekspor minyak sawit dan minyak goreng. Mengutip laman bisnis, Achmad mengungkapkan “Kebijakan itu ada polanya. Presiden Joko Widodo dikelilingi banyak orang-orang yang bersentuhan dengan kepentingan oligarki. Jadi, tidak mungkin ada kebijakan yang melawan oligarki itu.”
4. Pemerintah menghapus tarif pungutan ekspor untuk segala macam produk minyak sawit sampai 31 Agustus 2022
“Langkah yang dilakukan pemerintah ini sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi stok yang tinggi,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu pada, Sabtu 16 Juli 2022. Penghapusan tarif pungutan ini bertujuan agar lebih mendukung kegiatan ekspor.
Keputusan ini diterapkan agar dapat semakin menekan harga minyak sawit Malaysia yang telah turun sekitar 50 persen sejak akhir April ke level terendah lebih dari satu tahun.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca juga : Gapki: Stok Minyak Sawit Meningkat tapi Ekspor rendah