Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo Subianto mempersoalkan skor incremental capital output ratio yang terbilang tinggi dibanding negara lain.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tak menampik bahwa investasi di Indonesia belum efisien.
Tingginya skor ICOR Indonesia membuat pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen.
PRESIDEN Prabowo Subianto mempersoalkan skor incremental capital output ratio atau ICOR Indonesia yang terbilang tinggi dibanding negara lain. Ia menyebutkan ICOR Indonesia berada di angka 6, sedangkan sejumlah negara tetangga memiliki ICOR 4 atau 5.
“Artinya, kita dinilai lebih tidak efisien daripada beberapa ekonomi tetangga kita. Bahkan tidak efisiennya itu dinilai 30 persen,” kata Prabowo di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.
ICOR adalah salah satu parameter yang menentukan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. ICOR menggambarkan rasio investasi kapital/modal terhadap hasil yang diperoleh (output) menggunakan investasi tersebut. Jika modal bisa dipakai untuk menghasilkan banyak barang/jasa dengan efisien, nilai ICOR menjadi kecil. Sebaliknya, jika modal yang dibutuhkan besar, tapi barang/jasa yang dihasilkan sedikit, nilai ICOR menjadi tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ICOR Indonesia pada 2023 berada di angka 6,33. Sementara itu, rata-rata ICOR di negara-negara ASEAN pada 2019-2023 jauh lebih rendah, antara lain Malaysia sebesar 2,7; India 3,2; dan Filipina 3,4.
ICOR Indonesia hampir selalu meningkat. Pada pemerintahan Presiden Soeharto sebelum krisis 1997, ICOR Indonesia berada di kisaran 4. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono di level 5, lalu di era Presiden Joko Widodo menembus angka 6. Bahkan, pada 2021, ICOR Indonesia sempat berada di level 8,6. Dengan tingginya ICOR, makin banyak kapital yang diperlukan untuk menghasilkan 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tak menampik bahwa investasi di Indonesia masih belum efisien. Hal itu terlihat dari tingginya ICOR Indonesia yang membuat pertumbuhan ekonomi Tanah Air stagnan di angka 5 persen. Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, porsi investasi terhadap produk domestik bruto Indonesia di kisaran 30 persen. Dengan ICOR di kisaran 6, pertumbuhan ekonomi Indonesia dihitung 30 dibagi 6, yaitu 5 persen.
Airlangga berpendapat penyebab inefisiensi investasi di Tanah Air adalah pemanfaatan modal yang belum optimal. Menurut dia, selama ini modal yang diinvestasikan belum mampu menghasilkan output ekonomi yang sebanding. Ditambah keterbatasan dalam penerapan strategi jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan salah satu poin penilaian ICOR adalah investasi harus serasi dengan sektor produktif. Misalnya, jika negara membangun bendungan, saluran primer, sekunder, dan tersiernya tersambung sehingga produksi pangan naik.
Contoh lain, tutur Airlangga, Proyek Strategis Nasional Pelabuhan Patimban dengan jalan tol di Jawa Utara. Karena jalan tol belum tersambung, pengiriman barang memakan waktu yang lama. “Sehingga ini harus kita selesaikan. Kalau ini selesai, pemerintah optimistis ICOR kita akan meningkat,” ujarnya, Rabu, 11 Desember 2024.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Shinta Kamdani menilai over-regulasi menjadi faktor utama penyebab tingginya nilai ICOR Indonesia sehingga investasi tidak efisien. Menurut dia, regulasi yang tumpang-tindih, sering berubah, dan kurang melibatkan pemangku kepentingan menciptakan ketidakpastian bagi investor.
Inkonsistensi peraturan pemerintah pun memperburuk situasi sehingga pelaku usaha kesulitan memenuhi persyaratan administrasi dan hukum. Shinta berujar, kondisi ini makin terasa akibat kurangnya koordinasi antar-kementerian dan lembaga dalam pengurusan izin serta realisasi investasi.
Faktor lain adalah suku bunga tinggi, biaya energi dan logistik, hingga praktik korupsi dan pungutan liar. Shinta menuturkan faktor-faktor tersebut meningkatkan biaya operasional sehingga memperlambat proses bisnis. Akibatnya, pelaku industri memilih impor daripada produksi dalam negeri. Walhasil, produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global dan investasi cenderung berhenti di tahap komitmen.
Jika tidak segera diperbaiki, Shinta khawatir Indonesia akan mengalami deindustrialisasi. "Semua ini perlu diperbaiki secara konsisten bila kita ingin menekan ICOR nasional hingga ke level yang bersaing dengan negara-negara pesaing di kawasan," tuturnya kepada Tempo pada Senin, 16 Desember 2024.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, mengimbuhkan, di ASEAN, ICOR ideal berada di angka 3,7-4,6. Sedangkan ICOR Indonesia bahkan mendekati 7. Dampaknya, biaya investasi menjadi mahal dan kurang menarik bagi investor global.
Menurut Nailul, korupsi dalam birokrasi menjadi akar masalahnya. Korupsi menyebabkan tingginya biaya investasi, termasuk untuk perizinan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sementara itu, Undang-Undang Cipta Kerja yang diandalkan pemerintah untuk menumbuhkan investasi Indonesia, implementasinya tidak efektif dalam menyelesaikan masalah birokrasi.
Bahkan Undang-Undang Cipta Kerja justru menimbulkan masalah baru soal ketenagakerjaan tanpa menyentuh esensi efisiensi birokrasi. Karena itu, Nailul menegaskan, pemerintah harus membenahi lebih dulu masalah korupsi di birokrasi yang sudah mengakar. Selanjutnya, meningkatkan kesiapan teknologi dan sumber daya manusia agar investasi di Indonesia lebih kompetitif.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto berbicara dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi (Rakornas) 2024 di Jakarta Selatan, 11 Desember 2024. TEMPO/Nabiila Azzahra A.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono juga menilai ekonomi biaya tinggi atau high-cost economy menjadi salah satu penyebab tingginya ICOR Indonesia. Korupsi yang meluas dan lemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi faktor utama. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan dengan skor rendah, yaitu 34 dari 100, mencerminkan efisiensi ekonomi yang buruk.
Selain itu, ada faktor kesalahan arah strategi pembangunan infrastuktur selama ini. "Infrastruktur yang dibangun saat ini tidak mampu mendorong kenaikan kualitas belanja modal dan efisiensi penggunaan kapital dalam perekonomian," ucap Yusuf.
Yusuf berpandangan infrastruktur yang dibangun pada era Jokowi minim manfaat ekonomi. Contohnya jalan tol di Pulau Jawa yang dianggap sama sekali tidak membantu kinerja sistem logistik. Musababnya, jalan tol di Pulau Jawa terbilang mahal dan tidak banyak menghemat waktu sehingga justru dihindari pengusaha angkutan logistik.
Yusuf juga menyoroti PSN yang bersifat mercusuar, tapi nilai tambah ekonominya tidak sepadan. Di antaranya Ibu Kota Nusantara, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan LRT Jabodetabek. Sepanjang 2016-2023, pemerintah telah menyelesaikan 190 PSN senilai Rp 1.515 triliun. Namun, pada waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015-2024 hanya 4,2 persen. Angka ini jauh di bawah target pemerintah yang sebesar 7 persen.
Investasi yang cenderung terfokus pada sektor infrastruktur fisik juga dianggap salah arah oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal. Ia mengatakan sebagian besar investasi di Indonesia terfokus pada sektor bangunan, seperti jalan dan gedung. Masalahnya, bangunan memiliki output yang dihasilkan dalam jangka panjang sehingga kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung lebih lambat.
Sementara itu, apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Cina, Vietnam, atau Malaysia, proporsi investasi lebih banyak pada sektor permesinan dan manufaktur. Menurut Faisal, investasi pada sektor tersebut mendukung produksi harian, menghasilkan output lebih cepat, dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Jadi ICOR negara-negara tersebut lebih rendah dan pertumbuhan ekonominya lebih pesat.
Karena itu, Faisal menyarankan pemerintah mengalihkan investasi ke sektor manufaktur atau permesinan. Ia yakin investasi yang lebih terarah pada sektor manufaktur akan menghasilkan output ekonomi yang lebih efisien dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pada akhir tahun lalu, mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menghitung kebutuhan investasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen di tengah nilai ICOR Indonesia yang berada di level 6,3. Menurut Chatib, jika ekonomi Indonesia ingin tumbuh 7 persen, dibutuhkan investasi terhadap PDB sebanyak 7 persen dikali 6,3 (nilai ICOR), yakni 44 persen.
Chatib menyebutkan masalahnya tabungan domestik atau gross domestic savings terhadap PDB berada di angka 36 persen. Artinya, ada gap atau kesenjangan karena uangnya tidak ada di domestik. Karena kebutuhan investasi sebesar 44 persen terhadap PDB, sementara tabungan domestik 36 persen, berarti ada kesenjangan 8 persen. Kesenjangan tersebut bisa didapat dari investasi asing. ●
Nabiila Azzahra dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo