Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menunda pemungutan pajak karbon.
Sri Mulyani beralasan pemungutan pajak karbon ditunda karena kondisi ekonomi kurang kondusif.
PLN menguji skema perdagangan karbon antar-PLTU.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati hanya menjawab pendek saat ditanyai alasan pengunduran pemungutan pajak karbon. “Kita siapkan waktu yang tepat,” katanya di sela pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 di Nusa Dua, Bali, pada Kamis, 14 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sudah dua kali menunda pemungutan pajak karbon. Awalnya, Kementerian Keuangan akan menarik pajak dari pihak-pihak yang mengeluarkan emisi karbon mulai 1 April lalu. Ini sejalan dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diundangkan pada November 2021. Pelaksanaan rencana itu diundur tiga bulan menjadi 1 Juli dan kini malah batal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menunda penerapan pajak karbon yang sedianya dikenakan pada operator pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) karena ada risiko. Menurut Menteri Sri, situasi ekonomi dunia saat ini tak memungkinkan bagi pemerintah untuk memungut pajak baru. Adapun dalam wawancara dengan Tempo pada Kamis, 21 Juli lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pajak karbon mungkin diterapkan tahun depan.
Pemungutan pajak karbon adalah bagian penting rencana transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru dan terbarukan sekaligus menjadi upaya untuk menekan emisi. Pajak karbon masuk instrumen penurunan emisi non-perdagangan karbon bersama result-based payment atau kompensasi yang diberikan oleh negara.
Aturan mainnya sederhana: barang siapa menghasilkan polusi karbon, ia harus membayar pajak. Pada tahap awal, pajak ini berlaku bagi operator PLTU. Di Asia Tenggara, pajak karbon sudah berlaku di Singapura pada 2019.
Di Indonesia, baru PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang menguji coba penerapan pajak karbon. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat aturan, hanya PLTU dengan emisi karbon di atas ambang batas yang bakal kena pajak. Ada tiga ukuran: ambang batas produksi karbon dioksida PLTU di atas 400 megawatt sebesar 0,918 ton CO2 per megawatt-jam (MWh), PLTU 100-400 MW sebesar 1,013 ton CO2, dan PLTU mulut tambang kapasitas 100-400 MW sebesar 1,94 ton CO2.
Sebagai ilustrasi, pada PLTU berkapasitas 800 megawatt dengan produksi listrik bruto 6,1 juta MWh, ambang batas CO2 yang dikenakan sebesar 5,6 juta ton CO2. Setelah diukur, PLTU itu ternyata menghasilkan 5,8 juta ton karbon dioksida. Dikurangi ambang batas 5,6 juta ton, karbon dioksida yang kena pajak sebesar 200 ribu ton CO2. Dengan tarif pajak karbon Rp 30 ribu per ton CO2, pengelola PLTU itu harus membayar Rp 6 miliar.
Tapi PLTU tersebut bisa bebas dari pajak jika membeli izin emisi (surat izin emisi) dari pembangkit listrik lain yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas. Skema inilah yang sedang dicoba oleh PLN.
Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan 32 PLTU mengikuti uji coba penerapan pajak karbon. Sebanyak 14 PLTU bertindak sebagai pembeli izin emisi, sisanya menjadi penjual. Harga karbon yang diperdagangkan sebesar US$ 2 per ton CO2.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo