Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cara Daerah Beri Insentif Pajak Hiburan

Pemerintah daerah mengupayakan insentif untuk mengobati dampak kenaikan pajak hiburan. 

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengusaha di daerah mengeluhkan kenaikan pajak hiburan.

  • Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat edaran tentang insentif pajak.

  • Pemerintah daerah menghitung insentif untuk pengusaha hiburan.

MELINA Noviani bingung ketika membaca Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam aturan yang ditetapkan pada 4 Januari 2024 itu, pajak hiburan dipatok 40-75 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melina, pemilik Retro Karaoke di Jalan Gatot Subroto, Bandung, pun harus membayar pajak lebih tinggi. Sebab, dalam aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah, pajak untuk diskotek, tempat karaoke, klub malam, dan pub sebesar 35 persen. "Saya tak tahu lagi bagaimana ke depan," kata wanita 33 tahun itu kepada Tempo pada 31 Januari 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis Melina dimulai delapan tahun lalu, beberapa bulan setelah Ridwan Kamil yang kala itu menjabat Wali Kota Bandung meneken aturan tentang pajak daerah. Dia bercerita, ketika itu strategi Retro Karaoke untuk menarik konsumen adalah mengurangi nilai pajak dari 35 persen menjadi 21 persen, sementara sisanya ia masukkan ke harga paket karaoke yang diberi tarif lebih mahal. "Pajak 21 persen saja tamu udah murka," ujarnya. 

Kini Melina belum menetapkan strategi baru setelah tarif pajak naik. Tapi, dia menambahkan, mau tak mau bakal ada kenaikan tarif di tempat karaoke miliknya. Melina mengaku mendapat pemberitahuan hanya lewat surat edaran dari pemerintah kota, bukan dalam bentuk sosialisasi yang cukup detail. "Surat edaran sudah ada, tapi sosialisasi belum. Belum ada obrolan atau pemanggilan formal," tuturnya.

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 sejatinya adalah aturan teknis untuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Aturan ini mengganti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Di tingkat pusat, aturan ini juga mengundang polemik.

Suasana di Retro Karaoke, Bandung, Jawa Barat, 1 Februari 2024. Tempo/Prima mulia

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan regulasi ini sudah mempertimbangkan masukan dari banyak pihak mengenai perlunya penerapan tarif pajak baru bagi kelompok hiburan tertentu atas pertimbangan sosial-religius. Selain menjadi pendapatan daerah, dia menjelaskan, pajak sebagai instrumen fiskal bisa berfungsi sebagai pengendali konsumsi.

Tapi pandangan itu dibantah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Jawa Barat, Yuno Abeta Lahay. Menurut Yuno, pemerintah seharusnya meningkatkan pengawasan, bukan menaikkan nilai atau tarif pajak. “Kalau memang ada hal-hal yang negatif dan tidak sesuai dengan aturan, ditindak saja oleh pemerintah karena punya kewenangan," ucapnya. 

Ketua PHRI Kabupaten Badung, Bali, Rai Suryawijaya, mengatakan kebijakan ini menjadi kejutan di awal tahun. Sembari menunggu waktu, Rai berharap Pemerintah Provinsi Bali atau bupati dan wali kota bisa mengeluarkan mereka dari ketentuan pajak yang tinggi. Dalam waktu dekat, PHRI bersama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia bakal mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang HKPD ke Mahkamah Konstitusi. 

Bukan hanya pengusaha hiburan di Bandung dan Bali yang meradang. Di Kota Bogor, penerapan tarif pajak hiburan juga mengundang reaksi. Sejumlah pengusaha jasa hiburan sudah bersurat kepada pemerintah kota agar audiensi bisa segera digelar. Namun Wali Kota Bogor Bima Arya tak mau sepenuhnya disalahkan. “Saat sosialisasi, pelaku usaha lebih banyak bertanya tentang tata cara pemungutan pajak,” tuturnya kepada Tempo

Jumlah penerimaan pajak hiburan di Bogor memang cukup tinggi. Pada 2022, Pemerintah Kota Bogor menargetkan penerimaan pajak hiburan Rp 22 miliar, sementara yang terkumpul di akhir tahun senilai Rp 22,605 miliar atau 103 persen dari target. Saat ini, kata Bima, Pemerintah Kota Bogor sedang menyusun peraturan kepala daerah yang mengatur tata cara pemungutan pajak. “Termasuk pemberian insentif bagi wajib pajak,” ujarnya.

Ketika banyak pengusaha memprotes tarif pajak hiburan 40-75 persen, pada 19 Januari 2024 Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan surat edaran tentang petunjuk pelaksanaan pajak hiburan yang membuka ruang bagi kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal. Surat edaran itu juga menyatakan tarif pajak hiburan kembali ke peraturan lama sambil menunggu uji materi di Mahkamah Konstitusi berjalan.

Dalam pernyataannya, Tito Karnavian mengatakan ada beberapa daerah yang sudah menerapkan kebijakan insentif fiskal untuk pelaku usaha jasa hiburan tertentu. Insentif ini menjadi kompensasi kenaikan tarif pajak hiburan yang semula tanpa batas bawah. “Di Bali, pemerintah setempat mengundang pengusaha tempat hiburan dan mereka akan memberikan insentif," tuturnya.

Berbekal surat itu pula, Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta kemudian meminta Sekretaris Daerah Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa merumuskan kebijakan tentang insentif pajak. Pemerintah Badung memberi respons cepat mengingat pelaku industri daerah itu menolak keras aturan baru pajak daerah.

Di Badung, jumlah tempat hiburan seperti bar cukup banyak. Data Badan Pendapatan Daerah Badung mencatat setidaknya ada 705 wajib pajak hiburan di kabupaten itu. “Sesuai dengan perintah Bupati kepada saya, untuk mencarikan celah hukum demi meringankan (pengusaha) sesuai dengan kebijakan fiskal kami,” kata Arnawa.

Pelaksana tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Badung, Ni Putu Sukarini, memastikan Pemerintah Kabupaten Badung tidak mengubah besaran nilai pajak. Namun mereka menerapkan pengurangan besaran dari rancangan peraturan bupati berupa kebijakan fiskal. “Dari simulasi kami sebesar 62,5 persen sehingga yang dibayarkan konsumen tetap 15 persen,” ujar Sukarini. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Sidik Permana di Bogor, Aminuddin di Bandung, dan I Made Argawa di Bali berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Utak-atik Guyuran Insentif"

 

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus