Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politik kian panas mendekati pemilu dan pilpres 2024.
Ada krisis legitimasi dalam pemerintahan Presiden Jokowi.
Pasar keuangan sangat rentan terkena imbas krisis politik.
PELAKU pasar keuangan mesti melihat dengan saksama perkembangan politik akhir-akhir ini. Makin kuat indikasi bahwa pergulatan politik menjelang pemilihan umum atau Pemilu dan pemilihan presiden atau pilpres 2024 bakal berdampak negatif pada efektivitas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Gangguan ini berpotensi terus berlanjut hingga pergantian pemerintahan, Oktober mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver politik Jokowi yang makin terang-terangan mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memperburuk keadaan. Presiden enteng saja meremehkan kritik tokoh-tokoh senior hingga pakar hukum terhadap dukungannya kepada Prabowo-Gibran. Ia bahkan menginterpretasikan undang-undang menurut tafsirnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, muncul serentetan gugatan dari kalangan akademikus. Guru-guru besar berbagai universitas “turun gunung” menyerukan beragam petisi. Dimulai pada Rabu, 31 Januari 2024, dari Universitas Gadjah Mada yang notabene almamater Jokowi sendiri, hanya dalam hitungan hari gugatan merambat cepat, bermunculan dari berbagai perguruan tinggi seperti api membakar semak yang kerontang entah kapan akan berhenti.
Inti berbagai petisi itu satu: menuntut Jokowi kembali menjalankan prinsip demokrasi secara etis dan tidak menyalahgunakan kewenangan aparat negara, termasuk dirinya sendiri, demi memenangkan salah satu kontestan yang juga anaknya. Secara elektoral, sulit kita mengukur dampak gugatan kaum cerdik cendekia itu pada pilihan khalayak. Namun petisi-petisi itu dengan gamblang menunjukkan kelemahan Jokowi dalam etika bernegara sekaligus menggerus legitimasi pemerintah.
Ketika legitimasi pemerintah sedemikian lemah, pasar tentu tak bisa berharap akan ada kebijakan yang efektif. Apalagi jika itu menyangkut masalah besar yang membutuhkan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, hubungan Presiden dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai politik terbesar di DPR, saat ini pun sedang genting.
Jika misalnya tiba-tiba krisis meledak di pasar keuangan global dan menular ke Indonesia, pemerintah sudah pasti kelabakan. Tanpa dukungan politik yang memiliki legitimasi kuat, para pemangku kepentingan bakal tergagap-gagap jika harus membuat keputusan. Tak ada jaminan politis bahwa pilihan kebijakan yang mereka ambil bakal bebas dari kemungkinan tuntutan pidana di kemudian hari.
Menimbang situasi global saat ini, kemungkinan meledaknya krisis tentu ada. Konflik geopolitik di Timur Tengah masih berlangsung dan bisa meluas setiap saat. Di pasar keuangan, situasinya bahkan lebih mengkhawatirkan. Sumbernya: pasar keuangan Cina yang masih bergejolak hebat.
Jumat, 2 Januari 2024, bursa Shanghai nyaris terjungkal. Indeks CSI 300 yang menjadi patokan di sana anjlok 3,4 persen di tengah perdagangan sebelum berbalik pada saat penutupan. Para analis yakin operasi pasar pemerintah Cina berperan mencegah ambruknya harga sehingga CSI 300 hari itu hanya turun 1,2 persen dibanding sehari sebelumnya.
Krisis sektor properti Cina juga makin parah. Pekan lalu, pengadilan Hong Kong menyatakan Evergrande, pengembang dengan utang terbesar di Cina, secara resmi bangkrut. Hancurnya harga properti tak hanya memukul industri pendukung. Rumah tangga di sana juga menderita. Tabungan rumah tangga berpuluh tahun yang tersimpan dalam aset properti mendadak nyaris amblas.
Sudah hangus di properti, kerugian besar memusnahkan pula tabungan rumah tangga yang tersimpan di investasi saham. Ada sekitar 200 juta investor retail yang harus menelan kerugian besar karena longsornya harga saham. Secara total, dalam tiga tahun terakhir, nilai saham yang menguap tersapu penurunan harga mencapai US$ 6 triliun atau sekitar Rp 90 ribu triliun, hampir enam kali lipat produk domestik bruto Indonesia dalam setahun.
Ekonomi Indonesia dan Cina punya hubungan kuat. Jika krisis di Cina terus menggelegak dan meluas, bukan tak mungkin bisa ada dampaknya pada Indonesia. Jika itu terjadi, sementara pemerintah menderita krisis legitimasi akibat Pemilu dan Pilpres 2024, sungguh tak terbayangkan bagaimana Indonesia mampu mengatasi dampaknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Krisis Legitimasi Tatkala Ekonomi Rentan"