Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha mendatangi sejumlah menteri, meminta revisi pajak hiburan.
Asosiasi Spa lebih dulu mengajukan gugatan uji materi pajak hiburan.
Ada kekisruhan yang disebabkan oleh penyusunan aturan yang tak berkualitas.
HARI masih pagi ketika rombongan pengusaha jasa hiburan tiba di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jumat, 26 Januari 2024. Belasan pengusaha diskotek, karaoke, klub malam, hingga bar itu hendak bertemu dengan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk membahas penetapan tarif pajak hiburan yang belakangan menjadi polemik. "Kalau pajak itu diterapkan, bisa habis kita," kata Efrat Tio, pemilik restoran dan pub Black Owl di Jakarta Utara, yang hadir di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Efrat, pengusaha yang hendak menemui Luhut antara lain Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi Sukamdani; pemegang saham beberapa klub hiburan yang juga pengacara, Hotman Paris Hutapea; serta penyanyi dangdut yang juga bos gerai karaoke Inul Vizta, Inul Daratista.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika bertemu dengan Luhut, para pengusaha memprotes penetapan tarif pajak hiburan yang masuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pasal 58 ayat 2 undang-undang itu menetapkan tarif pajak untuk diskotek, gerai karaoke, klub malam, bar, dan tempat mandi uap/spa sebesar 40-75 persen.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Hariyadi Sukamdani di Jakarta, September 2022. Tempo/Febri Angga Palguna
Pengusaha meradang lantaran dalam aturan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak untuk spa dipatok 0-35 persen, sementara bagi diskotek, gerai karaoke, klub malam, dan bar 0-75 persen. Artinya, pemerintah daerah bisa saja memungut pajak 5 persen, 10 persen, atau 35 persen, misalnya. Dalam aturan terbaru, pajak minimum untuk jasa hiburan tersebut dipatok di angka tinggi, yaitu 40 persen.
Menurut Efrat, pajak minimal 40 persen bakal membuat pengunjung ogah datang. "Orang mau reservasi saja tanya dulu pajaknya sudah 40 persen atau masih yang lama," ucapnya. Bahkan, dia melanjutkan, ada calon pelanggan yang akan menghelat acara di Black Owl meminta dibuatkan surat pernyataan agar tidak dikenai pajak 40 persen. Kini, dia mengklaim, tingkat reservasi dan kunjungan ke pub yang ia kelola turun 30-40 persen. Efrat pun menimbang kembali rencana pembangunan empat outlet barunya jika aturan ini tidak direvisi.
Luhut adalah menteri ketiga yang didatangi para pengusaha. Pada 22 Januari 2024, mereka menemui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan tiga hari kemudian datang ke kantor Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. "Kami menemui menteri-menteri tersebut untuk mendorong terbitnya surat edaran kepala daerah mengenai insentif fiskal," kata Hariyadi Sukamdani kepada Tempo, 30 Januari 2024.
Pasal 101 UU HKPD menyatakan pemerintah daerah dapat memberikan insentif berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, atau sanksinya. Pasal itu kemudian diperkuat oleh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ yang diteken Tito Karnavian pada 19 Januari 2024 yang intinya memberi kewenangan kepada daerah untuk memberi insentif yang meringankan pengusaha jasa hiburan. Surat edaran tersebut terbit setelah Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di Istana Negara pada hari yang sama.
Toh, surat edaran itu tak membuat pengusaha tenang. Sebab, pemerintah daerah belum mengeluarkan aturan mengenai insentif yang mereka harapkan. Kini para pebisnis masih dibayangi tarif pajak yang tinggi. Beberapa daerah pusat bisnis hiburan memang telah mengerek tarif pajak sejak awal tahun ini. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, menaikkan tarif pajak hiburan dari 25 persen menjadi 40 persen. Hal serupa berlaku di beberapa kota dan kabupaten di Bali.
Artis sekaligus pengusaha karaoke Inul Daratista (kiri) dan pengacara sekaligus pengusaha hiburan Hotman Paris Hutapea kanan) memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Graha Sawala, Gedung Ali Wardhana, Jakarta, 22 Januari 2024. Antara/M Risyal Hidayat
Tarif anyar tersebut, menurut Hariyadi, membuat pengusaha terjepit. Di sisi lain, pengusaha tidak bisa menaikkan harga tiket atau tarif lantaran akan mempengaruhi tingkat kunjungan konsumen. "Konsumen sensitif terhadap harga," tuturnya. Hariyadi khawatir pajak yang tinggi membuat pelaku usaha gulung tikar. Apalagi saat ini industri jasa hiburan belum pulih setelah dihantam pandemi Covid-19.
Setelah bertemu dengan tiga menteri, para pengusaha itu mendapat janji. Menteri Luhut, misalnya, menegaskan bahwa kepala daerah bisa memberi insentif fiskal kepada pengusaha. Gula-gula lain untuk meredam protes pengusaha adalah rencana pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) badan.
Juru bicara Kementerian Koordinator Perekonomian, Haryo Limanseto, mengatakan pemerintah tengah mengkaji klasifikasi lapangan usaha yang bisa memperoleh insentif berupa PPh yang ditanggung pemerintah. "Proyeksi nilai insentif PPh badan tersebut akan dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," ujarnya.
Tapi, bagi Hariyadi dan pengusaha hiburan lain, insentif PPh badan bukan obat. Ia mengatakan satu-satunya solusi adalah merevisi tarif pajak hiburan dalam UU HKPD. Karena itu, asosiasi pengusaha menyusun gugatan uji materi atas undang-undang tersebut yang akan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari nanti. "Sekarang sudah tidak ada rencana menemui menteri lagi," ucapnya. Hariyadi juga mengakui para pengusaha baru sadar akan adanya perubahan ketentuan pajak hiburan. "Kami kecolongan."
•••
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berjalan sejak 2021, berbarengan dengan pembahasan rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ketika penyusunan aturan ini berjalan, nyaris tak ada gejolak ataupun penolakan yang mengemuka ke publik.
Pengusaha pun tidak banyak yang sadar bahwa tarif pajak dalam UU HKPD berlaku mulai tahun ini. Pasal 187 huruf b UU HKPD menyebutkan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) masih berlaku paling lama dua tahun sejak UU HKPD diundangkan. Artinya, pemerintah daerah baru akan mengeluarkan peraturan baru tentang pajak paling lambat pada 5 Januari 2024.
Suasana tempat hiburan kareoke Inul Vista di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, 16 Januari 2024. Tempo/Tony Hartawan
Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) adalah salah satu organisasi yang pertama kali mempersoalkan ketentuan pajak hiburan dalam UU HKPD. Pada 3 Januari 2024, Aspi mengajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi dan sedang menunggu sidang pendahuluan yang bakal digelar pada 21 Februari 2024.
Ketua I Aspi, M. Asyhadi, yang akrab disapa Didi, mengatakan mereka menggugat UU HKPD agar bisnis spa dikeluarkan dari kategori jasa usaha hiburan. Menurut dia, Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa menempatkan spa sebagai bentuk layanan kesehatan, bukan hiburan. Karena itu, Aspi berkeberatan membayar pajak yang sama dengan bisnis hiburan seperti diskotek, gerai karaoke, klub malam, dan bar.
Bahkan dalam Undang-Undang PDRD tarif pajak untuk tempat mandi uap/spa berbeda dengan diskotek, gerai karaoke, dan bar. Undang-undang itu menetapkan pajak untuk spa sebesar 35 persen, sementara bagi diskotek, gerai karaoke, dan bar 75 persen.
Didi mengaku sudah menyadari ada potensi masalah dalam UU HKPD. Kala itu, ia sudah mengusulkan uji materi. Namun upaya itu kandas karena tak mendapatkan dukungan penuh dari anggota asosiasinya. Para anggota Aspi memilih bersafari ke beberapa kementerian untuk menjamin usaha spa tidak dikenai pajak seperti bisnis hiburan lain.
Toh, lawatan mereka ke sejumlah menteri tak membuahkan hasil. Pada awal 2024, beberapa daerah yang menjadi sentra bisnis spa, seperti Jakarta dan Bali, pun mengeluarkan aturan yang menetapkan pajak minimal 40 persen. Ketika itu, telepon seluler Didi terus berdering lantaran para koleganya di berbagai daerah bertanya-tanya. "Mereka baru sadar, kalau sudah jadi aturan kan repot," katanya.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan pelaku industri pariwisata merasa tidak ada konsultasi publik yang bermakna dalam pembentukan UU HKPD. Bahkan pengusaha pun tidak sadar tarif baru itu berlaku mulai tahun ini. Ketika kekisruhan terjadi, Hariyadi merasa para penyusun aturan tidak menjelaskan dasar lahirnya tarif pajak hiburan yang baru. "Dewan Perwakilan Rakyat tidak bersuara, tidak tahu siapa yang mengusulkan. Ini kan tidak fair. Mari beradu argumen di publik," tuturnya. Hariyadi mengakui baru mendalami persoalan ini setelah menerima laporan dari pengurus Aspi yang hendak mengajukan permohonan uji materi.
Kini pemerintah dan DPR sama-sama menyoroti tarif anyar pajak hiburan. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan tarif pajak itu membebani dunia usaha. Karena itu, dua menteri tersebut membuka wacana penundaan penerapan aturan pajak yang baru. Luhut, melalui unggahan di akun Instagram pribadinya pada 17 Januari 2024, mengatakan ketentuan tersebut muncul dari Komisi Keuangan DPR, bukan dari pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di Jakarta, 29 Agustus 2022. Antara/M Risyal Hidayat
Tapi Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menjelaskan bahwa penetapan tarif pajak hiburan adalah hasil pembahasan pemerintah dan DPR. Ia berujar, perumusan itu sudah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, memakai dasar praktik pemungutan di lapangan, dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan serta kondisi masyarakat yang majemuk.
Menurut Lydia, dalam pembahasan itu pemerintah mempertimbangkan fungsi pajak hiburan sebagai instrumen untuk mempengaruhi tingkat konsumsi barang atau jasa tertentu. "Penetapan batas bawah 40 persen bertujuan mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif rendah guna meningkatkan omzet," ucapnya. Meski begitu, Lydia menambahkan, pemerintah tetap memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif sesuai dengan rentang yang diatur. Daerah pun diberi kewenangan memberikan insentif.
Kekisruhan juga terjadi di kalangan anggota legislatif. Dalam situs resmi DPR, anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Hafisz Tohir, menyebutkan komisinya akan mengundang Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk menyampaikan asumsi atas pengenaan pajak hiburan 40-75 persen. "Sebetulnya (pengaturan pajak) itu domain pemerintah. Tapi, jika ini meresahkan masyarakat, DPR berhak mempertanyakan," katanya.
Menurut Hafisz, pengenaan pajak hiburan dapat ditetapkan dengan melihat jasa yang ditawarkan. Jika nilai mudaratnya tinggi, pajak bisa dinaikkan. Persoalannya, dia melanjutkan, industri hiburan masih mengalami tekanan ekonomi sehingga kenaikan tarif pajak akan membebani pengusaha.
Pernyataan Hafisz ini berbeda dengan apa yang ada dalam dokumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam dokumen itu, PAN adalah partai yang mengusulkan penetapan batas bawah pajak hiburan 40 persen.
Usulan PAN tersebut jauh berbeda dibanding usulan awal pemerintah. Dalam dokumen naskah akademik RUU HKPD, pemerintah mengusulkan tarif maksimum bagi beberapa aktivitas hiburan sebesar 40 persen. Tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk beberapa aktivitas itu diusulkan lebih tinggi daripada jasa hiburan lain yang mencapai 10 persen. Pajak yang lebih tinggi dikenakan pada kegiatan yang bersifat mewah atau perlu dikendalikan.
Dalam konteks ini, PAN mengusulkan tarif 40-75 persen dengan dasar penilaian bahwa aktivitas hiburan seperti di tempat mandi uap atau spa, diskotek, klub malam, gerai karaoke, dan bar lazimnya dinikmati masyarakat menengah ke atas. Tempo meminta konfirmasi mengenai usulan PAN dalam DIM RUU HKPD kepada Hafisz Tohir. Namun dia mengaku tidak ikut membahas aturan tersebut. "Saya tidak ikut dalam tim RUU tersebut karena sibuk dalam Inter-Parliamentary Union," ucapnya.
Ketua Kelompok Fraksi PAN di Komisi Keuangan DPR, Ahmad Najib Qodratullah, menyatakan materi pembahasan dalam RUU HKPD cukup banyak. Karena itu, dia menjelaskan, bisa saja persoalan tarif tersebut luput dari perhatian. Namun dia mengklaim telah mengusulkan kenaikan tarif pajak hiburan diterapkan secara gradual dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi.
Bukan hanya PAN yang memberikan usulan berbeda dengan pemerintah. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Golkar juga mengusulkan tarif maksimum pajak hiburan 75 persen, tapi dua partai itu tidak merekomendasikan tarif minimum. Usulan PKS didasari alasan bahwa sebagian besar konsumen gerai karaoke, klub malam, diskotek, dan spa adalah masyarakat menengah ke atas. Ketika ditanyai tentang hal ini, Ketua Kelompok Fraksi PKS di Komisi Keuangan DPR, Anis Byarwati, mengatakan partainya menolak pengesahan hasil pembahasan RUU HKPD.
Lain lagi dengan Golkar. Anggota Komisi Keuangan DPR dari Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin, menjelaskan bahwa tarif pajak 40-75 persen dikenakan atas jasa hiburan premium. Puteri membenarkan kabar bahwa pemerintah awalnya mengusulkan batas atas pajak hiburan karaoke, spa, klub malam, dan diskotek ditetapkan 40 persen. Namun fraksinya berpandangan batas atas pajak tersebut tetap seperti ketentuan lama dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu 75 persen, tanpa batas bawah.
Puteri mengatakan pandangan fraksi itu disarikan dari masukan narasumber yang diterima selama rapat dengar pendapat pada 7, 8, 12, 14, dan 25 Juli 2021. Para pakar, asosiasi pengusaha, pemerintah daerah, hingga akademikus mengusulkan tarif maksimal 75 persen dengan mempertimbangkan alasan sosial dan kultur di beberapa daerah yang religius.
Puteri pun menyitir pernyataan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang menyebutkan PBJT untuk hiburan berpotensi menimbulkan kontroversi bagi daerah yang mengedepankan nilai religi. Perubahan tarif pajak untuk hiburan semestinya memperhatikan kondisi sosio-religius daerah.
Karena itu, Puteri melanjutkan, tarif asimetris menjadi pendekatan pengenaan pajak ideal bagi daerah yang melonggarkan hiburan ataupun yang mengedepankan prinsip “sin tax” atau pajak untuk kegiatan yang harus dibatasi serta prinsip religius. "Tentunya tanpa bermaksud mengabaikan kepentingan pelaku usaha," kata Puteri.
Pernyataan Puteri tersebut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman. Ia mengatakan UU HKPD memang semestinya memberikan ruang otonomi bagi daerah sehingga pemerintahnya bisa menetapkan tarif sesuai dengan daya dukung dan karakteristik daerah. Namun, khusus untuk pajak hiburan, KPPOD mengusulkan rentang tarifnya tetap 0-75 persen setelah melihat praktik dan dinamika dalam pembahasan. "Belakangan, dalam draf akhir kami tidak tahu dari mana muncul batas bawah 40 persen."
Bagi KPPOD, penetapan batas bawah tarif pajak tersebut akan mendistorsi pertumbuhan investasi untuk perekonomian di daerah. Herman khawatir usulan tarif pajak hiburan tersebut tak lepas dari kepentingan elektoral bagi partai pengusul. Sengkarut ini, dia menambahkan, menunjukkan pembentukan kebijakan yang tidak partisipatif. "Tidak adanya penyusunan kebijakan yang berkualitas, akhirnya banyak hal yang dikorbankan dan dirugikan."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Amelia Rahima dan Retno Sulistyowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kecolongan Pasal Pajak Hiburan"