Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Staf program untuk proyek Energi bersih, Terjangkau, dan Aman (Clean, Affordable, and Secure Energy atau CASE) untuk Asia Tenggara Fadhil Ahmad Qamar menjelaskan soal biaya suntik mati operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, biayanya akan lebih rendah dibandingkan dengan memperpanjang usia PLTU dengan menambahkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage atau CCS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure atau Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure atau Opex) CCS,” ujar dia dia lewat keterangan tertulis dikutip pada Kamis, 12 Oktober 2023.
Selain itu, menurut Fadhil, pengakhiran dini operasional PLTU batu bara berpotensi menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.
Untuk menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari suntik mati PLTU batu bara dan penerapan teknologi CCS dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat. “Sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” kata Fadhil.
Selanjutnya: Sementara, analis senior dari Institute for Essential Services Reform (IESR)....
Sementara, analis senior dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Raditya Wiranegara menjelaskan pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari suntik mati PLTU batu bara. Terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan tinggi terhadap beroperasinya PLTU batu bara.
Selain itu, dia meminta pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batu bara yang berbasis data. Baik itu data aset pembangkit listrik sendiri maupun biaya eksternalitas terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.
“Sehingga, penting untuk ke depan, rencana penghentian operasi PLTU batu bara ini masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),” tutur Raditya.
Dengan begitu, Raditya mengatakan, dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak suntik mati PLTU batu bara. Baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batu bara.
“Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batu bara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN” ucap Raditya.