HARI itu, 14 Maret 1979, sekitar 170 buruh bekerja mengangkut
pasir kwarsa dari pantai ke dua ponton (pontoon). Satu ponton
telah penuh dengan pasir. Sekitar maghrib tiba-tiba muncul
sebuah perahu motor menuju tempat orang-orang itu bekerja.
Langsung saja perahu itu mendarat di pantai Kuala Tanjung Tiram
(Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara)
tersebut. Suasana segera berubah tegang dan M. Sagala (45 tahun)
mandor serombongan pekerja itu segera meloncat, memintas belukar
pohon bakau, melarikan diri. Yang turun dari perahu ternyata
petugas kantor camat dan polisi di bawah pimpinan Mayor E. Purba
dari Komando Resor 206 Asahan.
Lima orang pekerja lalu diangkut ke Komando Sektor Labuhan Ruku,
untuk diminta keterangan. Baru subuh esoknya mereka dilepaskan
dan sejumlah sekop beserta alat-alat lainnya disita sebagai
barang bukti. "Mereka mengambil pasir kwarsa tanpa izin,"
demikian penjelasan Danres 206 Asahan, Letkol B. Siahaan kepada
wartawan.
Izin sebenarnya ada. PT Asima Sheet Glass Factory Ltd yang
melakukan pengambilan pasir itu, yang beralamat di Jakarta,
memiliki izin dari Direktorat Teknik Pertambangan Ditjen
Pertambangan No. 17/DUP/1979 tertanggal 14 Pebruari 1979. Hanya
izin itu menyebutkan lokasi DU 161, ialah di pantai Desa
Perupuk, Kecamatan Lima Puluh, Asahan, sementara yang mereka
keruk pasir di lokasi DU 165 di pantai Kuala Tanjung Tiram --
sekitar 22 Km dari pelabuhan Tanjung Tiram.
Departemen Setuju
Bupati Asahan Bahmid Mohammad sejak 3 Maret, ketika dua ponton
itu mulai bercokol di tempatnya sekarang, sebetulnya sudah
mengirim surat teguran. Teguran diulang kembali 12 Maret.
Hasilnya tetap nihil. Maka 13 Maret polisi turun tangan,
pengerukan pasir dihentikan. Tapi keesokan harinya pengerukan
dilakukan lagi, dan berlangsunglah penggerebegan seperti yang
sudah diceritakan.
Direktur PT Asima, AT Simarmata, kepada Amran Nasution dari
TEMPO memberikan alasan kenapa dia mengeruk pasir di lokasi yang
salah. "Saya menuntut janji lisan Gubernur Tambunan," katanya
seraya membeberkan kerugiannya akibat penghentian itu. Tak
kurang Rp 2,5 juta sehari, sebab sewa dua ponton sehari saja
sudah Rp 2 juta.
Peristiwa pengerukan pasir kwarsa Asahan itu ternyata mempunyai
latar belakang panjang. Lima tahun lalu PT Asima minta
rekomendasi Gubernur Sumatera Utara (waktu itu Marah Halim) guna
mendirikan pabrik sheet glass di lokasi DU 141 dan 142.
Rekomendasi memang segera turun, tapi menyebutkan lokasi di DU
161. Hanya saja Bupati Asahan waktu itu, Abdulmanan Simatupang,
yang sekarang menjabat Pelaksana Sekwilda Sum-Ut, tidak
menggubris rekomendasi itu. Soalnya, PT Asima minta tanah seluas
seribu hektar dan itu berarti penggusuran seluruh Desa Perupuk
plus sebagian desa Guntung. Padahal kedua desa itu telah hidup
tenteram bahkan sudah ada hatchery (pengeraman telur ikan) yang
dibangun dengan Inpres. "Bukan untuk mendirikan pabrik," kata
Manan, "tapi yan betul untuk ambil pasir saja."
Sejak itu orang PT Asima tak muncul-muncul lagi. Yang muncul
orang-orang dari PT lain, PT Jati Suma Indah Kramika Industri Co
dari Surabaya. Oktber 1978 PT Jati mulai mengangkut pasir
kwarsa dari Pantai Kuala Tanjung Tiram ke Surabaya. PT Jati ini
tak membawa ijin dari Ditjen Pertambangan, tapi direstui Bupati
Manan. Restu itu diberikan karena Pemda Asahan butuh uang.
Konon Rp 1,7 juta berhasil masuk dari kutipan retribusi dan bea
pangkalan. Cuma ketika Gubernur Sum-Ut Tambu memerintahkan
penghentian pengen pasir itu atas perintah Ditjen PeranIbangan
baik PT Jati maupun Bupati Manan cukup patuh.
Ternyata persoalannya tak berhenti itu. PT Asima tetap
merencanakan akan mendirikan pabrik. Menurut direkturnya,
departemen-departemen yang bersangkutan telah memberikan "restu"
Awal Januari PT itu membeli tanah seluas 5 Ha di kawasan Kuala
Tanjung Tiram. Sementara PT Jati entah bagaimana berhasil
mengantongi surat izin pengerukan pasir kwarsa di lokasi DU 165.
Dan Pemda Asahan tetap tak percaya PT Asima mau mendirikan
pabrik "Tujuan mereka beli tanah untuk mengulangi PT Jati
mengambil pasir. Ini persaingan dagang," kata Sehat Siregar
pejabat Camat Tanjung Tiram. Buktinya, semula 'kan rencana
pabrik di Perupuk, kenapa beli tanah di Kuala Tanjung Tiram di
lokasi DU 165?
PT Asima punya jawahan. Berdasar penelitian bersama Ditjen
Pertambangan akan lebih menguntungkan kalau pabrik dibangun di
Kuala Tanjung Tiram, sebab deposit pasir di situ bisa 50 tahun.
"Pabrik ini modalnya sampai Rp 4 milyar, lho," kata direktur PT
Asima. Dan konon yang Rp 3 milyar pinjaman dari pemerintah.
Kini, sementara PT Asima sibuk menyusun pengaduan entah kepada
gubernur, Opstib atau alamat lain, Kosek Kepolisian Labuhan
Ruku sibuk memeriksa buruh PT Asima yang mengambil pasir tanpa
izin. Kuala Tanjung Tiram kembali sepi, dua ponton
terkatung-katung di sana, entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini