Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasir Atau Pabrik?

Pengambilan pasir & pendirian pabrik oleh PT Asima (Jakarta) telah mendapat izin, sementara PT. Jati Indah (Surabaya) juga mendapat izin pengerukan pasir, karena Pemda Asahan butuh uang. (eb)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, 14 Maret 1979, sekitar 170 buruh bekerja mengangkut pasir kwarsa dari pantai ke dua ponton (pontoon). Satu ponton telah penuh dengan pasir. Sekitar maghrib tiba-tiba muncul sebuah perahu motor menuju tempat orang-orang itu bekerja. Langsung saja perahu itu mendarat di pantai Kuala Tanjung Tiram (Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara) tersebut. Suasana segera berubah tegang dan M. Sagala (45 tahun) mandor serombongan pekerja itu segera meloncat, memintas belukar pohon bakau, melarikan diri. Yang turun dari perahu ternyata petugas kantor camat dan polisi di bawah pimpinan Mayor E. Purba dari Komando Resor 206 Asahan. Lima orang pekerja lalu diangkut ke Komando Sektor Labuhan Ruku, untuk diminta keterangan. Baru subuh esoknya mereka dilepaskan dan sejumlah sekop beserta alat-alat lainnya disita sebagai barang bukti. "Mereka mengambil pasir kwarsa tanpa izin," demikian penjelasan Danres 206 Asahan, Letkol B. Siahaan kepada wartawan. Izin sebenarnya ada. PT Asima Sheet Glass Factory Ltd yang melakukan pengambilan pasir itu, yang beralamat di Jakarta, memiliki izin dari Direktorat Teknik Pertambangan Ditjen Pertambangan No. 17/DUP/1979 tertanggal 14 Pebruari 1979. Hanya izin itu menyebutkan lokasi DU 161, ialah di pantai Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh, Asahan, sementara yang mereka keruk pasir di lokasi DU 165 di pantai Kuala Tanjung Tiram -- sekitar 22 Km dari pelabuhan Tanjung Tiram. Departemen Setuju Bupati Asahan Bahmid Mohammad sejak 3 Maret, ketika dua ponton itu mulai bercokol di tempatnya sekarang, sebetulnya sudah mengirim surat teguran. Teguran diulang kembali 12 Maret. Hasilnya tetap nihil. Maka 13 Maret polisi turun tangan, pengerukan pasir dihentikan. Tapi keesokan harinya pengerukan dilakukan lagi, dan berlangsunglah penggerebegan seperti yang sudah diceritakan. Direktur PT Asima, AT Simarmata, kepada Amran Nasution dari TEMPO memberikan alasan kenapa dia mengeruk pasir di lokasi yang salah. "Saya menuntut janji lisan Gubernur Tambunan," katanya seraya membeberkan kerugiannya akibat penghentian itu. Tak kurang Rp 2,5 juta sehari, sebab sewa dua ponton sehari saja sudah Rp 2 juta. Peristiwa pengerukan pasir kwarsa Asahan itu ternyata mempunyai latar belakang panjang. Lima tahun lalu PT Asima minta rekomendasi Gubernur Sumatera Utara (waktu itu Marah Halim) guna mendirikan pabrik sheet glass di lokasi DU 141 dan 142. Rekomendasi memang segera turun, tapi menyebutkan lokasi di DU 161. Hanya saja Bupati Asahan waktu itu, Abdulmanan Simatupang, yang sekarang menjabat Pelaksana Sekwilda Sum-Ut, tidak menggubris rekomendasi itu. Soalnya, PT Asima minta tanah seluas seribu hektar dan itu berarti penggusuran seluruh Desa Perupuk plus sebagian desa Guntung. Padahal kedua desa itu telah hidup tenteram bahkan sudah ada hatchery (pengeraman telur ikan) yang dibangun dengan Inpres. "Bukan untuk mendirikan pabrik," kata Manan, "tapi yan betul untuk ambil pasir saja." Sejak itu orang PT Asima tak muncul-muncul lagi. Yang muncul orang-orang dari PT lain, PT Jati Suma Indah Kramika Industri Co dari Surabaya. Oktber 1978 PT Jati mulai mengangkut pasir kwarsa dari Pantai Kuala Tanjung Tiram ke Surabaya. PT Jati ini tak membawa ijin dari Ditjen Pertambangan, tapi direstui Bupati Manan. Restu itu diberikan karena Pemda Asahan butuh uang. Konon Rp 1,7 juta berhasil masuk dari kutipan retribusi dan bea pangkalan. Cuma ketika Gubernur Sum-Ut Tambu memerintahkan penghentian pengen pasir itu atas perintah Ditjen PeranIbangan baik PT Jati maupun Bupati Manan cukup patuh. Ternyata persoalannya tak berhenti itu. PT Asima tetap merencanakan akan mendirikan pabrik. Menurut direkturnya, departemen-departemen yang bersangkutan telah memberikan "restu" Awal Januari PT itu membeli tanah seluas 5 Ha di kawasan Kuala Tanjung Tiram. Sementara PT Jati entah bagaimana berhasil mengantongi surat izin pengerukan pasir kwarsa di lokasi DU 165. Dan Pemda Asahan tetap tak percaya PT Asima mau mendirikan pabrik "Tujuan mereka beli tanah untuk mengulangi PT Jati mengambil pasir. Ini persaingan dagang," kata Sehat Siregar pejabat Camat Tanjung Tiram. Buktinya, semula 'kan rencana pabrik di Perupuk, kenapa beli tanah di Kuala Tanjung Tiram di lokasi DU 165? PT Asima punya jawahan. Berdasar penelitian bersama Ditjen Pertambangan akan lebih menguntungkan kalau pabrik dibangun di Kuala Tanjung Tiram, sebab deposit pasir di situ bisa 50 tahun. "Pabrik ini modalnya sampai Rp 4 milyar, lho," kata direktur PT Asima. Dan konon yang Rp 3 milyar pinjaman dari pemerintah. Kini, sementara PT Asima sibuk menyusun pengaduan entah kepada gubernur, Opstib atau alamat lain, Kosek Kepolisian Labuhan Ruku sibuk memeriksa buruh PT Asima yang mengambil pasir tanpa izin. Kuala Tanjung Tiram kembali sepi, dua ponton terkatung-katung di sana, entah sampai kapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus