Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah memberlakukan CoB asuransi swasta dengan BPJS Kesehatan.
Peserta BPJS Kesehatan bisa naik kelaas layanan dengan dukugan asuransi swasta.
Skema CoB akan memicu peningkatan layanan rumah sakit, namun memperlebar kesenjangan.
BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuka peluang kerja sama dengan asuransi swasta melalui skema coordination of benefit (CoB). Skema ini memungkinkan peserta BPJS Kesehatan mendapat layanan yang lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif. Selisih biaya dari kenaikan kelas pelayanan ini dapat dijamin oleh asuransi kesehatan tambahan atau AKT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembayaran selisih biaya layanan peserta BPJS Kesehatan oleh AKT diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang standar tarif pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun skema CoB, kata Koordinator Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch, Timboel Siregar, hanya akan menambah ruang pasar bagi AKT. Hal itu terjadi setelah BPJS Kesehatan menerapkan layanan tunggal dalam skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Timboel, KRIS berpotensi membatasi akses peserta JKN ke ruang perawatan. Setelah KRIS berlaku, peserta JKN yang mampu menggunakan CoB akan memiliki akses mudah ke ruang perawatan. Sebaliknya, peserta JKN yang tidak mampu justru akan terpinggirkan dan makin sulit mendapat layanan. "CoB membuka peluang pasar bagi AKT," katanya kepada Tempo, Jumat, 7 Juni 2024.
Pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta Pusat. Tempo/Tony Hartawan
Sependapat dengan BPJS Watch, pakar kesehatan dan peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ahmad Fuady, menilai skema CoB hanya menguntungkan asuransi swasta karena membuka ceruk pasar pasien yang mencari kenyamanan pelayanan. Karena itu, dia meminta pemerintah membuat regulasi yang memastikan bahwa CoB terstandar dan bisa memberikan keuntungan bagi asuransi ataupun kliennya.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung, berpendapat skema CoB menguntungkan semua pihak. Menurut dia, keterlibatan pihak swasta dalam pelayanan publik sudah jamak. CoB bisa melayani pasien yang butuh fasilitas rawat inap di luar standar BPJS Kesehatan.
Rumah sakit swasta, terutama yang bermain di segmen premium, akan terpacu menyediakan layanan kesehatan baru. Sedangkan pasien tak mampu peserta BPJS juga diuntungkan karena tak harus berebut kamar perawatan dengan pasien yang lebih mampu. "Khususnya di rumah sakit milik pemerintah karena kamar rawat inap menjadi banyak."
Toh, pemerintah menganggap skema CoB ideal. "Kerja sama ini akan membuat BPJS Kesehatan menerima pembayaran tambahan dari AKT," kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 6 Juni lalu. Menurut Dante, pembayaran selisih biaya dapat dilakukan oleh peserta atau badan usaha ke AKT.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Gufron Mukti saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juni 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Untuk peserta yang memiliki hak rawat kelas 2 dan kelas 1 yang ingin naik kelas, selisih tarifnya dibatasi maksimal 75 persen dari standar tarif atau INA-CBG kelas 1. Sedangkan untuk peserta dengan hak rawat jalan eksekutif, selisih biaya yang ditetapkan maksimal Rp 400 ribu.
Ketentuan naik kelas dikecualikan bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI), peserta penerima upah dengan hak rawat kelas 3, dan peserta bukan penerima upah dengan hak rawat kelas 3. Pengecualian juga berlaku bagi peserta penerima upah yang mengalami pemutusan hubungan kerja beserta anggota keluarganya.
Bersamaan dengan rencana penerapan KRIS, pemerintah akan mengevaluasi layanan BPJS Kesehatan. Dari evaluasi paket layanan, tarif, hingga persoalan iuran. Kementerian Kesehatan menyatakan tarif pelayanan yang mengacu pada tarif INA-CBG akan ditetapkan setelah evaluasi dilakukan. Begitu pula ihwal AKT yang diberlakukan dalam proses tersebut.
Dante mengatakan implementasi skema selisih AKT bakal diatur lebih lanjut dalam revisi Peraturan Menteri Kesehatan. Ihwal aturan pengendalian mutu dan biaya, pemerintah akan membentuk lembaga bernama Medical Advisory Board (MAB). MAB akan mengevaluasi apakah tambahan manfaat tersebut secara empiris diperlukan oleh pasien dalam rangka mengoptimalkan perawatan.
Direktur BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan kerja sama dengan AKT sudah dibuka sejak tahun lalu. Ia menilai sinergi dengan swasta penting karena BPJS Kesehatan tak mungkin membiayai sendiri kebutuhan pelayanan kesehatan. "Tapi harus dicari titik temu yang pas. Jangan sampai yang satu ditekan, yang satu menekan," katanya di gedung DPR pada Kamis, 6 Juni lalu.
Ali mengatakan total biaya pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia mencapai Rp 600 triliun. Sementara itu, anggaran belanja BPJS Kesehatan tahun ini yang disetujui hanya Rp 176 triliun. Karena itu, dia berharap manfaat yang tidak dijamin BPJS Kesehatan bisa disediakan oleh asuransi swasta, sepanjang skema kerja samanya tidak berbenturan dengan regulasi program JKN.
Menurut Ali, perusahaan asuransi swasta dapat mengembangkan produknya untuk menjamin pelayanan kesehatan di luar manfaat yang dijamin program JKN. Meski begitu, kata dia, harus ada bentuk kerja sama yang pas dan dibuat regulasi agar tidak mengganggu tatanan yang sudah ada saat ini.
CoB antara BPJS Kesehatan dan asuransi komersial merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berdasarkan Pasal 51 ayat 1, peserta dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif. Koordinasi pembayaran manfaat pelayanan kesehatan ini dapat dilakukan pada beberapa kasus, antara lain kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja.
Meski kesempatan kerja sama ini sudah dibuka sejak tahun lalu, Ali mengakui banyak rumah sakit yang belum menjalankannya. "Banyak rumah sakit yang belum tahu," ucapnya. Hingga saat ini, kata Ali, baru 13 asuransi swasta yang bekerja sama dalam skema CoB.
Ahli kebijakan kesehatan dan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Hermawan Saputra, mengatakan ada alasan yang menyebabkan rumah sakit belum menerapkan skema CoB. Salah satunya, kata dia, karena mayoritas peserta yang ingin naik kelas perawatan sering kali meminta naik standar kelas 1 atau VIP yang suplainya terbatas. Terutama di rumah sakit umum daerah atau rumah sakit kelas C, dengan kapasitas 100 tempat tidur. Menurut Hermawan, pemberlakuan KRIS bakal membuat permintaan naik kelas layanan bertambah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo