Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berapa Harga Karbon Indonesia yang Ideal?

Pemerintah meluncurkan perdagangan karbon internasional. Harga karbon masih rendah.

20 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 3 Oktober 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia meluncurkan perdagangan karbon luar negeri perdana di pasawa mandatory.

  • Prabowo menargetkan pendapatan hingga US$ 65 miliar atau Rp 1.000 triliun pada 2028.

  • Harga karbon Indonesi masih terlalu rendah.

HARI ini, 20 Januari 2025, menjadi hari bersejarah dalam mitigasi krisis iklim di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup meluncurkan perdagangan karbon internasional perdana untuk pasar wajib. Presiden Prabowo Subianto langsung tancap target bisa menjual US$ 65 miliar atau Rp 1.000 triliun pada 2028 dari penjualan kredit emisi karbon berbagai proyek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penasihat Prabowo untuk kebijakan iklim, Ferry Latuhihin, mengatakan proyek-proyek untuk menghasilkan kredit karbon yang bisa dijual secara internasional mencakup pelestarian hutan, reboisasi, serta penanaman kembali lahan gambut dan bakau. Jika target ini terwujud, Indonesia, sebagai salah satu dari sepuluh penghasil emisi terbesar di dunia, berpotensi mencapai target netralitas karbon pada 2060.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurrofiq mengatakan perdagangan karbon di bursa karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris 2015. Kesepakatan 197 negara, termasuk Indonesia, bersama-sama menurunkan emisi karbon global sebanyak 45 persen dari 53 miliar ton emisi setara CO2 pada 20130.

Waktu itu, Indonesia memasang target bisa menurunkan emisi 26 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Jumlah emisi memakai perhitungan standar 2010 sebesar 2,87 miliar ton pada 2030. Kini target penurunan emisi untuk mencegah pemanasan global Indonesia menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Menurut Hanif, perdagangan karbon Indonesia sudah lama dinantikan banyak negara. "Momen launching perdagangan karbon luar negeri ini merupakan salah satu milestone terbesar dalam penyelenggaraan perdagangan karbon luar negeri di Indonesia," kata Hanif kepada Tempo, Ahad, 19 Januari 2025. Ia juga menilai momen ini sebagai bentuk penguatan untuk mendorong 2nd Nationally Determined Contributions (NDCs) yang akan diajukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pertengahan Februari 2025.

Perdagangan karbon luar negeri akan dikelola dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim. Sistem ini akan menerbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, yang menunjukkan bahwa suatu proyek telah berhasil mengurangi emisi melalui proses yang terverifikasi. Sertifikat ini pun nantinya dapat diakses oleh publik. Sama halnya dengan bursa karbon di pasar domestik, perdagangan karbon luar negeri juga akan dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pembukaan perdagangan karbon luar negeri saat ini masih didominasi sektor energi. Hanif membeberkan potensi volume perdagangan karbon pada saat peluncuran sebesar hingga 1.780.000 ton karbon dioksida.

Proyek-proyek yang masuk skema perdagangan perdana ini di antaranya proyek pembangkit listrik baru berbahan bakar gas bumi Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Priok Blok 4 yang menyediakan kredit karbon sebanyak 500 ribu ton. Lalu konversi pembangkit single cycle menjadi combined cycle di PLTGU Grati Blok 2 menyiapkan kredit sebanyak 450 ribu ton karbon.

Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Muara Karang di kawasan Pluit, Jakarta, 2 Januari 2025. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Berikutnya pembangkit listrik baru berbahan bakar gas bumi PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang menyumbang 750 ribu ton karbon. Ada pula Blok 2 unit pembangkit di Muara Tawar dengan kredit karbon sebanyak 30 ribu ton dan Pembangkit Listrik Tenaga Air Minihidro Gunung Wugul dengan kredit 5.000 ton karbon.

Kementerian Lingkungan Hidup memprediksi kisaran harga terendah dari karbon yang akan dijual bebas sebesar US$ 8 per ton atau sekitar Rp 130.937 (kurs 16.371 per dolar AS). Hanif mengatakan harga karbon baru bisa diketahui secara akurat pada hari peluncuran. "Animo pembeli sepertinya di kisaran itu atau agak lebih sedikit," ujar Hanif saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 18 Januari 2025.

Mengenai target perolehan dan kisaran harga karbon Indonesia dalam perdagangan karbon luar negeri menjadi sorotan berbagai pihak. Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, berpendapat bahwa target yang dicanangkan Prabowo terlalu ambisius jika mempertimbangkan prediksi harga karbon Indonesia. "Sangat berat. Pemerintah lebih baik memberikan target jangka pendek yang lebih terukur," ujar Putra kepada Tempo, Ahad, 19 Januari 2025.

Putra menilai harga karbon Indonesia akan bervariasi bergantung pada jenis proyek yang dikembangkan. Ia memproyeksikan harga karbon Indonesia di kisaran US$ 52-20 per ton. Jika diasumsikan harga karbon US$ 10 saja, dengan volume perdagangan karbon hanya 200 juta  per tahun, penerimaannya hanya US$ 2 miliar atau Rp 32,7 triliun. Dengan demikian, walaupun volume perdagangannya cukup besar, total pendapatan yang dihasilkan masih jauh dari target Rp 1.000 triliun.

Managing Director and Co-Founder Energy Shift Institute Christina Ng menambahkan harga kredit karbon berbasis alam biasanya diperdagangkan US$ 5-50 per ton atau Rp 81.858-818.582. Tahun lalu harga karbon rata-rata di pasar internasional di bawah US$ 10.

Bahkan, jika karbon Indonesia dipatok dengan harga US$ 50 per ton, untuk mencapai target Rp 1.000 triliun diperlukan lebih dari 200 juta ton kredit karbon per tahun. Jumlah tersebut hampir menyamai total penerbitan kredit karbon sebesar 239 juta ton yang tercatat di seluruh pasar sukarela pada 2021.

Ekonom Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, juga berpendapat bahwa target yang dicanangkan Prabowo itu sulit dicapai. "Prabowo selalu bicara 'super-duper' optimistis. Saya rasa itu tidak realistis karena kesadaran karbon masih rendah," ujar Nailul kepada Tempo, Ahad, 19 Januari 2025.

Meski berharap karbon Indonesia bisa dihargai sebesar US$ 50 per ton, Nailul juga memperkirakan harganya di level US$ 5-10 per ton. Level ini tentu masih rendah dibanding negara yang sudah lebih matang dalam menerapkan perdagangan karbon. Misalnya negara-negara Eropa yang sudah menerapkan harga karbon di level US$ 80 per ton.

Nailul menjelaskan, perbedaan harga karbon ini bergantung pada kebijakan tiap pemerintahan dalam pembatasan karbon. Di Indonesia, menurut dia, pembatasan karbon masih longgar sehingga belum menjadi perhatian pengusaha. Permintaan terhadap kredit karbon yang dihasilkan oleh industri ramah lingkungan juga masih rendah.

Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon domestik sejak Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon diresmikan pada 26 September 2023. Sepanjang 2024, total nilai karbon yang diperdagangkan hanya Rp 19,72 miliar, lebih rendah dibanding pada 2023 yang mencapai Rp 30,9 miliar. Volume karbon yang diperdagangkan sepanjang 2024 juga turun, dari 494.254 ton menjadi 412.186 ton.

Menurut Bank Dunia, harga karbon Indonesia termasuk yang terendah, yaitu US$ 1 per ton. Padahal, hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan masyarakat adat yang terlibat dalam pelestarian hutan. Karena itu, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah memperkirakan seharusnya harga karbon Indonesia bisa tembus US$ 70-80 per ton setara CO2.

Harga karbon yang rendah tak akan mendorong industri mengubah teknologinya menjadi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi. Para pengusaha lebih tertarik membeli karbon sebagai kewajiban turut serta mencegah pemanasan global karena harganya yang murah. Karena itu, Dana Moneter Internasional pernah mengkaji untuk bisa mencapai target Perjanjian Paris harga karbon global mesti US$ 75 per ton.

Menurut Nailul Huda, perdagangan karbon dengan harga rendah bisa memacu produksi emisi yang makin masif. Perusahaan-perusahaan besar cenderung membeli kredit karbon dari perusahaan ramah lingkungan dibanding mereka mengembangkan teknologi ramah lingkungan. "Dengan kekuatan modal yang besar, mereka bisa memproduksi karbon lebih banyak dan membeli hak perusahaan lain yang memiliki kadar emisi lebih rendah," tuturnya.

Karena itu, Nailul menekankan soal pentingnya pemerintah menetapkan batasan karbon untuk meningkatkan harga karbon. Jika harga karbon Indonesia rendah, ia menilai tujuan perdagangan karbon, yakni meningkatkan kualitas lingkungan hidup, sulit tercapai.

Irsyan Hasyim dan Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus