Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Penyebab Petani dan Nelayan Tak Bisa Membayar Utang ke Bank

Prabowo Subianto berencana menghapuskan kredit macet petani. Tak sepenuhnya salah petani.

1 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Utang dibutuhkan petani sebagai modal untuk memulai musim tanam. Mereka membayar utang tersebut setelah panen.

  • Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih sejak lama menyuarakan keluhan anggotanya yang tidak bisa mengakses permodalan di perbankan akibat kredit macet puluhan tahun.

  • Jika pemerintah berencana memutihkan kredit macet tersebut, kriteria debitor yang berhak atas fasilitas ini perlu diatur ketat.

BAGI Suganda, berutang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Gali lubang tutup lubang menjadi keseharian petani asal Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu. Ia mengatakan para petani biasanya membayar utang setelah mendapatkan uang hasil panen. Utang, panen, bayar, utang, panen, bayar. Terus begitu tak putus-putus.

Menurut Suganda, utang dibutuhkan petani sebagai modal untuk memulai musim tanam. Di antaranya untuk membuat benih, mengolah lahan, serta memulai proses penanaman. Namun tidak sedikit pula, di pertengahan masa tanam, petani kehabisan modal untuk membeli pupuk, obat-obatan, dan kebutuhan lain. “Saat itulah petani akan meminjam modal atau berutang dengan perjanjian dibayar setelah panen,” tuturnya, Kamis, 31 Oktober 2024.

Suganda beberapa kali berutang untuk membeli pupuk. Dia sudah menggadaikan sertifikat salah satu hamparan sawah miliknya ke bank. Hingga kini, Suganda mengaku masih mencicil utang di bank.

Adapun Silo, 53 tahun, seorang petani tebu yang merupakan warga Desa Banyuputih Kidul, Kecamatan Randuagung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tidak hanya berutang di satu bank milik pemerintah. "Di bank yang satunya itu, foto aset milik saya yang saya jaminkan tersebut terpampang dalam daftar obyek lelang," ujarnya.

Silo tidak sendirian. Banyak petani tebu di desanya yang juga mengalami kredit macet. Akibatnya, tidak sedikit aset yang menjadi jaminan kredit terpampang di depan kantor cabang bank pelat merah sebagai obyek lelang.

Baik Suganda maupun Silo menyambut baik rencana pemerintah Prabowo Subianto menghapuskan utang 6 juta petani dan nelayan.

Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih sejak lama menyuarakan keluhan anggotanya yang tidak bisa mengakses permodalan di perbankan akibat kredit macet puluhan tahun.

Asal muasal tunggakan itu adalah program pembiayaan petani pada era Presiden Soeharto. Henry mengingat pemerintah memberikan akses permodalan dari perbankan melalui koperasi kepada petani untuk meningkatkan produksi. Laporan majalah Tempo yang terbit pada 18 Februari 2001 mencatat, pada periode 1998-1999 saja, pemerintah menyalurkan kredit usaha tani senilai Rp 8,3 triliun. Dari penyaluran pada 1995-2000, pemerintah mencatat tunggakan sebesar Rp 7,2 triliun atau 68,56 persen dari kredit yang sudah terealisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah sempat memburu para penunggak utang pada 2001. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah saat itu, Alimarwan Hanan, mengungkap rencana penghapusan beban bunga kredit petani yang telah berjalan. "Memang ada usulan untuk dijadikan hibah. Namun, setelah dikaji, tidak sesuai lagi dengan prinsip keadilan dan ini akan dirasakan mereka yang sudah mengembalikannya," ujarnya.    

Menurut Henry, kredit macet terjadi karena banyak faktor. Salah satunya pembiayaan yang tidak diiringi dengan pelindungan pasar untuk petani. "Misalnya ada kredit untuk petani tanam tomat, tapi harga tomat tidak dilindungi," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, penyaluran kredit tak tepat sasaran. Henry mengingat banyak penerima pinjaman yang bukan petani. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga mencatat penyelewengan dana kredit usaha tani pada 1999-2000 sekitar 72 persen dilakukan koperasi unit desa dan lembaga swadaya masyarakat, sebanyak 23 persen oleh bank penyalur, sebesar 3 persen oleh kepala kantor departemen koperasi, serta 2 persen oleh lembaga lain. 

Itu sebabnya Henry menyebut kredit macet terjadi bukan sepenuhnya kesalahan petani. "Maka, kalau memang kredit macet ini yang akan diputihkan, kami mendukung," kata dia. Selama ini para petani yang tak bisa mengajukan pinjaman ke perbankan mengandalkan para pedagang di pasar yang menyediakan jasa kredit dalam bentuk utang atau pinjam alat pertanian.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo mencatat kredit macet di sektor pertanian serta perikanan biasanya dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas, bencana alam, kondisi cuaca yang tidak menentu, dan akses pasar yang terbatas. "Selain itu, keterbatasan literasi keuangan dan dukungan teknologi memperbesar risiko kredit macet," katanya. 

Jika pemerintah berencana memutihkan kredit macet tersebut, Arianto menyatakan kriteria debitor yang berhak atas fasilitas ini perlu diatur ketat. "Jangan sampai program semacam ini justru menginspirasi debitor untuk meninggalkan kewajiban mengembalikan pinjaman yang diterima." 

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan pemerintah berencana menghapuskan utang petani serta nelayan yang berakar dari krisis moneter di Indonesia. Pasalnya, tunggakan tersebut menyulitkan mereka mengajukan kredit ke perbankan. Dia memperkirakan ada 6 juta petani dan nelayan yang masih menunggak utang tersebut. 

Hashim mengungkapkan utang-utang tersebut telah lama dihapus dan dibekukan oleh bank. Namun hak penagihan dari pihak bank masih tetap tercatat. "Karena itu, mereka tidak bisa memperoleh kredit dari bank dan akhirnya beralih ke rentenir atau pinjaman online,” kata Hashim. 

Menurut dia, pihak perbankan sudah memiliki mekanisme rinci untuk menilai kemampuan bayar nasabah. Hashim yakin kebijakan ini bakal menarik konsumen baru bagi perbankan lantaran tingkat pemulihan nasabah yang mengalami masalah kredit di masa lalu sudah sangat rendah. 

Pernyataan tersebut dikonfirmasi Direktur Keuangan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk Ade Cahyo Nugroho. Dia melihat langkah ini sebagai peluang perbankan untuk memperluas basis nasabah. Salah satu alasannya adalah nasabah dengan riwayat kredit bermasalah di masa lalu mungkin kini telah mengalami peningkatan kondisi finansial.

Menurut Ade, nasabah yang pernah mengalami kesulitan membayar biasanya masuk ke daftar hitam, yang menghalangi akses mereka ke layanan perbankan selamanya. Dengan pemutihan, pemerintah memberikan kesempatan baru bagi mereka.

Menanggapi rencana pemutihan utang ini, EVP Secretariat & Corporate Communication PT Bank Central Asia Tbk Hera F. Haryn menyatakan pihaknya senantiasa mencermati dan sejalan dengan kebijakan pemerintah. "Saat ini kami menunggu rincian peraturan tersebut," ucapnya.

BCA menyalurkan kredit ke sektor pertanian dan perikanan sebesar Rp 39,24 triliun per September 2024. Kredit macet BCA dari sektor itu berada di level 2,1 persen pada periode tersebut. 

Direktur Bisnis Mikro PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Supari pun menyatakan perusahaan sedang menunggu payung hukum kebijakan tersebut. BRI menanti kejelasan ihwal jenis pemutihan yang dimaksudkan pemerintah. "Perlu diketahui, di industri pembiayaan terkait dengan pengelolaan kredit bermasalah, di antaranya melalui hapus buku dan hapus tagih," ujarnya. 

Hapus buku berarti menghapus catatan pinjaman dari neraca dengan kriteria tertentu sesuai dengan kebijakan internal bank. Hapus buku tidak menghilangkan kewajiban debitor membayar pinjaman sehingga penagihan tetap dilakukan. 

Sementara itu, hapus tagih merupakan penghapusan kewajiban debitor atas kredit yang sudah dihapus buku sehingga pinjaman tidak ditagih kembali. Kebijakan yang satu ini bisa dilakukan pada kondisi dan persyaratan tertentu. Supari memberikan contoh, nasabah yang terkena bencana alam nasional dan telah diputus dalam rapat umum pemegang saham.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

David Priyasidharta dari Lumajang, Ivansyah dari Cirebon, Hammam Izzuddin, Michelle Gabriela, dan Vedro Imanuel G berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus