Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOSEN dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani menanggapi rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) Perumahan. Wacana ini dimaksudkan sebagai skema pendanaan baru untuk mendukung sektor perumahan, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah tersebut diklaim sebagai solusi inovatif dalam menjawab tantangan akses kepemilikan rumah yang selama ini menjadi permasalahan struktural di Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa penerbitan SBN ini akan menjadi instrumen pembiayaan yang lebih fleksibel tanpa harus sepenuhnya bergantung pada alokasi APBN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan skema ini, pemerintah berharap dapat memperluas akses kredit perumahan bagi MBR tanpa meningkatkan beban fiskal secara langsung. Namun, pertanyaannya adalah: sejauh mana efektivitas skema ini dalam mencapai tujuannya?” kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo, Ahad, 23 Februari 2025.
Konteks kebijakan ini berangkat dari ambisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menargetkan pembangunan 3 juta rumah per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding capaian program perumahan dalam pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.
Sebagai perbandingan, program sejuta rumah yang dicanangkan oleh Jokowi sejak 2015 hanya berhasil mencapai rata-rata 800.000 sampai 1,1 juta unit per tahun menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2023. Menurut Listya, dengan target tiga kali lipat lebih besar, diperlukan mekanisme pembiayaan yang jauh lebih kuat dan berkelanjutan.
“Pemerintah berupaya mencapainya dengan kombinasi penerbitan SBN perumahan serta optimalisasi kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM), yang memungkinkan perbankan meningkatkan pembiayaan sektor perumahan hingga Rp 80 triliun,” kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.
Namun, menurut Listya, ada perdebatan yang perlu diperjelas. Di satu sisi, SBN perumahan dapat dipandang sebagai inovasi pembiayaan yang memungkinkan ekspansi pembangunan rumah tanpa membebani anggaran negara secara langsung. Di sisi lain, Jika skema ini tidak dikelola dengan hati-hati, terdapat risiko peningkatan beban fiskal yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi.
Sebab, berdasarkan data Kemenkeu, total utang pemerintah per akhir 2023 mencapai Rp8.041 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,05 persen. Meskipun masih dalam batas aman di bawah ambang batas 60 persen dari PDB yang ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Keuangan Negara, penerbitan SBN perumahan tetap berpotensi meningkatkan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang di masa depan.
Selain itu, Listya mengatakan efektivitas SBN Perumahan juga bergantung pada daya serap masyarakat terhadap program ini. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, sekitar 81 juta penduduk Indonesia masih tinggal di rumah tidak layak huni, dan backlog kepemilikan rumah mencapai 12,7 juta unit.
“Meskipun pembiayaan melalui SBN dapat mempercepat pembangunan rumah, pertanyaannya adalah apakah MBR benar-benar mampu mengaksesnya? Sebab, selama ini kendala utama bukan hanya keterbatasan suplai rumah, tetapi juga daya beli yang rendah serta keterbatasan akses perbankan bagi kelompok ekonomi bawah,” ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII .
Dengan demikian, menurut dia, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, Apakah kebijakan ini benar-benar mampu memberikan solusi efektif dan berkelanjutan bagi sektor perumahan, atau justru akan menjadi beban fiskal yang berpotensi menambah tekanan terhadap stabilitas ekonomi nasional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk menganalisis manfaat serta tantangan yang melekat dalam skema ini.
“Bagaimana mekanisme SBN Perumahan akan bekerja hingga sejauh mana dampaknya terhadap perekonomian? Dan yang tak kalah penting, bagaimana cara memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi alat politik populis, melainkan benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat yang membutuhkan?” katanya.